Jumat, 02 September 2016

Bab II: UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR MELALUI KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN BEHAVIORAL PADA SISWA KELAS 8D SMP NEGERI 2 SUKOHARJO Semester II Tahun pelajaran 2012/2013



UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR MELALUI KONSELING KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN BEHAVIORAL PADA SISWA KELAS 8D SMP NEGERI 2 SUKOHARJO
Semester II Tahun pelajaran 2012/2013



BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Motivasi Belajar
                       Menurut Suharno (2008:14) Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa yang akan menimbulkan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar.
                  Dari pendapat Suharno diatas dapat ditarik pengertian bahwa motivasi itu adalah penggerak, yakni penggerak yang menimbulkan keinginan pada siswa yaitu keinginan untuk tahu, keinginan untuk kreatif, keinginan untuk memperbaiki kegagalan, keinginan untuk sukses dan sebagainya. Kemudian motivasi belajar itu merupakan penggerak yang akan menimbulkan kegiatan belajar, kegiatan belajar di sini meliputi mendengarkan, menyimak, mengerjakan tugas, mengobservasi, meneliti, menelaah, materi pelajaran. Selanjutnya motivasi belajar akan memberikan arah pada kegiatan belajar maksudnya mengarahkan siswa pada pencapaian tujuan belajar yaitu mengerti,memahami dan terampil terhadap apa yang dipelajari.
                  Suharno (2008 : 14 ), berpendapat bahwa dalam hal motivasi belajar menurut asalnya dapat di golongkan menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik ,  dengan uraian sebagai berikut :
                         1). Motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri endiri. Motivasi ni dapat muncul karena: a) Merasakan       pentingnya belajar. b). Merasakan dan mengetahui kemajuannya sendiri dari hasil belajar. c). Mempunyai keinginan untuk meraih cita-cita dengan cara belajar.
                       2). Motivasi ekstrinsik, yaitu motivasi yang berasal dari luar diri sendiri.  Hal yang bisa menimbulkan motivasi ekstrinsik adalah: a). Ganjaran (award), b). Hukuman (Punishment), c) Persaingan (competition).

                    Selanjutnya cirri-ciri seorang siswa yang memiliki motivasi belajar menurut Suharno adalah sebagai berikut :
1). Senang menjalankan tugas belajar.
 2). Bersemangat dan bergairah saat menerima pelajaran.
3). Tidak malu untuk bertanya bila belum tahu
 4). Tidak menunda-nunda dalam melaksanakan tugas yang diberikan.
 5). Disiplin dalam memanfaatkan waktu. ( 2008:14)
         
                  Sejalan dengan pendapat suharno di atas, A.M Sardiman ( 2005: 83) mengemukakan ciri-ciri orang yang mempunyai motivasi sebagai berikut:
a. Tekun dalam menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam   waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai).
b.     Ulet dalam menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa).
c.     Menunjukan minat terhadap macam-macam masalah.
d.     Lebih senang bekerja mandiri.
e.     Cepat bosan pada tugas-tugas rutin
f.      Dapat mempertanggung jawabkan pendapat-pendapatnya
g.     Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal

Dari pendapat Suharno dan A.M Sardiman tentang motivasi Intrinsik, motivasi ekstrinsik serta ciri-ciri orang yang mempunyai motivasi, diatas maka dapat ditarik kesimpulan mengenai unsur-unsur atau indikator-indikator motivasi belajar sebagai berikut:
      a.  Motivasi Intrinsik
1). Senang menjalankan tugas belajar.
2). Menunjukan minat mendalami materi yang di pelajari lebih jauh.
3).  Bersemangat dan bergairah untuk berprestasi
4). Merasakan pentingnya belajar
5). Ulet dan tekun dalam menghadapi masalah belajar
6). Mempunyai keinginan untuk meraih cita-cita dengan cara belajar.
      b.  Motivasi ekstrinsik
1). Ganjaran (award)  atau Hadiah (reward)
2). Hukuman (punishment)
3). Persaingan dengan teman /lingkungan ( Competition)

2.  Konseling Kelompok
               Dalam Buku Panduan Model Pengembangan Diri ( 2006:6) yang dimaksud dengan konseling kelompok adalah: ” Layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.” Kemudian dalam Buku Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi (2002 : 19) yang dimaksud dengan konseling kelompok  adalah:
Layanan bimbingan dan konseling yang memungkinkan  peserta didik (klien) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok; masalah yang dibahas itu adalah masalah-masalah pribadi yang di alami oleh masing-masing anggota kelompok.

               Dari definisi di atas dapatlah ditarik pengertian mengenai konseling kelompok sebagai berikut :
a.      Konseling kelompok adalah bantuan, artinya kegiatan ini merupakan bantuan dari konselor kepada konseli, sehingga konseli bisa merasakan hal-hal positif seperti bebannya jadi ringan,punya semangat dan memperoleh alternatif pemecahan masalah.
b.      Konseling kelompok adalah kegiatan yang memanfaatkan dinamika kelompok, artinya kegiatan ini dilaksanakan sekelompok konseli yang bersedia melibatkan diri dalam pemecahan masalah, sanggup menjalin kerjasama antara anggota kelompok, adanya saling mempercayai, adanya semangat yang tinggi, adanya saling memberikan tanggapan, reaksi dan empati antar anggota kelompok.
c.      Konseling kelompok berfungsi untuk pembahasan dan pengentasan masalah konseli, artinya tujuan akhir dari rangkaian kegiatan konseling kelompok adalah mengentaskan masalah konseli sehingga konseli bisa berkembang optimal sesuai dengan tugas perkembangannya.

             Konseling kelompok pada umumnya dilakukan melalui empat tahap, yaitu tahap Pembentukan, tahap peralihan, tahap pelaksanaan kegiatan dan tahap pengakhiran ( Prayitno, 1995: 40).  Tahap-tahap ini merupakan satu kesatuan dalam seluruh kegiatan kelompok.



a. Tahap Pembentukan
             Tahap Pembentukan merupakan tahap pengenalan, tahap pelibatan diri, tahap memasukan diri kedalam kehidupan suatu kelompok. Pada tahap ini para anggota saling memperkenalkan diri dan mengungkapkan tujuan atau harapan-harapan yang ingin dicapai.  Tujuan dari tahapan ini adalah agar tumbuh suasana kelompok, tumbuhnya minat anggota mengikuti kegiatan kelompok, tumbuh suasana saling mengenal,percaya, menerima, dan membantu diantara anggota kelompok, tumbuh suasana bebas dan terbuka, dimulainya pembahasan tentang tingkahlaku dan perasaan dalam kelompok.
             Peran konselor sebagai pimpinan kelompok  pada   tahap   ini antara lain :
1)     Menjelaskan tentang tujuan kegiatan,
2)     Menumbuhkan rasa saling mengenal antar anggota,
3)     menumbuhkan sikap saling mempercayai dan menerima.
Beberapa teknik yang bisa digunakan dalam tahap ini diantaranya teknik ”pertanyaan dan jawaban” serta teknik permainan kelompok ( Prayitno, 1995: 40-44).
b. Tahap Peralihan
             Setelah tahap pembentukan konseling kelompok dapat dilanjutkan ketahap berikutnya yaitu tahap peralihan, dimana tahap ini merupakan pembangunan jembatan antara tahap pertama dan tahap ketiga.
              Pada tahap ini langkah-langkah yang dilakukan konselor meliputi beberapa hal sebagai berikut:
1)    konselor menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya.
2)    Menawarkan atau mengamati apakah anggota sudah siap menjalani kegiatan pada tahap selanjutnya, 
3)    meningkatkan keikutsertaan anggota. 
             Tujuan dari tahap peralihan adalah membebaskan konseli dari perasaan enggan serta memantapkan suasana kelompok dan kebersamaan. Peranan konselor pada tahap ini yakni menerima suasana yang ada secara sabar dan terbuka, mendorong dibahasnya suasana perasaan masing-masing konseli serta membuka diri dan penuh empati (prayitno, 1995: 44-47).
c. Tahap Kegiatan
             Tahap ketiga dari konseling kelompok adalah tahap pelaksanaan kegiatan  atau tahap kegiatan pencapaian tujuan, tahap ini merupakan tahap yang sebenarnya dari kelompok, namum kelangsungan kegiatan kelompok pada tahap ini amat tergantung dari keberhasilan dua tahap sebelumnya.
             Langkah-langkah kegiatan pada tahap pelaksanaan kegiatan  ini antara lain:
1)       Masing-masing konseli secara bebas mengemukakan masalah atau topik bahasan,
2)       menetapkan topik yang akan dibahas dulu,
3)       konseli membahas masing-masing topik secara mendalam dan tuntas, disamping itu perlu diadakan kegiatan selingan.
             Tujuan dari tahap ketiga ini adalah : Terungkapnya secara bebas masalah atau topik yang dirasakan, dipikirkan dan dialami oleh anggota kelompok, terbahasnya masalah dan topik yang dikemukakan  secara mendalam dan tuntas, ikut sertanya seluruh anggota secara aktif dan dinamis dalam pembahasan, baik yang menyangkut unsur-unsur tingkah laku, pemikiran  ataupun  perasaan. Peranan konselor pada tahap ini yakni sebagai pengatur  lalu lintas yang  sabar dan terbuka,  aktif  tetapi  tidak banyak   bicara,  memberikan dorongan  dan  penguatan  serta    penuh  empati    ( prayitno, 1995:47-57 ).
d. Pengakhiran
             Tahap keempat dari konseling kelompok adalah tahap pengakhiran atau tahap penilaian dan tindak lanjut, pada tahap ini kegiatan konseling kelompok hendaknya dipusatkan pada pembahasan dan penjelajahan tentang apakah para konseli akan mampu menerapkan hal-hal yang telah mereka bahas dalam konseling kelompok.
             Kegiatan pada tahap peralihan ini  langkah-langkahnya  yang dapat di ambil lantara lain:
1)    penjelasan konselor bahwa kegiatan akan diakhiri,
2)    Konselor dan konseli mengemukakan kesan dan hasil-hasil kegiatan,
3)    membahas kegiatan lanjutan,
4)    mengemukakan pesan dan harapan.
             Tujuan dari tahap pengakhiran adalah mengungkap kesan-kesan konseli tentang pelaksanaan kegiatan, mengungkap hasil kegiatan kelompok yang telah dicapai yang dikemukakan secara mendalam dan tuntas, merumuskan rencana kegiatan lebih lanjut, menjaga hubungan kelompok dan rasa kebersamaan meskipun kegiatan diakhiri. Peranan konselor disini diantaranya tetap mengusahakan suasana hangat,  bebas dan  terbuka.   Memberikan dorongan untuk kegiatan lebih lanjut, menjaga rasa persahabatan dan  empati. ( Prayitno, 1995: 58-60).
             Dalam kaitanya dengan pengembangan diri,  melalui konseling kelompok masing-masing konseli akan mendapatkan pengalaman dalam mengemukakan pendapat, memberikan tanggapan, mengambil kesimpulan, memberikan empati dan mengendalikan ego yang semua itu akan membantu perkembangan pribadi konseli.

3. Pendekatan Konseling  Behavioral
             Tingkah laku belajar siswa banyak yang mal-adaptif seperti suka membolos, terlambat mengikuti pelajaran, tidak mengerjakan tugas, tidak memperhatikan saat guru menerangkan dan lain-lain, untuk itu tingkah laku ini perlu di ubah menjadi tingkah laku yang adaptif melalui pendekatan konseling behavioral sebagaimana pendapat Zaenudin (2008:9) yang menyatakan bahwa :
 Pendekatan konseling behavioral merupakan penerapan berbagai macam teknik dan prosedur yang berakar dari berbagai teori tentang belajar. Dalam prosesnya pendekatan ini menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku kearah cara-cara yang lebih adaptif.

Tujuan  konseling behavioral menurut Krumboltz dan Thoresen (Shertzer dan Stone, 1980)  adalah: ‘membantu individu untuk “belajar” memecahkan masalah interpersonal, emosional, dan keputusan tertentu’. Penekanan kata belajar dalam proposisi di atas adalah atas pertimbangan bahwa konselor membantu klien belajar atau  mengubah  tingkah lakunya. Konselor berperan dalam membantu proses  belajar  dengan  menciptakan  kondisi  yang  sedemikian  rupa  sehingga klien  dapat  memecahkan  masalahnya dan mengubah  tingkah lakunya (Zaenudin, 2008 : 11-12). Berarti dalam konseling behavioral konselor berusaha membantu klien dalam membuat putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekarang dan arah hidupnya.Tingkah laku yang di maksud adalah tingkah laku mal-adaptif atau tingkah laku bermasalah yang akan di ubah menjadi tingkah laku yang adaptif sesuai dengan tuntutan lingkungan. Tingkah laku bermasalah adalah  tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara belajar atau lingkungan yang salah.
Ada  banyak teknik konseling yang bisa diterapkan dalam pendekatan konseling behavioral. Teknik-teknik tersebut diantaranya :
 a. Latihan asertif (dengan menggunakan permainan peran) : digunakan untuk membantu klien yang tidak mampu mengungkapkan kemarahan dan perasaan tersinggung, menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya, memiliki kesulitan untuk mengatakan ‘tidak’, mengalami kesulitan untuk mengungkapkan perasaan afektif dan positif, merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan dan pikiran sendiri ( Suparti, 2008: 45)
 b. Operant Conditioning ( Pengkondisian Operan)
     Teori pengkondsiian yang dikembangkan oleh Skinner ini menekankan pada peran lingkungan dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti dari suatu tingkah laku. Menurut teori ini, tingkah laku individu terbentuk atau dipertahankan sangat ditentukan oleh konsekuensi yang menyertainya. Jika konsekuensinya menyenangkan maka tingkah lakunya cenderung dipertahankan dan diulang, sebaliknya jika konsekuensinya tidak menyenangkan maka tingkah lakunya akan dikurangi atau dihilangkan. (Zaenudin, 2008:11).Beberapa teknik operan conditioning  antara lain :
1) Shaping, yaitu teknik untuk mengajarkan tingkah laku yang komplek menjadi beberapa tingkah laku yang” simple response”.Proses ini dimulai dengan penetapan tujuan, kemudian di adakan analisis tugas, langkah-langkah kegiatan murid, dan reinforcement terhadap respon yang diinginkan. Secara eksplisit penerapan teknik shaping dalam perbaikan tingkah laku belajar siswa sebagaimana dikemukakan Fraznier adalah : a) datang dikelas pada waktuya, b) berpartisipasi dalam belajar dan merespon guru, c) menunjukan hasil-hasil tes dengan baik, d) mengerjakan pekerjaan rumah ( Abu Ahmadi, 1990,206-207).
3) Penguatan positif (ganjaran/reward), yaitu memberikan hadiah atau ganjaran pada siswa yang telah menunjukan tingkah laku belajar yang positif, seperti siswa lebih rajin, selalu mengerjakan tugas, atau siswa yang prestasinya meningkat.
c. Systematic desensitization ( desensitisasi sistematik ) yaitu teknik yang  digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dilakukan dengan pengondisian klasik serta teknik relaksasi. Teknik ini sesuai untuk menangani masalah fobia, kecemasan menghadapi ujian, kecemasan neurotik, disfungsi seksual (Suparti : 2008: 47)l. Beberapa teknik yang termasuk dalam desensitisasi sistemik antara lain.
1)    Ekstingsi, dilakukan dengan meniadakan peristiwa penguat tingkah laku contohnya   reinforcement berupa perhatian, jika murid perhatiannya kesana  kemari  maka  guru  tidak  akan  memberi perhatian  pada  murid sehingga murid tidak mendapat  penguat tingkah laku dari guru. (Abu Ahmadi, 1990: 208).
2)    Satiasi/aversi, yaitu suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. Contoh seorang ayah yang memergoki anak kecilnya merokok, maka ayah tersebut menyuruh anaknya merokok sampai habis satu pak, sehingga anak itu mual, muntah dan bosan dengan rokok (Abu Ahmadi, 1990: 208).
3)    Relapse prevention (pencegahan kambuhan), melalui teknik ini klien dapat belajar mengidentifikasi situasi yang memicu timbulnya kesalahan dan mendapatkan ketrampilan sosial untuk menghadapinya, agar tidak kambuh lagi. Menurut Marlat dan Gordon (1985), langkah-langkah pencegahan kambuhan adalah: a) Menyifati tiga jenis perilaku penyebab kambuhan yaitu perasaan tertekan,Konflik interpersonal, tekanan dari orang lain, b) Memberikan intruksi tertulis pada klien berkenaan dengan tindakan yang harus diambil, c) meminta nomor telepon yang dapat dihubungi (orang tua untuk keperluan monitoring) (John McLeod, 2006:158).

 Menurut Zaenudin (2008:12-13) proses konseling behavioal dibingkai oleh kerangka kerja untuk mengajar klien dalam mengubah tingkah lakunya. Kerangka kerja konseling yang dimaksud adalah Assesment, goal setting, technique implementation, evaluation termination, dan feedback. Untuk itu konselor diharapkan bisa Aktif dan direktif dalam pemberian treatment. Konselor bisa berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan , mengarah pada tingkah laku baru yang sesuai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar