UPAYA MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR MELALUI KONSELING
KELOMPOK DENGAN PENDEKATAN BEHAVIORAL PADA SISWA KELAS 8D SMP NEGERI 2
SUKOHARJO
Semester
II Tahun pelajaran 2012/2013
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Kajian Teori
1.
Motivasi Belajar
Menurut
Suharno (2008:14) Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak dalam diri
siswa yang akan menimbulkan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan
belajar.
Dari
pendapat Suharno diatas dapat ditarik pengertian bahwa motivasi itu adalah
penggerak, yakni penggerak yang menimbulkan keinginan pada siswa yaitu
keinginan untuk tahu, keinginan untuk kreatif, keinginan untuk memperbaiki
kegagalan, keinginan untuk sukses dan sebagainya. Kemudian motivasi belajar itu
merupakan penggerak yang akan menimbulkan kegiatan belajar, kegiatan belajar di
sini meliputi mendengarkan, menyimak, mengerjakan tugas, mengobservasi,
meneliti, menelaah, materi pelajaran. Selanjutnya motivasi belajar akan
memberikan arah pada kegiatan belajar maksudnya mengarahkan siswa pada
pencapaian tujuan belajar yaitu mengerti,memahami dan terampil terhadap apa
yang dipelajari.
Suharno
(2008 : 14 ), berpendapat bahwa dalam hal motivasi belajar menurut asalnya
dapat di golongkan menjadi motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik , dengan uraian sebagai berikut :
1).
Motivasi intrinsik, yaitu motivasi yang berasal dari dalam diri endiri.
Motivasi ni dapat muncul karena: a) Merasakan pentingnya belajar. b). Merasakan dan
mengetahui kemajuannya sendiri dari hasil belajar. c). Mempunyai keinginan
untuk meraih cita-cita dengan cara belajar.
2). Motivasi
ekstrinsik, yaitu motivasi yang berasal dari luar diri sendiri. Hal yang bisa menimbulkan motivasi ekstrinsik
adalah: a). Ganjaran (award), b). Hukuman (Punishment), c) Persaingan
(competition).
Selanjutnya
cirri-ciri seorang siswa yang memiliki motivasi belajar menurut Suharno adalah
sebagai berikut :
1). Senang menjalankan tugas belajar.
2). Bersemangat dan bergairah saat
menerima pelajaran.
3). Tidak malu untuk bertanya bila belum tahu
4). Tidak menunda-nunda dalam
melaksanakan tugas yang diberikan.
5). Disiplin dalam memanfaatkan waktu. (
2008:14)
Sejalan
dengan pendapat suharno di atas, A.M Sardiman ( 2005: 83) mengemukakan
ciri-ciri orang yang mempunyai motivasi sebagai berikut:
a. Tekun dalam menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti
sebelum selesai).
b.
Ulet dalam menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa).
c.
Menunjukan minat terhadap macam-macam masalah.
d.
Lebih senang bekerja mandiri.
e.
Cepat bosan pada tugas-tugas rutin
f.
Dapat mempertanggung jawabkan pendapat-pendapatnya
g.
Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal
Dari pendapat Suharno dan A.M Sardiman tentang motivasi
Intrinsik, motivasi ekstrinsik serta ciri-ciri orang yang mempunyai motivasi,
diatas maka dapat ditarik kesimpulan mengenai unsur-unsur atau indikator-indikator
motivasi belajar sebagai berikut:
a.
Motivasi Intrinsik
1). Senang menjalankan tugas belajar.
2). Menunjukan minat mendalami materi yang di pelajari lebih jauh.
3). Bersemangat dan bergairah untuk
berprestasi
4). Merasakan pentingnya belajar
5). Ulet dan tekun dalam menghadapi masalah belajar
6). Mempunyai keinginan untuk meraih cita-cita dengan cara belajar.
b.
Motivasi ekstrinsik
1). Ganjaran (award) atau Hadiah (reward)
2). Hukuman (punishment)
3). Persaingan dengan teman /lingkungan ( Competition)
2.
Konseling Kelompok
Dalam Buku Panduan Model
Pengembangan Diri ( 2006:6) yang dimaksud dengan konseling kelompok adalah: ”
Layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah
pribadi melalui dinamika kelompok.” Kemudian dalam Buku Panduan Pelayanan
Bimbingan dan Konseling Berbasis Kompetensi (2002 : 19) yang dimaksud dengan
konseling kelompok adalah:
Layanan
bimbingan dan konseling yang memungkinkan
peserta didik (klien) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan
pengentasan permasalahan yang dialaminya melalui dinamika kelompok; masalah
yang dibahas itu adalah masalah-masalah pribadi yang di alami oleh
masing-masing anggota kelompok.
Dari
definisi di atas dapatlah ditarik pengertian mengenai konseling kelompok
sebagai berikut :
a. Konseling
kelompok adalah bantuan, artinya kegiatan ini merupakan bantuan dari konselor
kepada konseli, sehingga konseli bisa merasakan hal-hal positif seperti
bebannya jadi ringan,punya semangat dan memperoleh alternatif pemecahan
masalah.
b. Konseling kelompok adalah kegiatan yang
memanfaatkan dinamika kelompok, artinya kegiatan ini dilaksanakan sekelompok
konseli yang bersedia melibatkan diri dalam pemecahan masalah, sanggup menjalin
kerjasama antara anggota kelompok, adanya saling mempercayai, adanya semangat
yang tinggi, adanya saling memberikan tanggapan, reaksi dan empati antar
anggota kelompok.
c. Konseling
kelompok berfungsi untuk pembahasan dan pengentasan masalah konseli, artinya
tujuan akhir dari rangkaian kegiatan konseling kelompok adalah mengentaskan
masalah konseli sehingga konseli bisa berkembang optimal sesuai dengan tugas
perkembangannya.
Konseling kelompok pada umumnya
dilakukan melalui empat tahap, yaitu tahap Pembentukan, tahap peralihan, tahap
pelaksanaan kegiatan dan tahap pengakhiran ( Prayitno, 1995: 40). Tahap-tahap ini merupakan satu kesatuan dalam seluruh
kegiatan kelompok.
a. Tahap
Pembentukan
Tahap Pembentukan merupakan tahap
pengenalan, tahap pelibatan diri, tahap memasukan diri kedalam kehidupan suatu
kelompok. Pada tahap ini para anggota saling memperkenalkan diri dan
mengungkapkan tujuan atau harapan-harapan yang ingin dicapai. Tujuan dari tahapan ini adalah agar tumbuh
suasana kelompok, tumbuhnya minat anggota mengikuti kegiatan kelompok, tumbuh
suasana saling mengenal,percaya, menerima, dan membantu diantara anggota
kelompok, tumbuh suasana bebas dan terbuka, dimulainya pembahasan tentang
tingkahlaku dan perasaan dalam kelompok.
Peran konselor sebagai pimpinan
kelompok pada tahap
ini antara lain :
1) Menjelaskan
tentang tujuan kegiatan,
2) Menumbuhkan
rasa saling mengenal antar anggota,
3) menumbuhkan
sikap saling mempercayai dan menerima.
Beberapa
teknik yang bisa digunakan dalam tahap ini diantaranya teknik ”pertanyaan dan
jawaban” serta teknik permainan kelompok ( Prayitno, 1995: 40-44).
b. Tahap
Peralihan
Setelah tahap pembentukan konseling
kelompok dapat dilanjutkan ketahap berikutnya yaitu tahap peralihan, dimana
tahap ini merupakan pembangunan jembatan antara tahap pertama dan tahap ketiga.
Pada tahap ini langkah-langkah yang dilakukan
konselor meliputi beberapa hal sebagai berikut:
1)
konselor menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada
tahap berikutnya.
2)
Menawarkan atau mengamati apakah anggota sudah siap
menjalani kegiatan pada tahap selanjutnya,
3)
meningkatkan keikutsertaan anggota.
Tujuan dari tahap peralihan adalah
membebaskan konseli dari perasaan enggan serta memantapkan suasana kelompok dan
kebersamaan. Peranan konselor pada tahap ini yakni menerima suasana yang ada
secara sabar dan terbuka, mendorong dibahasnya suasana perasaan masing-masing
konseli serta membuka diri dan penuh empati (prayitno, 1995: 44-47).
c. Tahap
Kegiatan
Tahap ketiga dari konseling
kelompok adalah tahap pelaksanaan kegiatan
atau tahap kegiatan pencapaian tujuan, tahap ini merupakan tahap yang
sebenarnya dari kelompok, namum kelangsungan kegiatan kelompok pada tahap ini
amat tergantung dari keberhasilan dua tahap sebelumnya.
Langkah-langkah kegiatan pada tahap
pelaksanaan kegiatan ini antara lain:
1)
Masing-masing konseli secara bebas mengemukakan masalah
atau topik bahasan,
2)
menetapkan topik yang akan dibahas dulu,
3)
konseli membahas masing-masing topik secara mendalam dan
tuntas, disamping itu perlu diadakan kegiatan selingan.
Tujuan dari tahap ketiga ini adalah
: Terungkapnya secara bebas masalah atau topik yang dirasakan, dipikirkan dan
dialami oleh anggota kelompok, terbahasnya masalah dan topik yang
dikemukakan secara mendalam dan tuntas,
ikut sertanya seluruh anggota secara aktif dan dinamis dalam pembahasan, baik
yang menyangkut unsur-unsur tingkah laku, pemikiran ataupun
perasaan. Peranan konselor pada tahap ini yakni sebagai pengatur lalu lintas yang sabar dan terbuka, aktif
tetapi tidak banyak bicara,
memberikan dorongan dan penguatan
serta penuh empati
( prayitno, 1995:47-57 ).
d.
Pengakhiran
Tahap keempat dari konseling
kelompok adalah tahap pengakhiran atau tahap penilaian dan tindak lanjut, pada
tahap ini kegiatan konseling kelompok hendaknya dipusatkan pada pembahasan dan
penjelajahan tentang apakah para konseli akan mampu menerapkan hal-hal yang
telah mereka bahas dalam konseling kelompok.
Kegiatan pada tahap peralihan
ini langkah-langkahnya yang dapat di ambil lantara lain:
1)
penjelasan konselor bahwa kegiatan akan diakhiri,
2)
Konselor dan konseli mengemukakan kesan dan hasil-hasil
kegiatan,
3)
membahas kegiatan lanjutan,
4)
mengemukakan pesan dan harapan.
Tujuan dari tahap pengakhiran
adalah mengungkap kesan-kesan konseli tentang pelaksanaan kegiatan, mengungkap
hasil kegiatan kelompok yang telah dicapai yang dikemukakan secara mendalam dan
tuntas, merumuskan rencana kegiatan lebih lanjut, menjaga hubungan kelompok dan
rasa kebersamaan meskipun kegiatan diakhiri. Peranan konselor disini
diantaranya tetap mengusahakan suasana hangat,
bebas dan terbuka. Memberikan dorongan untuk kegiatan lebih
lanjut, menjaga rasa persahabatan dan
empati. ( Prayitno, 1995: 58-60).
Dalam kaitanya dengan pengembangan
diri, melalui konseling kelompok
masing-masing konseli akan mendapatkan pengalaman dalam mengemukakan pendapat,
memberikan tanggapan, mengambil kesimpulan, memberikan empati dan mengendalikan
ego yang semua itu akan membantu perkembangan pribadi konseli.
3.
Pendekatan Konseling Behavioral
Tingkah laku belajar siswa banyak
yang mal-adaptif seperti suka membolos, terlambat mengikuti pelajaran, tidak
mengerjakan tugas, tidak memperhatikan saat guru menerangkan dan lain-lain,
untuk itu tingkah laku ini perlu di ubah menjadi tingkah laku yang adaptif
melalui pendekatan konseling behavioral sebagaimana pendapat Zaenudin (2008:9)
yang menyatakan bahwa :
Pendekatan konseling behavioral merupakan
penerapan berbagai macam teknik dan prosedur yang berakar dari berbagai teori
tentang belajar. Dalam prosesnya pendekatan ini menyertakan penerapan yang
sistematis prinsip-prinsip belajar pada pengubahan tingkah laku kearah
cara-cara yang lebih adaptif.
Tujuan konseling behavioral menurut Krumboltz
dan Thoresen (Shertzer dan Stone, 1980)
adalah: ‘membantu individu untuk “belajar” memecahkan masalah
interpersonal, emosional, dan keputusan tertentu’. Penekanan kata belajar dalam
proposisi di atas adalah atas pertimbangan bahwa konselor membantu klien
belajar atau mengubah tingkah lakunya. Konselor berperan dalam
membantu proses belajar dengan
menciptakan kondisi yang
sedemikian rupa sehingga klien dapat
memecahkan masalahnya dan mengubah tingkah lakunya (Zaenudin, 2008 : 11-12).
Berarti dalam konseling behavioral konselor berusaha membantu klien dalam
membuat putusan-putusan baru yang menyangkut tingkah lakunya sekarang dan arah
hidupnya.Tingkah laku yang di maksud adalah tingkah laku mal-adaptif atau
tingkah laku bermasalah yang akan di ubah menjadi tingkah laku yang adaptif
sesuai dengan tuntutan lingkungan. Tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku atau kebiasaan-kebiasaan negatif
atau tingkah laku yang tidak tepat, yaitu tingkah laku yang tidak sesuai dengan
tuntutan lingkungan. Tingkah laku yang salah hakikatnya terbentuk dari cara
belajar atau lingkungan yang salah.
Ada banyak teknik konseling yang bisa diterapkan
dalam pendekatan konseling behavioral. Teknik-teknik tersebut diantaranya :
a. Latihan
asertif (dengan menggunakan permainan peran) : digunakan untuk membantu klien
yang tidak mampu mengungkapkan kemarahan dan perasaan tersinggung, menunjukkan
kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya,
memiliki kesulitan untuk mengatakan ‘tidak’, mengalami kesulitan untuk
mengungkapkan perasaan afektif dan positif, merasa tidak punya hak untuk
memiliki perasaan dan pikiran sendiri ( Suparti, 2008: 45)
b. Operant
Conditioning ( Pengkondisian Operan)
Teori
pengkondsiian yang dikembangkan oleh Skinner ini menekankan pada peran
lingkungan dalam bentuk konsekuensi-konsekuensi yang mengikuti dari suatu
tingkah laku. Menurut teori ini, tingkah laku individu terbentuk atau
dipertahankan sangat ditentukan oleh konsekuensi yang menyertainya. Jika
konsekuensinya menyenangkan maka tingkah lakunya cenderung dipertahankan dan
diulang, sebaliknya jika konsekuensinya tidak menyenangkan maka tingkah lakunya
akan dikurangi atau dihilangkan. (Zaenudin, 2008:11).Beberapa teknik operan
conditioning antara lain :
1) Shaping, yaitu teknik untuk mengajarkan tingkah
laku yang komplek menjadi beberapa tingkah laku yang” simple response”.Proses
ini dimulai dengan penetapan tujuan, kemudian di adakan analisis tugas,
langkah-langkah kegiatan murid, dan reinforcement terhadap respon yang
diinginkan. Secara eksplisit penerapan teknik shaping dalam perbaikan tingkah
laku belajar siswa sebagaimana dikemukakan Fraznier adalah : a) datang dikelas
pada waktuya, b) berpartisipasi dalam belajar dan merespon guru, c) menunjukan
hasil-hasil tes dengan baik, d) mengerjakan pekerjaan rumah ( Abu Ahmadi,
1990,206-207).
3) Penguatan positif (ganjaran/reward), yaitu
memberikan hadiah atau ganjaran pada siswa yang telah menunjukan tingkah laku
belajar yang positif, seperti siswa lebih rajin, selalu mengerjakan tugas, atau
siswa yang prestasinya meningkat.
c. Systematic desensitization ( desensitisasi
sistematik ) yaitu teknik yang digunakan
untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif, dilakukan dengan
pengondisian klasik serta teknik relaksasi. Teknik ini sesuai untuk menangani
masalah fobia, kecemasan menghadapi ujian, kecemasan neurotik, disfungsi
seksual (Suparti : 2008: 47)l. Beberapa teknik yang termasuk dalam
desensitisasi sistemik antara lain.
1)
Ekstingsi, dilakukan dengan meniadakan peristiwa penguat
tingkah laku contohnya reinforcement
berupa perhatian, jika murid perhatiannya kesana kemari
maka guru tidak
akan memberi perhatian pada
murid sehingga murid tidak mendapat
penguat tingkah laku dari guru. (Abu Ahmadi, 1990: 208).
2)
Satiasi/aversi, yaitu suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan
perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah atau jera. Contoh seorang
ayah yang memergoki anak kecilnya merokok, maka ayah tersebut menyuruh anaknya
merokok sampai habis satu pak, sehingga anak itu mual, muntah dan bosan dengan
rokok (Abu Ahmadi, 1990: 208).
3)
Relapse prevention (pencegahan kambuhan), melalui
teknik ini klien dapat belajar mengidentifikasi situasi yang memicu timbulnya
kesalahan dan mendapatkan ketrampilan sosial untuk menghadapinya, agar tidak
kambuh lagi. Menurut Marlat dan Gordon (1985), langkah-langkah pencegahan
kambuhan adalah: a) Menyifati tiga jenis perilaku penyebab kambuhan yaitu
perasaan tertekan,Konflik interpersonal, tekanan dari orang lain, b) Memberikan
intruksi tertulis pada klien berkenaan dengan tindakan yang harus diambil, c)
meminta nomor telepon yang dapat dihubungi (orang tua untuk keperluan
monitoring) (John McLeod, 2006:158).
Menurut Zaenudin (2008:12-13) proses konseling
behavioal dibingkai oleh kerangka kerja untuk mengajar klien dalam mengubah
tingkah lakunya. Kerangka kerja konseling yang dimaksud adalah Assesment,
goal setting, technique implementation, evaluation termination, dan feedback.
Untuk itu konselor diharapkan bisa Aktif dan direktif dalam pemberian
treatment. Konselor bisa berfungsi sebagai guru, pengarah, dan ahli dalam
mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam menentukan
prosedur-prosedur penyembuhan yang diharapkan , mengarah pada tingkah laku baru
yang sesuai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar