Upaya Meningkatkan
tingkat kehadiran siswa di sekolah dengan layanan konseling perorangan/pribadi”
pada siswa kelas VII SMP N 6 Sukoharjo
BAB
II
KAJIAN
TEORI
A
Kehadiran siswa
1. Pengertian
Kehadiran
siswa di sekolah (school attandence) adalah kehadiran dan keikutsertaan siswa
secara fisik dan mental terhadap aktivitas sekolah pada jam-jam efektif di
sekolah. Sedangkan ketidakhadiran adalah ketiadaan partisipasi secara fisik
siswa terhadap kegiatan-kegiatan sekolah. Pada jam-jam efektif sekolah, siswa
memang harus berada di sekolah. Kalau tidak ada di sekolah, seyogyanya dapat
memberikan keterangan yang sah serta diketahui oleh orang tua atau walinya (akhmad sudrajad 2010).
Siswa
yang hadir di sekolah hendaknya dicatat oleh guru dalam buku presensi.
Sementara siswa yang tidak hadir di sekolah dicatat dalam buku absensi. Dengan
perkataan lain, presensi adalah daftar kehadiran siswa, sementara absensi
adalah buku daftar ketidakhadiran siswa.
Pada
umumnya ketidakhadiran siswa menurut akhmad sudrajad (2010) dapat dibagi
kedalam tiga bagian: (1) alpa, yaitu ketidakhadiran tanpa keterangan yang jelas, dengan alasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan; (2) ijin,
ketidakhadiran dengan keterangan dan
alasan tertentu yang bisa
dipertanggungjawabkan, biasanya disertai
surat pemberitahuan dari orang tua; dan
(3) sakit, ketidakhadiran dengan alasan gangguan kesehatan,
biasanya disertai surat pemberitahuan
dari orang tua atau surat keterangan sakit dari dokter.
Secara
administratif, pengelolaan kehadiran dan
ketidakhadiran siswa pada tingkat kelas menjadi tanggung jawab wali kelas. Oleh karena itu, wali kelas seyogyanya dapat
mendata secara akurat tingkat kehadiran
dan ketidakhadiran siswa di kelas yang menjadi tanggung jawabnya sekaligus
dapat menganalisis dan menyajikannya dalam bentuk grafik atau tabel (diusahakan
tersedia catatan harian dan tabel/grafik bulanan).
Sementara
untuk tingkat sekolah, petugas yang tepat mengelola kehadiran dan
ketidakhadiran siswa adalah wakasek kesiswaan. Sama halnya dengan wali
kelas, wakasek kesiswaan pun seyogyanya
dapat mendata secara akurat tingkat
kehadiran dan ketidakhadiran siswa secara keseluruhan serta dapat menganalisis
dan menyajikannya dalam bentuk
grafik/tabel(DIKNAS 2008).
Informasi
tingkat kehadiran dan ketidakhadiran siswa ini sangat berguna untuk pengambilan
kebijakan, baik pada tingkat kelas maupun
sekolah serta dapat digunakan untuk kepentingan pemberian bimbingan kepada
siswa yang mengalami kesulitan dalam menunaikan kewajiban kehadirannya di
sekolah.
Rekapitulasi
data ketidakhadiran siswa secara perorangan, –baik karena alasan alpa, sakit
maupun ijin,– seyogyanya disampaikan
kepada orang tua, minimal dilakukan setiap bulan. Hal ini penting
dilakukan agar orang tua dapat mengetahuinya dan dapat mengambil peran dalam
upaya mencegah dan mengatasi masalah ketidakhadiran anaknya.
Ada banyak sumber penyebab ketidakhadiran siswa di
sekolah, baik yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri (faktor
internal), –misalnya karena disiplin diri
dan motivasi belajar yang rendah-
maupun dari luar diri siswa (faktor eksternal), –misalnya
lingkungan sekolah dan pergaulan yang kurang kondusif. Lingkungan keluarga
merupakan salah satu faktor eksternal yang mungkin bisa menyebabkan
ketidakhadiran siswa di sekolah (DIKNAS 2008).
Upaya pengentasan masalah ketidakhadiran siswa yang
bersumber dari faktor keluarga tentu saja sangat membutuhkan peran dan
keterlibatan dari keluarga itu sendiri untuk bersama-sama mencari solusi yang
terbaik. Namun apabila faktor penyebabnya
diduga dari dalam diri siswa,
maka layanan konseling perorangan atau
bantuan individual tampaknya bisa dijadikan sebagai sebuah pilihan.
Menurut Priyatno dan Anti (1999) permasalahan yang
dihadapi siswa di sekolah seringkali tidak dapat dihindari, meski demgan
pengajar terbaik sekalipun. Hal ini terlebih lagi disebabkan karena
sumber-sumber permasalahan siswa banyak yang terletak di luar sekolah.
Permasalahan siswa dalam kaitan itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Apabila
misi sekolah adalah menyediakan pelayanan pendidikan yang luas secara efektif
mencapai tujuan perkembangannya dan mengatasi permasalahannya, maka segenap
kegiatan dan kemudahan yang diselenggarakan sekolah perlu diarahkan kesana. Di
sinilah dirasakan perlunya bimbingan dan konseling disamping kegiatan
pengajaran.
Bimbingan dan
konseling di sekolah dalam tugas pelayanan yang lebih luas merupakan pelayanan
untuk semua murid yang mengacu pada keseluruhan perkembangan mereka, yang
meliputi dimensi kemanusian dalam rangka mewujudkan manusia seutuhnya. Demikian
berartinya fungsi bimbingan dan konseling bagi siswa namun fungsi dan
peranannya sering tidak diperhatikan oleh siswa, padahal cakupannya tidak hanya
terbatas siswa bermasalah. Mendengar istilah bimbingan konseling, awam
memandang sebagai tempat orang yang bermasalah. Tidak mengherankan jika layanan
bimbingan konseling sering sepi dari kunjungan siswa.
- Konseling Individu
·
Pengertian Konseling
Individu
Menurut definisi, konseling individu yaitu merupakan
salah satu pemberian bantuan secara perseorangan dan secara langsung. Dalam
cara ini pemberian bantuan dilakukan secara face to face relationship (hubungan
muka ke muka,atau hubungan empat mata) antara konselor dengan individu yang
terjadi ketika seorang konselor bertemu secara pribadi dengan seorang siswa
untuk tujuan konseling
(aristha millayani 2012) .
·
Proses Konseling
Tujuan konseling menurut Adler adalah mengurangi intensitas
perasaan rasa rendah diri (inferior), memperbaiki kebiasaan-kebiasaan yang
salah dalam persepsi, menetapkan tujuan hidup, mengembangkan kasih sayang
terhadap orang lain, dan meningkatkan kegiatan.
Proses konseling diarahkan oleh konselor untuk mendapatkan
informasi-informasi berkaitan dengan masa sekarang dan masa lalu sejak klien
berusia kanak-kanak. Mulai dari mengingat komponen-komponen dalam keluarga,
keanehan-keanehan prilaku yang terjadi didalam keluarga, sampai hal yang
spesifik. Hal ini sangat membantu konselor dalam menghimpun informasi serta
menggali feeling of inferiority (FOI) klien..Teknik yang digunakan oleh
konselor adalah membangun hubungan yang baik dengan klien. Prayitno (1998:52)
Menurut Arista Millayani (2012)
Proses Pelaksanaan Konseling Individual adalah dari kegiatan paling awal sampai kegiatan
akhir, terentang dalam lima tahap, yaitu : (1) tahap pengantaran
(introduction), (2) tahap penjajagan (insvestigation), (3) tahap penafsiran
(interpretation) (4) tahap pembinaan (intervention), dan (5) tahap penilaian
(inspection). Dalam keseluruhan proses layanan konseling perorangan, konselor
harus menyadari posisi dan peran yang sedang dilakukannya.
1.
Pengantaran
Proses pengantaran mengantarkan klien memasuki kegiatan konseling
dengan segenap pengertian, tujuan, dan prinsip dasar yang menyertainya. Proses
pengantaran ini ditempuh melalui kegiatan penerimaan yang bersuasana hangat,
permisif, tidak menyalahkan, penuh pemahaman, dan penstrukran yang jelas.
Apabila proses awal ini efektif, klien akan termotivasi untuk menjalani proses
konseling selanjutnya dengan hasil yang lebih menjanjikan.
2.
Penjajagan
Proses penjajagan dapat diibaratkan sebagai membuka dan memasuki
ruang sumpek atau hutan belantara yang berisi hal-hal yang bersangkut paut
dengan permasalahan dan perkembangan klien. Sasaran penjajagan adalah hal-hal
yang dikemukakan klien dan hal-hal lain perlu dipahami tentang diri klien.
Seluruh sasaran penjajagan ini adalah berbagai hal yang selama ini terpendam,
tersalahartikan dan/atau terhambat perkembangannya pada diri klien
1. Penafsiran
Apa yang terungkap melalui panjajagan merupakan berbagai hal yang
perlu diartikan atau dimaknai keterkaitannya dengan masalah klien.
4.
Pembinaan (intervensi)
Proses pembinaan ini secara langsung mengacu kepada pengentasan
masalah dan pengembangan diri klien.
5.
Penilaian
Upaya pembinaan melalui konseling diharapkan menghasilkan
terentaskannya masalah klien. Ada tiga jenis penilaian yang perlu dilakukan
dalam konseling perorangan, yaitu penialaian segera, penilaian jangka pendek,
dan penialaian jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar