Senin, 18 April 2016

SEPULUH ALASAN, MENGAPA GURU ENGGAN MENULIS



SEPULUH ALASAN, MENGAPA GURU ENGGAN MENULIS

Drs. A. Sardi

            Guru harus bisa menyelenggarakan penelitian sederhana untuk kepentingan pengajaran. Demikian salah satu butir dari Sepuluh Kemampuan Dasar Guru. Hal ini menuntut agar guru mampu mengkaji konsep dasar penelitian dan melaksanakan penelitian sederhana. Secara implisit, guru dituntut untuk bisa menghasilkan karya tulis sederhana.
            Akan tetapi apa yang terjadi di lapangan ? Banyak guru enggan untuk menulis. Apa yang menyebabkannya ? Dari hasil analisis, ada beberapa alasan mengapa guru enggan menulis. Di antaranya adalah:
1.     Tidak tahu tujuan menulis
Menulis merupakan suatu proses pembelajaran. Baik itu untuk diri penulis maupun orang lain. Apabila seorang mampu menulis, tujuan utamanya adalah agar tulisan itu dibaca oleh orang lain. Orang lain yang mulanya tidak tahu, menjadi tahu. Dengan demikian, diri penulis akan teraktualisasi (dikenal), diakui eksistensinya dan tentu saja akan merasa bangga dan puas yang tidak bisa diukur nilainya. Jika hasil tulisan dimuat di suatu surat kabar, tentu akan mendapat penghargaan dan imbalan yang layak. Jadi secara ekonomis, bisa menambah penghasilan bagi orang yang berhasil menulis.
Apabila seorang guru mau dan mampu mendasari semangatnya dengan berpijak dari tujuan menulis, maka hasil tulisannya akan berkembang dan berbobot.

2.     Tidak mau belajar dan membaca
Banyak orang ingin bisa memiliki keterampilan menulis, namun banyak pula yang tidak mau tahu, bagaimana proses untuk menjadi seorang penulis tersebut. Salah satu usaha untuk menjadi penulis, harus mau belajar kepada siapa saja dan tentang berbagai hal sebagai penunjang terbentuknya sebuah tulisan. Salah satu bentuk belajar yang dilakukan penulis adalah membaca. Dengan belajar dan membaca, penulis akan memiliki bahan yang luas untuk diolah menjadi sebuah tulisan.
Sayang, banyak guru merasa enggan belajar dan membaca. Merasa pengetahuan dan keterampilan yang sekarang dimilikinya sudah banyak. Mereka mengetahui bahwa ilmu itu selalu berkembang, tetapi kurang mau menyikapi perkembangan ilmu dengan belajar dan membaca. Apalagi menulis ?

3.     Tidak punya waktu untuk menulis.
Dengan banyaknya beban dan tanggungjawab yang ada, orang merasa tidak punya waktu dan kesempatan lagi untuk menulis. Benarkah demikian ? Perlu disadari bahwa Tuhan itu Maha Adil. Tuhan memberikan waktu yang sama kepada semua ciptaan-Nya. Jika ada orang beralasan tidak punya waktu untuk menulis, mungkin mempunyai anggapan bahwa menulis itu butuh waktu khusus. Pada hal, menulis itu bisa dilakukan kapan dan di mana saja. Terlebih untuk jaman modern sekarang ini, alat untuk menulis semua serba canggih.
Tugas dan tanggungjawab guru di mana saja sama. Banyak guru yang berhasil menulis. Hal ini menunjukkan bahwa mereka (termasuk kita) masih punya waktu untuk menulis. Tinggal bagaimana  kita mengatur atau mengelola waktu untuk menulis.



4.     Tidak tahu mesti menulis tentang apa
Menulis tidak jauh berbeda dengan berbicara. Menulis itu berbicara yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Jika bingung akan menulis tentang apa, tulis saja tentang apa yang sedang kita bicarakan. Atau apa yang sekarang kita rasakan dan alami.
Sebagai seorang guru tentu sering mendengar, melihat, dan merasakan suatu permasalahan yang beraneka macam. Tidak perlu bingung akan apa yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk ditulis. Ya, yang didengar, dilihat dan dirasakan itulah dituangkan dalam bentuk tulisan.

5.     Kesulitan menentukan ragam dan bentuk tulisan
Jika dalam menulis kita terpancang dengan teori tentang ragam dan bentuk suatu tulisan, maka kita akan ter-skeptis (terbatasi). Tidak merasa bebas menuangkan tulisan. Pada hal, menulis itu suatu kebebasan berekspresi menuangkan ide dan gagasan. Oleh sebab itu, salah kiranya jika kita sendiri yang membatasi diri. Ingin menulis cerita pendek, pantun, opini, future, dan sebagainya.
Sebagai seorang guru mestinya kita sadar bahwa manusia (kita) itu memiliki jiwa untuk berekspresi dalam menuangkan ide dan gagasannya. Jika kita ingin menulis, mulai saja menulis. Jangan berfikir hasil tulisannya ini nanti berbentuk apa. Biarlah orang lain yang membaca tulisan kita yang akan memberikan penilaian tentang ragam dan bentuknya.

6.     Tidak tahu teknik menulis yang baik dan benar
Yang dimaksud teknis menulis adalah kiat-kiat menulis dengan baik dan benar, sehingga hasil tulisan dinilai berkualitas. Sebenarnya banyak sekali buku-buku di pasaran yang memberikan ajaran dan petunjuk teknis menulis yang baik dan benar ini. Tetapi sejauh mana peran teori teknis ini bisa diterapkan dan memberikan penunjang kualitas sebuah tulisan ?
Memang, jika guru beralasan enggan menulis dikarenakan tidak tahu teknis menulis yang baik dan benar, sebaiknya banyak membaca buku-buku yang memberikan petunjuk cara menulis yang baik dan benar. Kunjungi perpustakaan atau toko-toko buku.

7.     Tidak tahu bagaimana cara mengirim tulisan
Tujuan utama menulis adalah agar tulisannya dibaca oleh orang lain. Jika menginginkan yang membaca tulisan itu banyak orang, kirimkan ke surat kabar agar dimuat. Sayangnya, tidak semua orang tahu bagaimana cara mengirimkan tulisannya. Pada hal ini mudah. Tulis sebuah surat yang ditujukan kepada redaksi yang diinginkan. Isi surat, memohon agar tulisan dimuat. Jika karena kurang memenuhi syarat untuk dimuat, mintalah dikembalikan, asal disertai perangko secukupnya. Jika mungkin, kirimkan melalui e-mail atau faxcimili. Di setiap surat kabar pasti ada.
Sebagai seorang guru hendaknnya jangan gagap teknologi. Dengan kemampuan dan ketarampilan yang kita miliki, mari kita gunakan untuk mengembangkan diri dengan menuangkan ide dan gagasan kita dalam bentuk tulisan.

8.     Tidak  memiliki daya juang dan daya saing yang tinggi
Banyak orang yang sudah menulis dan bahkan sudah mencoba mengirimkan tulisannya ke surat kabar untuk dimuat. Akan tetapi baru mengirimkan beberapa tulisannya dan belum menampakkan hasil, sudah patah arang di tengah jalan. Mereka tidak mau merefleksi dan mengevaluasi diri, mengapa sampai beberapa waktu lamanya tidak kunjung dimuat ? Kurang menarik atau berbobotkah tulisannya ? Pada hal jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan lain yang sudah dimuat, tulisannya memiliki nilai lebih.
Sebagai seorang (guru) penulis, terlebih tergolong penulis pemula, hendaknya memiliki daya juang dan daya saing yang tinggi. Sebuah tulisan agar layak muat di suatu surat kabar butuh proses , penilaian, dan pertimbangan berbagai aspek. Untuk itu, jangan mudah putus asa (“mutung”) jika tulisannya kalah bersaing. Justru ini dijadikan sebagai pemacu untuk lebih meningkatkan kualitas tulisan kita.

9.     Merasa bangga dan puas akan tulisannya
Beberapa orang merasa bangga dan puas setelah mendapatkan suatu penghargaan dari karya tulisannya. Mereka enggan menggembangkan dan mencoba menulis hal yang lain. Mereka merasa “tersanjung” akan karyanya. Orang yang demikian ini bisa dikatakan berkarya kurang dijiwai oleh rasa seni. Mereka berkarya hanya karena tuntutan belaka.
Sebagai seorang guru, mestinya menjadi guru yang kreatif dan inovatif. Jika telah berhasil membuahkan karya seni (tulisan), hendaknya tidak berhenti dan merasa puas. Tetapi justru dijadikan pemacu semangat bahwa kita bisa . Bahkan lebih bisa jika berusaha mengembangkannya.

10.  Tidak memiliki keterampilan menulis
Persepsi keterampilan tidak jauh berbeda dengan bakat. Salah satu kesamaannya, apabila tidak diasah dengan latihan, maka ketarampilan dan bakat akan tidak berkembang dan hilang. Menulis termasuk suatu keterampilan dan juga bakat. Semua orang yang bisa menulis tentu bisa membuat “karya seni dalam bentuk tulisan
Sebagai seorang guru, menulis adalah suatu kewajiban. Sedangkan tulisan adalah suatu yang selalu dipandang / dibaca. Jadi sebagai seorang guru harusnya menyadari bahwa dirinya memiliki keterampilan dan bakat untuk menulis. Maka tidak ada alasan guru tidak bisa menulis.

                                                                        Kiriman: A. Sardi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar