Sabtu, 09 April 2016

DUALISME KURIKULUM MEMBINGUNGKAN GURU



DUALISME KURIKULUM MEMBINGUNGKAN GURU
Oleh:  Drs.A.Sardi

Pendidikan menjadi hal yang sangat penting dan mendasar bagi kehidupan seseorang, dengan pendidikan yang baik maka akan baik pula pola pikir dan sikap seseorang. Pendidikan yang baik terbentuk dari pola dan sistem pendidikan yang baik pula. Pola dan sistem pendidikan yang baik terwujud dengan kurikulum yang baik.

Secara tradisional kurikulum dipahami sebagai sejumlah pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa untuk kenaikan kelas atau memperoleh suatu ijazah. Sedangkan secara modern, kurikulum merupakan keseluruhan usaha sekolah untuk mempengaruhi belajar, baik yang berlangsung di dalam kelas maupun di luar kelas (Saylor J Gallen dan William N Alexander dalam bukunya “Curriculum Planing”). Berbeda dengan pendapat B. Ragan, kurikulum adalah semua pengalaman anak di bawah tanggungjawab sekolah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 19, Ayat 1, Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan.

            Adalah hal yang wajar ( bahkan harus ) suatu kurikulum mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan kurikulum yang sedang diberlakukan sudah tidak sesuai  dengan perkembangan jaman dan tuntutan kebutuhan. Secara umum perubahan kurikulum bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu bersifat perubahan total (menyeluruh) dan bersifat perubahan sebagian (tambal sulam).

            Mengubah kurikulum tidaklah semudah membolak-balikkan telapak tangan. Setiap ganti Menteri, ganti Kurikulum. Akan tetapi harus ada dasar dan prinsip pengkajian secara mendalam terhadap kurikulum yang diberlakukan saat itu. Prinsip umum dasar perubahan kurikulum, antara lain:

a.      Prinsip relevansi: secara internal kurikulum memiliki relevansi antar komponen-komponen  kurikulum ( tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi). Sedangkan secara eksternal, komponen-komponen tersebut  memiliki relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi epistomologis), tuntutan  dan potensi peserta didik (relevansi psikologis), serta tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosiologis)

b.     Prinsip fleksibilitas: bersifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya, memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar belakang peserta didik.

c.      Prinsip kontinuitas: yakni adanya kesinambungan dalam kurikulum, baik secara vertikal maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antar jenjang pendidikan dengan jenis pekerjaan.
d.     Prinsip efisieni: yaitu mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.

e.      Prinsip efektivitas: yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun kuantitas.

Sedangkan prinsip khususnya adalah: prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, isi pendidikan, pemilihan proses belajar mengajar, pemilihan media dan alat pelajaran, kegiatan penilaian.

Hingga saat ini negara kita pernah memberlakukan / menerapkan  beberapa kali jenis kurikulum, yaitu: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi- Versi tahun 2002 dan 2004, Kurikulum Berbasis Kompetensi – Versi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) 2006, dan Kurikulum 2013 sebagai penyempurnaan Kurikulum versi KTSP.

Sepanjang sejarah pendidikan di Indonesia, belum pernah mengalami dualisme pemberlakukan kurikulum. Baru tahun ajaran 2014 / 2015 ini pemerintah memberlakukan dua kurikulum, yaitu Kurikulum 2006 (Kurikulum KTSP) dan Kurikulum 2013 (K 13). Mengapa Kurikulum 2013 yang sudah diberlakukan untuk mengganti Kurikulum 2006 “ditunda / dibekukan”, sedangkan beberapa lembaga pendidikan yang sudah berusaha untuk mendalami dan melaksanakannya diberi kebebasan untuk melanjutkan atau “kembali” ke Kurikulum KTSP ? Terlalu jelekkah Kurikulum 2013 ?

Dibandingkan dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang  merumuskan bahwa kompetensi ditentukan oleh  masing-masing tiap mata pelajaran,  sedangkan di dalam Kurikulum 2013 sudah ada model lulusan yang ditetapkan. Sehingga kompetensi masing-masing mata pelajaran menyesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Sisi paradigma, Kurikulum 2013 mengemas mata pelajaran menjadi lebih maknawi dalam kehidupan sehari-hari dengan model pembelajaran tematik integratif dan pendekatan saintifik. Proses pembelajaran murid aktif, guru sebagai fasilitator maupun motivator, semua aspek kehidupan bisa menjadi sumber pembelajaran, serta diharapkan mampu melahirkan manusia pembelajar.
Sebelum Kurikulum 2013 diberlakukan pemerintah sudah melakukan sosialisasi pemahaman dan pendalaman melalui diskusi antar pakar dan pengamat pendidikan, work shop, pelatihan bagi tenaga kependidikan. Sayangnya pemerintah tidak melakukan uji coba pelaksanaan di suatu jenjang pendidikan sebagai pilot projeck-nya. Sebagai contoh: Sebelum pemberlakukan Kurikulum 1975 dulu ada sekolah yang dijadikan sebagai pilot projeck. Sekolah tersebut disebut sebagai Projek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP)  atau dikenal dengan “Sekolah Laboratorium”. Wajar apabila dalam  proses pelaksanaan Kurikulum 2013  mengalami beberapa kendala, yang di antaranya: Mau melahirkan manusia yang kreatif, kritis, inovatif, tetapi penuh materi yang normatif karena ada penambahan jam belajar agama. Kurikulum 2013 cocok untuk sekolah yang sudah maju dan gurunya punya semangat belajar tinggi, masyarakat yang sudah terdidik, muridnya memiliki kemampuan dan fasilitas setara, serta infrastruktur telekomunikasi dan transportasi sudah merata sehingga tidak menghambat proses. Ujian Nasional (UN) sebagai evaluasi standar proses pembelajaran siswa aktif, sedangkan guru di Indonesia pada umumnya malas belajar dan minim rasa ingin tahu. Mayoritas orangtua tidak peduli pada proses belajar si anak, kemampuan anak dan fasilitas tidak setara, infrastruktur telekomunikasi tidak merata, serta beban guru dan orangtua meningkat.
Penegasan agar kembali ke Kurikulum 2004 disampaikan Mendikbud Anies Baswedan pada Peringatan Hari Guru (25/11/2014). Guru diposisikan sebagai pusat dalam dunia pendidikan. Guru akan kembali ditulis dengan G (kapital) seperti pernah terjadi dalam sejarah, yakni sebagai sosok yang ”digugu dan ditiru” (diteladani), tentu dengan penyesuaian ruang dan waktu kini. Guru yang layak diteladani adalah yang memiliki kapabilitas diri kreatif. Diri kreatif adalah pribadi yang memiliki keberanian membebaskan pikirannya dari berbagai kungkungan.
Ketika guru didudukkan pada posisi utama, hal-hal di luar guru tentu menjadi nomor dua. Situasi ini dengan sendirinya juga meniscayakan bahwa pembangunan karakter guru menjadi yang utama. Jika diyakini bahwa pendidikan yang baik itu membebaskan, pihak pertama yang harus "dibebaskan" adalah guru. Tak mungkin siswa merasa terbebas jika gurunya sendiri terbelenggu. Guru yang terbelenggu cenderung membelenggu siswa.
Posisi guru menjadi kontradiktif, di satu sisi ia ditempatkan pada lembaga yang diandaikan bekerja secara persuasif, tetapi pada sisi lain ia sendiri sosok yang dibentuk oleh sistem yang dengan caranya sendiri bersifat represif. Dengan demikian, guru menjadi predikat dengan subyek yang "dibelah" terus-menerus. Di satu sisi ia dituntut menjadi pribadi berbudi, tetapi pada tepi lain pribadinya diacak-acak oleh sistem tak berbudi. Guru pun jadi sosok yang ambivalen, terbelah (divided self). Dengan demikian, secara filosofis dan psikologis, guru di negeri ini menjadi metafora dari tragedi subyek kemanusiaan.
Sistem yang tak berbudi sedemikian faktanya belum berubah sejak awal rezim Orde Baru hingga kini. Bentuk konkret pelaksanaan sistem ini adalah pemberlakuan kurikulum yang terlalu jauh mengacak-acak cara berpikir guru. Kurikulum menjadi penjelmaan negara yang menakutkan. Ia menjadi sebuah "kontrol disiplin" yang terus-menerus mengawasi guru. Secara filosofis dan psikologis, guru sesungguhnya tak pernah mengajar dengan subyektivitas dirinya yang diandaikan sebagai diri yang kreatif. Sistemlah (kurikulum) yang mengajar. Hal ini belum ditambah dengan kehadiran buku ajar yang juga diatur sedemikian ketat oleh penguasa.
Perubahan kurikulum yang selalu dilakukan setiap penggantian menteri hanya dimungkinkan oleh dua alasan. Pertama, kegagalan tiap menteri-baru dalam melihat mekanisme kerja sistem. Alih-alih memahami, menteri itu sendiri menjadi individu yang dikendalikan sistem sehingga ia hanya bisa melihat lapis permukaan sistem yang akibatnya hanya bisa bekerja secara administratif. Ia bekerja tanpa modal ideologi.
Kedua, kesengajaan dengan maksud mempertahankan kekuasaan (status quo). Perubahan hanyalah pengalihan dengan cara seolah-olah memberi harapan baru untuk perubahan. Ini adalah sisi lain kezaliman kekuasaan di hadapan rakyatnya. Tim perumus kurikulum tidak lain adalah para sofis. Sofisme, sebagaimana dijelaskan A Setyo Wibowo (Basis, No 11-12/63/2014 ) adalah cara berpikir dan berargumentasi yang njlimet, canggih, sangat rasional dan pintar, tetapi sebenarnya palsu dan membuat orang bingung.
Harapan baru tapi palsu sedemikian tampak jelas pada Kurikulum 2013 yang kontroversial itu. Hal yang perlu disampaikan, kurikulum ini disebut perumusnya sebagai model yang bisa menjawab tantangan abad ke-21. Namun, ambisi ini sekaligus menempatkan guru seolah-olah tak tahu masalah abad ke-21 sehingga mereka perlu diberi petunjuk yang rigid, otaknya perlu diarahkan hingga pada cara-cara meyakini keberadaan Tuhan.
Dari sisi substansinya sendiri, sebagaimana dikatakan Kiai Maman Imanulhaq,  pengasuh Pondok Pesantren Al-Mizan  Majalengka, yang kini anggota DPR (2014-2019), Kurikulum 2013 yang bertendensi religius itu justru  meninggalkan nilai-nilai religiositas., mencerminkan nilai religiositas simbolik yang meninggalkan substansi ajaran agama. Kurikulum 2013 menjadi kurikulum sofistik, mengelabui.
Posisi Kurikulum 2013 sedemikian sesungguhnya juga telah melanggar UU  Sisdiknas No 20 Tahun 2003. Pasal 38 Ayat 1, jelas mengatur bahwa pemerintah hanya menetapkan kerangka dasar dan struktur kurikulum (Standar Isi), sedangkan kurikulumnya "dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan Propinsi untuk pendidikan menengah" (ayat 2).
Secara praktis penghentian kurikulum ini dilandasi antara lain karena masih ada masalah dalam kesiapan buku, sistem penilaian, penataran guru, pendamping guru dan pelatihan kepala sekolah yang belum merata. Kurikulum 2013 diproses secara amat cepat dan bahkan sudah ditetapkan untuk dilaksanakan di seluruh Indonesia sebelum kurikulum tersebut pernah dievaluasi secara lengkap dan menyeluruh.

            Kepentingan anak-anak, guru dan orang tua yang akhirnya harus menghadapi konsekuensi atas ketergesa-gesaan penerapan Kurikulum 2013. Sekolah-sekolah yang baru melaksanakan Kurikulum 2013 selama 1 semester tidak akan menerapkan Kurikulum 2013 lagi. Mendikbud memutuskan untuk menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang baru menetapkan satu semester yaitu sejak tahun pelajaran 2014/2015.
Ornstein & Hunkins mengemukakan bahwa implementasi kurikulum adalah sebuah perubahan, dan perubahan bagi banyak orang adalah menyenangkan apabila mempunyai efek menguntungkan dan menyengsarakan apabila memberatkan. Bagi banyak praktisi pendidikan di satuan tingkat pendidikan memandang Kurikulum 2013 adalah hal yang memberatkan. Bahkan, dengan sinis mereka mengatakan bahwa Kurikulum 2013  adalah produk dari pergantian menteri lama ke menteri baru.
Sinisme praktisi pendidikan di banyak satuan pendidikan tersebut, selayaknya disikapi secara bijak. Dalam pengertian bahwa Kurikulum 2013 masih sangat perlu disosialisasikan secara sistematis dan massif, sehingga pada gilirannya praktisi pendidikan dan masyarakat mempunyai perhatian yang integrated dengan perhatian pembuat kurikulum (kebijakan). Program sosialisasi harus dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan audience: budaya, intelegensia, psikologi, dana, dan penyemaian nilai-nilai visi bersama antara pembuat kurikulum dan audience. Dengan waktu transisi sampai 2020 dengan efektivitas dan efesiensi tinggi adalah hal yang sangat mungkin melakukan hal ini. Hanya saja, keberadaan orang-orang dengan ‘kepentingan’ keuntungan pribadi atau golongan hedaknya dijadikan permasalahan yang juga diantisipasi (dan ini yang tampaknya lebih rumit).
Ornstein & Hunkins menemukan bahwa banyak kurikulum baru yang gagal dalam implementasi karena ketiadaan suatu rencana perubahan dalam keseluruhan suatu sistem persekolahan. Kurikulum 2013 sudah direncanakan dalam keseluruhan sistem, namun karena begitu beragamnya key player dan masalah psikologis pembiayaan, dan belum berhasilnya pengitegrasian visi, pereview memprediksi bahwa Kurikulum 2013 akan berjalan timpang, tidak merata antara satuan pendidikan yang satu dengan lain.
Berdasarkan surat edaran Kemdikbud Nomor : 233/C/KR/2015 tanggal 19 Januari 2015 tentang Penetapan Sekolah Pelaksana Uji Coba Kurikulum 2013 Tahun Pelajaran 2014/2015 yang ditujukan kepada Kepala Dinas Pendidikan Provinsi, Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Surat edaran Kemdikbud ini sebagai tindak lanjut dalam rangka memperhatikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 160 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum 2013 serta Rencana Evaluasi dan Perbaikan Kurikulum 2013, disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Kemendikbud menetapkan sekolah yang telah melaksanakan Kurikulum 2013 selama 3 semester dapat melanjutkan Kurikulum 2013 sebagai sekolah uji coba yang kemudian bisa dijadikan sekolah rintisan di seluruh kabupaten/kota. Daftar nama sekolah per kabupaten/kota akan diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan. Sedangkan sekolah yang baru melaksanakan Kurikulum 2013 selama 1 semester ditetapkan untuk kembali menggunakan Kurikulum Tahun 2006. Pengaturan implementasi kurikulum seperti tersebut di atas akan diintegrasikan dengan system Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang secara regular diupdate oleh sekolah;
2. Kemendikbud bersama dengan Dinas Pendidikan Provinsi / Kabupaten / Kota berkonsentrasi melaksanakan pembinaan terhadap sekolah uji coba Kurikulum 2013 di daerah masing-masing, sehingga sekolah tersebut nantinya dapat berfungsi sebagai sekolah inti atau sekolah rujukan yang dipersiapkan untuk membina satuan pendidikan di sekitarnya;
3. Dinas Pendidikan Provinsi / Kabupaten / Kota sesuai kewenangannya melakukan pembinaan bagi sekolah yang kembali melaksanakan Kurikulum Tahun 2006 sebagaimana dimaksud pada pasal 3 Permendikbud No. 160 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum 2013 untuk disiapkan melaksanakan Kurikulum 2013 pada tahap berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar