Jumat, 08 April 2016

BOARDING SCHOOL DAN HARRY POTTER



BOARDING SCHOOL DAN HARRY POTTER
Oleh: Drs. A. Sardi

            Boarding School disebut juga sekolah berasrama. Artinya suatu lembaga pendidikan yang menyediakan asrama bagi peserta didiknya. Jadi selama mengalami proses pendidikan, peserta didik tetap tinggal di suatu tempat secara bersama-sama. Yang di dalamnya juga dilangsungkan proses pendidikan.
            Boarding School sebenarnya sudah ada sejak jaman kolonial. Karena proses pendidikan menghasilkan “produk” yang berkualitas, keberadaannya diadopsi oleh beberapa lembaga pendidikan. Tidak hanya di Indonesia, bahkan negara-negara lainpun menyelenggarakan boarding school ini. Sebagai contoh negara Malaysia. Hampir di seluruh negara bagian terdapat boarding school. Mungkin ini salah satu faktor penyebab, mengapa pendidikan di Malaysia lebih maju dibandingkan negara kita.
            Tahun 1990-an  masyarakat Indonesia  mulai gelisah dengan kondisi kualitas generasi bangsa yang cenderung terdikotomi secara ekstrim—yang berviliasi agama, terlalu keagamaan dan yang sekolah umum terlalu keduniawian—ada upaya untuk mengawinkan pendidikan umum dan berviliasi agama dengan melahirkan tren baru yang disebut boarding school yang bertujuan untuk melaksanakan pendidikan yang lebih komprehensif-holistik, ilmu dunia (umum) dapat dicapai dan ilmu agama juga dikuasai.
            Akhir-akhir ini boarding school berkembang dengan pesatnya. Mungkin terinspirasi oleh sebuah buku dan felm yang berjudul Harry Potter yang sangat laris. Harry Potter menjadi tokoh yang sangat hebat karena di latarbelakangi boarding school. Maka semenjak “meledaknya” Harry Potter banyak orang tua lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah berasrama. Lembaga pendidikan yang tanggap terhadap tuntutan dan perkembangan jaman, berusaha menangkap dan menanggapi dengan membangun asrama. Agar semakin memiliki daya tarik, ada yang menyebut Sekolah Berasrama Modern.
            Boarding school memberikan alternative pendidikan bagi para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya. Seiring dengan pesatnya modernisasi, di mana orang tua tidak hanya suami yang bekerja tapi juga istri bekerja, sehingga anak tidak lagi terkontrol dengan baik, maka boarding school adalah tempat terbaik untuk menitipkan anak-anak mereka, baik makannya, kesehatannya, keamanannya, sosialnya, dan yang paling penting adalah pendidikanya yang sempurna. Selain itu, polusi sosial yang sekarang ini melanda lingkungan kehidupan masyarakat seperti pergaulan bebas, narkoba, tawuran pelajar, pengaruh media, dll ikut mendorong banyak orang tua untuk menyekolahkan anaknya di boarding school. Namun juga tidak dipungkiri kalau ada faktor-faktor yang negative,di antaranya: keluarga tidak harmonis, suami menikah lagi, dan yang ekstrim karena sudah tidak mau mendidik anaknya di rumah.
            Beberapa alasan mengapa orang tua memilih menyekolahkan anaknya di Boarding School dari pada di sekolah konvensional:
Umumnya sekolah-sekolah konvensional terkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan akademis sehingga banyak aspek hidup anak yang tidak tersentuh. Hal ini terjadi karena keterbatasan waktu yang ada dalam pengelolaan program pendidikan pada sekolah konvensional. Sebaliknya, sekolah berasrama dapat merancang program pendidikan yang komprehensif-holistik dari program pendidikan keagamaan, academic development, life skill (soft skill dan hard skill) sampai membangun wawasan global. Bahkan pembelajaran tidak hanya sampai pada tataran teoritis, tapi juga implementasi baik dalam konteks belajar ilmu ataupun belajar hidup. 
Sekolah berasrama mempunyai fasilitas yang lengkap; mulai dari fasilitas sekolah yaitu  kelas belajar yang baik (AC, 24 siswa, smart board, mini library, camera), laboratorium, clinic, sarana olah raga semua cabang olah raga, perpustakaan, kebun dan taman hijau. Sementara di asrama fasilitasnya adalah kamar (telepon, TV, AC, pengering rambut, tempat handuk, karpet di seluruh ruangan, tempat cuci tangan, lemari kamar mandi, gantungan pakaian dan lemari cuci, area belajar pribadi, lemari es, detector kebakaran, jam dinding, lampu meja, cermin besar, rak-rak yang luas, pintu darurat dengan pintu otomatis. Sedangkan fasilitas dapur terdiri dari: meja dan kursi yang besar, perlengkapan makan dan pecah belah yang lengkap, microwape, lemari es, ketel otomatis, pembuat roti sandwich, dua toaster listrik, tempat sampah, perlengkapan masak memasak lengkap, dan kursi yang nyaman.
Sekolah-sekolah berasrama umumnya menentukan persyaratan kualitas guru yang lebih jika dibandingkan dengan sekolah konvensional. Kecerdasan intelektual, sosial, spiritual, dan kemampuan paedagogis-metodologis serta adanya “jiwa pendidik”  pada setiap guru di sekolah berasrama. Ditambah lagi kemampuan bahasa asing: Inggris, Arab, Mandarin, dll.
Di sekolah berasrama semua elemen yang ada dalam komplek sekolah terlibat dalam proses pendidikan. Aktornya tidak hanya guru atau bisa di balik gurunya bukan hanya guru mata pelajaran, tapi semua orang dewasa yang ada di boarding school adalah guru. Siswa tidak bisa lagi diajarkan bahasa-bahasa langit, tapi siswa melihat langsung praktek kehidupan dalam berbagai aspek. Guru tidak hanya dilihatnya di dalam kelas, tapi juga kehidupan kesehariannya. Sehingga ketika mengajarkan tertib bahasa asing misalnya, maka semuanya dari mulai tukang sapu sampai principal berbahasa asing. Begitu juga dalam membangun religius socity, semua elemen yang terlibat mengimplementasikan agama secara baik.
Sekolah berasrama mampu menampung siswa dari berbagai latar belakang yang tingkat heteroginitasnya tinggi. Siswa berasal dari berbagai daerah yang mempunyai latar belakang sosial, budaya, tingkat kecerdasan, kempuan akademik  yang sangat beragam. Kondisi ini sangat kondusif untuk membangun wawasan nasional dan siswa terbiasa berinteraksi dengan teman-temannya yang berbeda, sehingga sangat baik bagi anak untuk melatih wisdom anak dan menghargai pluralitas.
Sekolah berasrama berupaya secara total untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Banyak sekolah asrama yang mengadopsi pola pendidikan militer untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Tata tertib dibuat sangat rigid lengkap dengan sangsi-sangsi bagi pelanggarnya. Daftar “dosa” dilist sedemikan rupa dari dosa kecil, menengah sampai berat. Jaminan keamanan diberikan sekolah berasarama, mulai dari jaminan kesehatan (tidak terkena penyakit menular), tidak NARKOBA, terhindar dari pergaulan bebas, dan jaminan keamanan fisik (tawuran dan perpeloncoan), serta jaminan pengaruh kejahatan dunia maya.
Sekolah berasrama dengan program yang komprehensif-holistik, fasilitas yang lengkap, guru yang berkualitas, dan lingkungan yang kondusif dan terkontrol,  dapat memberikan jaminan kualitas jika dibandingkan dengan sekolah konvensional. Dalam sekolah berasrama, pintar tidak pintarnya anak, baik dan tidak baiknya anak sangat tergantung pada sekolah, karena 24 jam anak bersama di sekolah. Hampir dapat dipastikan  tidak ada variable lain yang “mengintervensi” perkembangan dan progresivitas pendidikan anak, seperti pada sekolah konvensional yang masih dibantu oleh lembaga bimbingan belajar, lembaga kursus dan lain-lain. Sekolah-sekolah berasrama dapat melakukan treatment individual, sehingga setiap siswa dapat melejitkan bakat dan potensi individunya.
            Dari banyak sekolah-sekolah boarding di Indonesia, terdapat 3 corak yaitu bercorak agama, nasionalis-religius, dan ada yang nasionalis. Untuk yang bercorak agama terbagi dalam banyak corak, ada yang fundamentalis, moderat sampai yang agak liberal. Hal ini lebih merupakan representasi dari corak keberagamaan di Indonesia yang umumnya mengambil tiga bentuk tersebut. Yang bercorak militer  karena ingin memindahkan pola pendidikan kedisiplinan di militer ke dalam pendidikan di boarding school. Sedangkan corak nasionalis-religius mengambil posisi pada pendidikan semi militer yang dipadu dengan nuansa agama dalam pembinaannya di sekolah.
            Boarding school memerlukan pengelolaan manajemen dan pengorganisasian sistem yang baik dan benar. Tidak semua boarding school yang ada mampu mempertahankan eksistensinya. Hal ini disebabkan oleh:
Ideologi boarding school tidak jelas. Apakah religius, nasionalis, atau nasionalis-religius. Yang mengambil corak religius sangat beragam dari yang fundamentalis, moderat sampai liberal. Masalahnya dalam implementasi ideologinya tidak dilakukan secara menyeluruh. Terlalu banyak improvisasi yang bias dan keluar dari pakem atau frame ideologi tersebut. Hal itu juga serupa dengan yang nasionalis, tidak mengadopsi pola-pola pendidikan kedisiplinan militer secara menyeluruh, akibatnya terdapat kekerasan dalam sekolah berasrama. Sementara yang nasionalis-religius dalam praktik sekolah berasrama masih belum jelas formatnya.
Sampai saat ini sekolah berasrama kesulitan mencari guru yang cocok untuk sekolah berasrama. LPTK tidak “memproduksi” guru-guru sekolah berasrama. Akibatnya, masing-masing sekolah mendidik guru asramanya sendiri sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki oleh lembaga tersebut. Guru sekolah (mata pelajaran) bertugas hanya untuk mengampu mata pelajarannya, sementara guru pengasuhan adalah tersendiri hanya bicara soal pengasuhan. Padahal idealnya, dua kompetensi tersebut harus melekat dalam sekolah berasrama. Ini penting untuk tidak terjadi saling menyalahkan dalam proses pendidikan antara guru sekolah dengan guru asrama.
Salah satu yang membedakan sekolah-sekolah berasrama adalah kurikulum pengasuhannya. Kalau bicara kurikulum akademiknya dapat dipastikan hampir sedikit perbedaannya. Semuanya mengacu kepada kurikulum produk DEPDIKNAS dengan ditambah pengayaan atau suplemen kurikulum internasional dan muatan lokal. Tetapi kalau bicara tentang pola pengasuhan sangat beragam, dari yang sangat militer (disiplin penuh) sampai ada yang terlalu lunak. Kedua-duanya mempunyai efek negative, pola militer melahirkan siswa yang berwatak kemiliter-militeran dan terlalu lunak menimbulkan watak licik yang bisa mengantar sang siswa mempermainkan peraturan.
Umumnya sekolah-sekolah berasrama berada dalam satu lokasi dan dalam jarak yang sangat dekat. Kondisi ini yang telah banyak berkontribusi dalam menciptakan kejenuhan anak berada di sekolah asrama. Sebaiknya sekolah dan asrama serta fasilitas utama lainnya tidak berada dalam satu tempat, sehingga siswa dituntut untuk mempunyai mobilitas tinggi, kesehatan dan kebugaran yang baik, dan dapat membaca setiap fenomena yang ada di sekitarnya.
Siswa yang sekolah boarding adalah kemauan dari orang tua siswa  bukan dari siswa itu sendiri. Akibatnya, dubutuhkan waktu yang lama (rata-rata 4 bulan) untuk siswa menyesuaikan diri dan masuk ke dalam konsep pendidikan boarding yang integrative. Hal ini disebabkan karena citra sekolah berasrama yang menakutkan, kaku, membosankan (bukan boarding school tapi boring school).  Oleh sebab itu perlu di-design sekolah berasrama yang menarik, nyaman, dan menyenangkan.
Konsep sekolah berasrama perlu pendekatan menyeluruh, terutama dalam memahami peserta didik. Sekolah berasrama tidak cukup hanya dengan menyediakan fasilitas akademik dan fasilitas menginap memadai bagi peserta didik, tetapi juga menyediakan guru yang menggantikan peran orangtua dalam pembentukan watak dan karakter. Kedekatan antara peserta didik dan guru dalam sekolah berasrama yang tercipta oleh intensitas pertemuan yang memadai akan mempermudah proses transfer ilmu dari pendidik ke peserta didik. Kedekatan akan mengubah posisi guru di mata para peserta didik. Dari sosok ditakuti atau disegani ke sosok yang ingin diteladani. Dr Georgi Lozanov (1897) menyatakan bahwa suatu tindak tanduk yang diperlihatkan oleh gurunya kepada para peserta didik dalam proses belajarnya, merupakan tindakan yang paling berpengaruh, sangat ampuh serta efektif dalam pembentukan kepribadian mereka.
Keteladanan secara personality dapat membangun kepercayaan diri untuk dapat berkomunikasi secara internal personality. Dan akan tercipta tanpa peserta didik  merasa asing dengan kemampuan yang mereka miliki dalam menyampaikan pesan atau ide-ide pemikirannya kepada orang lain. Apakah itu dalam bentuk verbal maupun nonverbal, seperti menentukan sikap dan tingkah laku keseharian mereka. Keteladanan, ketulusan, kongkruensi, dan kesiapsiagaan guru mereka 1×24 jam akan memberdayakan dan mengilhami peserta didik untuk membebaskan potensi mereka sebagai peserta didik. Hal itu akan mempercepat pertumbuhan kecerdasan emosionalnya. Jika metode pembelajarannya diberdayakan secara maksimal, maka kesuksesan peserta didik akan lebih mudah untuk direalisasikan. Pencapaian itu bisa dilakukan kalau senantiasa terjadi interaksi yang merangsang pertumbuhan sikap mental. Namun untuk itu dibutuhkan seorang quantum teacher yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Digabungkan dengan rancangan pengajaran yang efektif, harmonisasi keduanya akan memberikan pengalaman belajar yang dinamis bagi peserta didik.
Guru-guru sekolah berasrama harus banyak “diproduksi” oleh LPTK yang selama ini melahirkan banyak guru-guru mata pelajaran. Guru sekolah berasrama adalah guru yang mengemban amanah lebih jika dibandingkan dengan guru sekolah konvensional. Dia tidak hanya pintar mengajar, tapi juga pintar berteman, pintar memberi pengayoman, pintar bercerita, mempunyai energi psikis yang banyak, selalu berkembang dan terus berkembang. Karena yang dia hadapi peserta didik yang terus berkembang, terus belajar, dan terus berubah. Bagaimana kita melahirkan peserta didik yang hebat, visioner, responsive, kalau gurunya adalah orang-orang yang tidak cinta ilmu, tidak terus belajar, dan tidak terus berkembang.
Dalam pola pengasuhan perlu diterapkan pola pengasuhan yang dapat menyiasati dua kutub yang ekstrem (disiplin militer dan longgar habis) agar peserta didik bisa memiliki watak dan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap lingkungan masyarakat.
Dalam konteks manajemen sekolah, boarding school model pengelolaannya harus lebih lentur, efektive, dan menerapkan manajemen berbasis sekolah secara konsisten. Sekarang ini DEPDIKNAS sudah mengesahkan MBS dan KTSP tapi banyak pengelola sekolah yang mencari pembandingnya adalah sekolah negeri. Padahal sekolah negeri adalah sekolah yang sangat standard dan tidak layak dijadikan model oleh pengelola boarding school. Misalnya soal waktu belajar, di negeri untuk tamat sekolah SMA rata-rata membutuhkan waktu 3 tahun, dengan belajar perhari 8 jam penuh. Sementara di boarding school 24 jam dikurangi waktu tidur 8 jam perhari, berarti 16 jam perhari. Kalau waktu-waktu ini dimaksimalkan mengapa harus 3 tahun, kenapa tidak 2 tahun sehingga boarding school menjadi menarik. Dasar ini bisa dijadikan argumentasi kepada regulator sekolah (DEPDIKNAS) payung hukumnya bisa menggunakan payung hukum akselerasi tapi substansinya adalah regular.
Sekolah berasrama adalah alternative terbaik buat para orang tua menyekolahkan anak mereka dalam kondisi apapun. Selama 24 jam anak hidup dalam pemantauan dan kontrol yang total dari pengelola, guru, dan pengasuh di seklolah-sekolah berasrama. Anak betul-betul dipersiapkan untuk masuk ke dalam dunia nyata dengan modal yang cukup, tidak hanya kompetensi akademis, tapi skill-skill lainnya dipersiapkan sehingga mereka mempunyai senjata yang ampuh untuk memasuki dan manaklukan dunia ini. Di sekolah berasrama anak dituntut untuk dapat menjadi manusia yang berkontribusi besar bagi kemanusiaan. Mereka tidak hanya hidup untuk dirinya dan keluarganya, tapi juga harus berbuat untuk bangsa dan negara. Oleh sebab itu dukungan fasilitas terbaik, tenaga pengajar berkualitas, dan lingkungan yang kondusif  harus didorong untuk dapat mencapai cita-cita tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar