BOARDING SCHOOL DAN HARRY POTTER
Oleh: Drs. A. Sardi
Boarding School disebut juga sekolah berasrama.
Artinya suatu lembaga pendidikan yang menyediakan asrama bagi peserta didiknya.
Jadi selama mengalami proses pendidikan, peserta didik tetap tinggal di suatu
tempat secara bersama-sama. Yang di dalamnya juga dilangsungkan proses
pendidikan.
Boarding School sebenarnya sudah ada sejak jaman
kolonial. Karena proses pendidikan menghasilkan “produk” yang berkualitas,
keberadaannya diadopsi oleh beberapa lembaga pendidikan. Tidak hanya di
Indonesia, bahkan negara-negara lainpun menyelenggarakan boarding school ini.
Sebagai contoh negara Malaysia. Hampir di seluruh negara bagian terdapat
boarding school. Mungkin ini salah satu faktor penyebab, mengapa pendidikan di
Malaysia lebih maju dibandingkan negara kita.
Tahun 1990-an
masyarakat Indonesia mulai gelisah
dengan kondisi kualitas generasi bangsa yang cenderung terdikotomi secara
ekstrim—yang berviliasi agama, terlalu keagamaan dan yang sekolah umum terlalu
keduniawian—ada upaya untuk mengawinkan pendidikan umum dan berviliasi agama dengan
melahirkan tren baru yang disebut boarding school yang bertujuan untuk
melaksanakan pendidikan yang lebih komprehensif-holistik, ilmu dunia (umum)
dapat dicapai dan ilmu agama juga dikuasai.
Akhir-akhir ini boarding school berkembang dengan
pesatnya. Mungkin terinspirasi oleh sebuah buku dan felm yang berjudul Harry
Potter yang sangat laris. Harry Potter menjadi tokoh yang sangat hebat karena
di latarbelakangi boarding school. Maka semenjak “meledaknya” Harry Potter
banyak orang tua lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah berasrama.
Lembaga pendidikan yang tanggap terhadap tuntutan dan perkembangan jaman,
berusaha menangkap dan menanggapi dengan membangun asrama. Agar semakin memiliki
daya tarik, ada yang menyebut Sekolah Berasrama Modern.
Boarding school memberikan alternative pendidikan bagi
para orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya. Seiring dengan pesatnya
modernisasi, di mana orang tua tidak hanya suami yang bekerja tapi juga istri
bekerja, sehingga anak tidak lagi terkontrol dengan baik, maka boarding school
adalah tempat terbaik untuk menitipkan anak-anak mereka, baik makannya,
kesehatannya, keamanannya, sosialnya, dan yang paling penting adalah pendidikanya
yang sempurna. Selain itu, polusi sosial yang sekarang ini melanda lingkungan
kehidupan masyarakat seperti pergaulan bebas, narkoba, tawuran pelajar,
pengaruh media, dll ikut mendorong banyak orang tua untuk menyekolahkan anaknya
di boarding school. Namun juga tidak dipungkiri kalau ada faktor-faktor yang
negative,di antaranya: keluarga tidak harmonis, suami menikah lagi, dan yang
ekstrim karena sudah tidak mau mendidik anaknya di rumah.
Beberapa alasan mengapa orang tua memilih menyekolahkan
anaknya di Boarding School dari pada di sekolah konvensional:
Umumnya
sekolah-sekolah konvensional terkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan akademis
sehingga banyak aspek hidup anak yang tidak tersentuh. Hal ini terjadi karena
keterbatasan waktu yang ada dalam pengelolaan program pendidikan pada sekolah konvensional.
Sebaliknya, sekolah berasrama dapat merancang program pendidikan yang
komprehensif-holistik dari program pendidikan keagamaan, academic development,
life skill (soft skill dan hard skill) sampai membangun wawasan global. Bahkan
pembelajaran tidak hanya sampai pada tataran teoritis, tapi juga implementasi
baik dalam konteks belajar ilmu ataupun belajar hidup.
Sekolah
berasrama mempunyai fasilitas yang lengkap; mulai dari fasilitas sekolah
yaitu kelas belajar yang baik (AC, 24
siswa, smart board, mini library, camera), laboratorium, clinic, sarana olah
raga semua cabang olah raga, perpustakaan, kebun dan taman hijau. Sementara di
asrama fasilitasnya adalah kamar (telepon, TV, AC, pengering rambut, tempat handuk,
karpet di seluruh ruangan, tempat cuci tangan, lemari kamar mandi, gantungan
pakaian dan lemari cuci, area belajar pribadi, lemari es, detector kebakaran,
jam dinding, lampu meja, cermin besar, rak-rak yang luas, pintu darurat dengan
pintu otomatis. Sedangkan fasilitas dapur terdiri dari: meja dan kursi yang
besar, perlengkapan makan dan pecah belah yang lengkap, microwape, lemari es,
ketel otomatis, pembuat roti sandwich, dua toaster listrik, tempat sampah,
perlengkapan masak memasak lengkap, dan kursi yang nyaman.
Sekolah-sekolah
berasrama umumnya menentukan persyaratan kualitas guru yang lebih jika
dibandingkan dengan sekolah konvensional. Kecerdasan intelektual, sosial,
spiritual, dan kemampuan paedagogis-metodologis serta adanya “jiwa pendidik” pada setiap guru di sekolah berasrama.
Ditambah lagi kemampuan bahasa asing: Inggris, Arab, Mandarin, dll.
Di
sekolah berasrama semua elemen yang ada dalam komplek sekolah terlibat dalam
proses pendidikan. Aktornya tidak hanya guru atau bisa di balik gurunya bukan
hanya guru mata pelajaran, tapi semua orang dewasa yang ada di boarding school
adalah guru. Siswa tidak bisa lagi diajarkan bahasa-bahasa langit, tapi siswa
melihat langsung praktek kehidupan dalam berbagai aspek. Guru tidak hanya
dilihatnya di dalam kelas, tapi juga kehidupan kesehariannya. Sehingga ketika
mengajarkan tertib bahasa asing misalnya, maka semuanya dari mulai tukang sapu
sampai principal berbahasa asing. Begitu juga dalam membangun religius socity,
semua elemen yang terlibat mengimplementasikan agama secara baik.
Sekolah
berasrama mampu menampung siswa dari berbagai latar belakang yang tingkat
heteroginitasnya tinggi. Siswa berasal dari berbagai daerah yang mempunyai
latar belakang sosial, budaya, tingkat kecerdasan, kempuan akademik yang sangat beragam. Kondisi ini sangat
kondusif untuk membangun wawasan nasional dan siswa terbiasa berinteraksi
dengan teman-temannya yang berbeda, sehingga sangat baik bagi anak untuk
melatih wisdom anak dan menghargai pluralitas.
Sekolah
berasrama berupaya secara total untuk menjaga keamanan siswa-siswinya. Banyak
sekolah asrama yang mengadopsi pola pendidikan militer untuk menjaga keamanan
siswa-siswinya. Tata tertib dibuat sangat rigid lengkap dengan sangsi-sangsi
bagi pelanggarnya. Daftar “dosa” dilist sedemikan rupa dari dosa kecil,
menengah sampai berat. Jaminan keamanan diberikan sekolah berasarama, mulai
dari jaminan kesehatan (tidak terkena penyakit menular), tidak NARKOBA,
terhindar dari pergaulan bebas, dan jaminan keamanan fisik (tawuran dan
perpeloncoan), serta jaminan pengaruh kejahatan dunia maya.
Sekolah
berasrama dengan program yang komprehensif-holistik, fasilitas yang lengkap,
guru yang berkualitas, dan lingkungan yang kondusif dan terkontrol, dapat memberikan jaminan kualitas jika dibandingkan
dengan sekolah konvensional. Dalam sekolah berasrama, pintar tidak pintarnya
anak, baik dan tidak baiknya anak sangat tergantung pada sekolah, karena 24 jam
anak bersama di sekolah. Hampir dapat dipastikan tidak ada variable lain yang “mengintervensi”
perkembangan dan progresivitas pendidikan anak, seperti pada sekolah
konvensional yang masih dibantu oleh lembaga bimbingan belajar, lembaga kursus
dan lain-lain. Sekolah-sekolah berasrama dapat melakukan treatment individual,
sehingga setiap siswa dapat melejitkan bakat dan potensi individunya.
Dari banyak sekolah-sekolah boarding di Indonesia,
terdapat 3 corak yaitu bercorak agama, nasionalis-religius, dan ada yang
nasionalis. Untuk yang bercorak agama terbagi dalam banyak corak, ada yang
fundamentalis, moderat sampai yang agak liberal. Hal ini lebih merupakan
representasi dari corak keberagamaan di Indonesia yang umumnya mengambil tiga
bentuk tersebut. Yang bercorak militer
karena ingin memindahkan pola pendidikan kedisiplinan di militer ke dalam
pendidikan di boarding school. Sedangkan corak nasionalis-religius mengambil
posisi pada pendidikan semi militer yang dipadu dengan nuansa agama dalam
pembinaannya di sekolah.
Boarding school memerlukan pengelolaan manajemen dan
pengorganisasian sistem yang baik dan benar. Tidak semua boarding school yang
ada mampu mempertahankan eksistensinya. Hal ini disebabkan oleh:
Ideologi
boarding school tidak jelas. Apakah religius, nasionalis, atau
nasionalis-religius. Yang mengambil corak religius sangat beragam dari yang
fundamentalis, moderat sampai liberal. Masalahnya dalam implementasi
ideologinya tidak dilakukan secara menyeluruh. Terlalu banyak improvisasi yang
bias dan keluar dari pakem atau frame ideologi tersebut. Hal itu juga serupa
dengan yang nasionalis, tidak mengadopsi pola-pola pendidikan kedisiplinan
militer secara menyeluruh, akibatnya terdapat kekerasan dalam sekolah
berasrama. Sementara yang nasionalis-religius dalam praktik sekolah berasrama masih
belum jelas formatnya.
Sampai
saat ini sekolah berasrama kesulitan mencari guru yang cocok untuk sekolah
berasrama. LPTK tidak “memproduksi” guru-guru sekolah berasrama. Akibatnya,
masing-masing sekolah mendidik guru asramanya sendiri sesuai dengan pengetahuan
yang dimiliki oleh lembaga tersebut. Guru sekolah (mata pelajaran) bertugas
hanya untuk mengampu mata pelajarannya, sementara guru pengasuhan adalah
tersendiri hanya bicara soal pengasuhan. Padahal idealnya, dua kompetensi
tersebut harus melekat dalam sekolah berasrama. Ini penting untuk tidak terjadi
saling menyalahkan dalam proses pendidikan antara guru sekolah dengan guru
asrama.
Salah
satu yang membedakan sekolah-sekolah berasrama adalah kurikulum pengasuhannya.
Kalau bicara kurikulum akademiknya dapat dipastikan hampir sedikit perbedaannya.
Semuanya mengacu kepada kurikulum produk DEPDIKNAS dengan ditambah pengayaan atau
suplemen kurikulum internasional dan muatan lokal. Tetapi kalau bicara tentang
pola pengasuhan sangat beragam, dari yang sangat militer (disiplin penuh)
sampai ada yang terlalu lunak. Kedua-duanya mempunyai efek negative, pola
militer melahirkan siswa yang berwatak kemiliter-militeran dan terlalu lunak
menimbulkan watak licik yang bisa mengantar sang siswa mempermainkan peraturan.
Umumnya
sekolah-sekolah berasrama berada dalam satu lokasi dan dalam jarak yang sangat
dekat. Kondisi ini yang telah banyak berkontribusi dalam menciptakan kejenuhan
anak berada di sekolah asrama. Sebaiknya sekolah dan asrama serta fasilitas
utama lainnya tidak berada dalam satu tempat, sehingga siswa dituntut untuk
mempunyai mobilitas tinggi, kesehatan dan kebugaran yang baik, dan dapat
membaca setiap fenomena yang ada di sekitarnya.
Siswa
yang sekolah boarding adalah kemauan dari orang tua siswa bukan dari siswa itu sendiri. Akibatnya, dubutuhkan
waktu yang lama (rata-rata 4 bulan) untuk siswa menyesuaikan diri dan masuk ke dalam
konsep pendidikan boarding yang integrative. Hal ini disebabkan karena citra
sekolah berasrama yang menakutkan, kaku, membosankan (bukan boarding school
tapi boring school). Oleh sebab itu
perlu di-design sekolah berasrama yang menarik, nyaman, dan menyenangkan.
Konsep
sekolah berasrama perlu pendekatan menyeluruh, terutama dalam memahami peserta
didik. Sekolah berasrama tidak cukup hanya dengan menyediakan fasilitas
akademik dan fasilitas menginap memadai bagi peserta didik, tetapi juga
menyediakan guru yang menggantikan peran orangtua dalam pembentukan watak dan
karakter. Kedekatan antara peserta didik dan guru dalam sekolah berasrama yang
tercipta oleh intensitas pertemuan yang memadai akan mempermudah proses
transfer ilmu dari pendidik ke peserta didik. Kedekatan akan mengubah posisi
guru di mata para peserta didik. Dari sosok ditakuti atau disegani ke sosok
yang ingin diteladani. Dr Georgi Lozanov (1897) menyatakan bahwa suatu tindak
tanduk yang diperlihatkan oleh gurunya kepada para peserta didik dalam proses
belajarnya, merupakan tindakan yang paling berpengaruh, sangat ampuh serta
efektif dalam pembentukan kepribadian mereka.
Keteladanan
secara personality dapat membangun kepercayaan diri untuk dapat berkomunikasi
secara internal personality. Dan akan tercipta tanpa peserta didik merasa asing dengan kemampuan yang mereka
miliki dalam menyampaikan pesan atau ide-ide pemikirannya kepada orang lain.
Apakah itu dalam bentuk verbal maupun nonverbal, seperti menentukan sikap dan
tingkah laku keseharian mereka. Keteladanan, ketulusan, kongkruensi, dan
kesiapsiagaan guru mereka 1×24 jam akan memberdayakan dan mengilhami peserta
didik untuk membebaskan potensi mereka sebagai peserta didik. Hal itu akan
mempercepat pertumbuhan kecerdasan emosionalnya. Jika metode pembelajarannya
diberdayakan secara maksimal, maka kesuksesan peserta didik akan lebih mudah
untuk direalisasikan. Pencapaian itu bisa dilakukan kalau senantiasa terjadi
interaksi yang merangsang pertumbuhan sikap mental. Namun untuk itu dibutuhkan
seorang quantum teacher yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik.
Digabungkan dengan rancangan pengajaran yang efektif, harmonisasi keduanya akan
memberikan pengalaman belajar yang dinamis bagi peserta didik.
Guru-guru
sekolah berasrama harus banyak “diproduksi” oleh LPTK yang selama ini
melahirkan banyak guru-guru mata pelajaran. Guru sekolah berasrama adalah guru
yang mengemban amanah lebih jika dibandingkan dengan guru sekolah konvensional.
Dia tidak hanya pintar mengajar, tapi juga pintar berteman, pintar memberi
pengayoman, pintar bercerita, mempunyai energi psikis yang banyak, selalu
berkembang dan terus berkembang. Karena yang dia hadapi peserta didik yang
terus berkembang, terus belajar, dan terus berubah. Bagaimana kita melahirkan
peserta didik yang hebat, visioner, responsive, kalau gurunya adalah
orang-orang yang tidak cinta ilmu, tidak terus belajar, dan tidak terus
berkembang.
Dalam
pola pengasuhan perlu diterapkan pola pengasuhan yang dapat menyiasati dua
kutub yang ekstrem (disiplin militer dan longgar habis) agar peserta didik bisa
memiliki watak dan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap
lingkungan masyarakat.
Dalam
konteks manajemen sekolah, boarding school model pengelolaannya harus lebih
lentur, efektive, dan menerapkan manajemen berbasis sekolah secara konsisten.
Sekarang ini DEPDIKNAS sudah mengesahkan MBS dan KTSP tapi banyak pengelola
sekolah yang mencari pembandingnya adalah sekolah negeri. Padahal sekolah
negeri adalah sekolah yang sangat standard dan tidak layak dijadikan model oleh
pengelola boarding school. Misalnya soal waktu belajar, di negeri untuk tamat
sekolah SMA rata-rata membutuhkan waktu 3 tahun, dengan belajar perhari 8 jam
penuh. Sementara di boarding school 24 jam dikurangi waktu tidur 8 jam perhari,
berarti 16 jam perhari. Kalau waktu-waktu ini dimaksimalkan mengapa harus 3
tahun, kenapa tidak 2 tahun sehingga boarding school menjadi menarik. Dasar ini
bisa dijadikan argumentasi kepada regulator sekolah (DEPDIKNAS) payung hukumnya
bisa menggunakan payung hukum akselerasi tapi substansinya adalah regular.
Sekolah
berasrama adalah alternative terbaik buat para orang tua menyekolahkan anak
mereka dalam kondisi apapun. Selama 24 jam anak hidup dalam pemantauan dan kontrol
yang total dari pengelola, guru, dan pengasuh di seklolah-sekolah berasrama.
Anak betul-betul dipersiapkan untuk masuk ke dalam dunia nyata dengan modal
yang cukup, tidak hanya kompetensi akademis, tapi skill-skill lainnya
dipersiapkan sehingga mereka mempunyai senjata yang ampuh untuk memasuki dan
manaklukan dunia ini. Di sekolah berasrama anak dituntut untuk dapat menjadi
manusia yang berkontribusi besar bagi kemanusiaan. Mereka tidak hanya hidup
untuk dirinya dan keluarganya, tapi juga harus berbuat untuk bangsa dan negara.
Oleh sebab itu dukungan fasilitas terbaik, tenaga pengajar berkualitas, dan
lingkungan yang kondusif harus didorong
untuk dapat mencapai cita-cita tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar