JIKA GURU MENJADI PETUGAS UPACARA
BENDERA
Selama
bersekolah dari SD sampai lulus SPG,(lebih-lebih di Perguruan Tinggi)
pengalaman saya menjadi petugas Upacara
Bendera bisa dihitung dengan jari tangan.
Jika harus bertugas, saya pun pilih-pilih. Misalnya, tidak merupakan Upacara
Bendera peringatan hari besar, menanyakan siapa yang menjadi Pembina Upacara-nya,
saya menjadi petugas apa. Jika tidak sesuai dengan keinginan saya, saya
terpaksa menolaknya. Bahkan, saya pernah memilih untuk membolos dengan suatu
alasan.
Tahun
1.999 – 2.000, saya menjadi guru kelas Va di suatu SD. Hampir sebulan sekali,
siswa kelas yang saya walii harus
menerima giliran bertugas menjadi petugas UpacaraBendera. Mau tidak mau, sebagai Guru Wali Kelas, saya
harus mempersiapkannya. Mulai dari menunjuk siswa yang bertugas dan melatihnya,
hingga para petugas benar-benar siap menjalankan tugasnya.
Suatu
hari diadakan rapat guru. Dalam rapat itu didiskusikan kembali, pentingnya
dilaksanakan kegiatan Upacara Bendera setiap hari Senin. Di antaranya
menanamkan nilai patriotisme dan semangat bela negara. Akan tetapi terungkap
juga suatu keprihatinan akan pelaksanaan kegiatan Upacara Bendera yang
dilaksanakan setiap hari Senin. Salah
satu keprihatinannya adalah, banyak siswa yang bertugas kurang mampu dan kurang
bersungguh-sungguh saat menjalankan perannya. Analisisnya, guru kurang
memberikan contoh menjadi petugas Upacara Bendera dengan baik dan benar. Di
lain pihak, muncul berbagai persepsi berbeda dari para guru, akanbeberapa
adegan atau gerakan petugas upacara.
Menanggapi
hal tersebut, salah seorang teman saya menyampaikan usul. Bagaimana jika
suatu saat yang menjadi petugas Upacara Bendera
adalah guru-guru. Alasannya, biar para
siswa bisa mencontoh menjadi petugas Upacara Bendera dengan baik dan benar. Selain
itu, belum pernah dijumpai di suatu sekolah, jika dilaksanakan Upacara Bendera,
petugasnya adalah para guru. Ternyata
usulan demikian ini mendapat respon positif teman-teman guru. Akhirnya, saat itu juga ditentukan atau
ditunjuk petugasnya. Di antaranya petugas: Komandan Upacara, Pembaca Doa,
Pemimpin Lagu. Saya mendapat tugas sebagai pengibar bendera bersama dua orang
ibu guru. Yaitu Bu Nunung dan Bu Anik. Agar nantinya benar-benar bisa dicontoh
oleh para siswa, disepakati pula waktu untuk berlatih bersama, yaitu sepulang
sekolah.
Sesuai
dengan kesepakatan, kami berlatih bersama-sama di lapangan yang biasa
dipergunakan untuk kegiatan Upacara Bendera. Saat latihan, masing-masing menjalankan
peran sesuai dengan tugasnya. Ternyata di beberapa acara atau adegan terjadi
kesalahan yang tidak disengaja. Hal ini menimbulkan kelucuan dan mengundang
tawa. Tidak hanya itu, hampir semua teman guru, selalin menjadi petugas, juga
menjadi pelatih, dengan memberikan saran dan kritikan. Hal ini lumrah. Guru
yang biasanya mengatur, kok, diatur. Karena
banyak terjadi kesalahan, terpaksa latihannya dilakukan secara berulang-ulang.
Saya
yang bertugas menjadi pengibar bendera bersama Bu Nunung dan Bu Anik, paling
banyak mengalami kesalahan saat latihan.
Maka sudah sewajarnya kedua orang ibu guru itu mengajak saya untuk berlatih
lagi sendiri. Mulanya saya tidak mau
karena sudah merasa capai. Tetapi karena kedua orang ibu guru itu memaksa
terus, bahkan mereka melontarkan pernyataan, bahwa kita akan memberikan contoh
yang terbaik untuk para siswa, akhirnya saya menurutnya. Alhasil, kami mampu
berlatih mendekati “sempurna”.
Tibalah
saat pelaksanaan. Kami sudah bersiap diri menjalankan tugas sebagai petugas Upacara
Bendera, dengan pakaian seragam kebesaran dan menempatkan diri sesuai posisi
masing-masing. Para siswa sudah berbaris rapi dan tertib. Hampir semua memandang barisan para guru yang
siap menjalankan tugas. Mereka akan menyaksikan kejadian yang amat langka,
bahkan belum pernah mereka lihat. Bagaimana jika guru-gurunya bertugas menjadi
petugas Upacara Bendera, sedangkan para siswa menjadi pesertanya.
Pak
Budi yang bertugas menjadi Komandan Upacara, mengawali kegiatan dengan melangkah mantab dan tegap, laksana seorang
tentara ke arena upacara. Tetapi saat memberi komando penghormatan kepada
Pembina Upacara, suaranya yang awalnya keras, tiba-tiba berubah menjadi parau. Sesaat menimbulkan senyum dari beberapa
peserta upacara.
Kini
giliran kami bertiga bertugas mengibarkan bendera. Saya berbaris di tengah dan bertugas memberi aba-aba dalam berbaris.
Sementara kedua tangan saya membawa bendera untuk dikibarkan. Singkatnya, saya ya memberi aba-aba, ya berbaris, ya membawa
bendera. Mungkin karena tidak
konsentrasi oleh banyaknya peran, ketika melangkah menuju ke tiang bendera,
langkah kami bertiga tidak sama. Bu Nunung yang berbaris di samping kanan saya,
berbarisnya salah. Harusnya antara
gerakan tangan kanan bertolakan dengan
gerakan kaki kanan, antara gerakan tangan kiri bertolakan gerakan dengan
kaki kanan. Tetapi Bu Nunung tidak demikian. Ketika kaki kanannya diayunkan
melangkah, tangan kanannya ikut menjulur
ke depan. Ketika kaki kirinya melangkah, tangan kirinya menjulur ke depan. Gerakannya seperti “Bagong” berjalan. (Di sekolah kami, cara berbaris demikian ini
dikenal dengan sebutan “mbagong”). Melihat kejadian itu, seluruh peserta
upacara, termasuk beberapa orang tua
yang menyaksikan kegiatan ini tersenyum.
Tidak
hanya itu, saat tali bendera saya kaitkan dengan tali tiang bendera, kemudian
saya bentangkan, ternyata hasilnya terbalik.
Bagian bendera yang berwarna merah di bawah, dan yang putih di atas.
Untunglah, Pak Budi yang bertugas menjadi Komandan Upacara dengan sigapnya
tanggap akan kejadian ini. Pak Budi lalu memberikan aba-aba kepada seluruh
peserta upacara untuk bersikap balik kanan. Dengan demikian peserta upacara
tidak melihat kejadian selanjutnya. Baru
setelah saya betulkan, dan bendera siap dikibarkan, peserta upacara diposisikan
balik kanan kembali.
Saat
kami bertiga mengibarkan bendera merah putih diiringi lagu Indonesiaraya,
rasa-rasanya lama sekali. Harusnya saat
lagu sudah selesai dinyanyikan, bendera dikibarkan tepat sampai puncak tiang.
Tetapi tidak. Lagu Indonesiaraya belum selesai dinyanyikan, bendera sudah
sampai puncak tiang bendera. Sedangkan tangan saya tetap memegangi tali tiang
bendera sampai lagu selesai dinyanyikan. Itu pun harus ada aba-aba dari
Komandan Upacara. Saat itu walau hanya sesaat, saya merasa seperti patung berdiri memegang
tali.
Mengalami
beberapa kesalahan ditambah sengatan matahari, saya merasa malu dan grogi.
Keringat seperti mengalir dari dalam tubuh dan membasahi baju seragam saya.
Sekalipun dalam keadaaan malu, panas, gerah, grogi, dan saya sudah selesai menjalankan
tugas sebagai Pengibar Bendera, saya tetap berusaha bertahan berdiri tegak dan
tidak bergerak.
Saat
acara amanat Pembina Upacara, saya tidak bisa konsentrasi dengan baik. Pikiran
saya membayangkan, ketika saya menjadi petugas pengibar bendera tadi, saya
sadar bahwa ada tiga hal yang saya kondisikan. Tigal hal itu adalah aspek
koginitf, afektif, dan psikomotorik, seperti target yang harus saya capai dalam
setiap pembelajaran. Ternyata saya sendiri mengalami kesulitan dan kesalahan.
Tak bisa dibayangkan jika para siswa yang saya tuntut untuk secepatnya mampu
memiliki kemampuan dalam bidang koginitif, afektif , dan psikomotorik secara
bersamaan. Pasti mengalami banyak tantangan dan kesulitan. Saya sadari, saya sebagai orang dewasa saja
mengalami kesulitan.
Selesai
kegiatan upacara bendera, semua pasukan dibubarkan. Tanpa dikomando, hampir
seluruh peserta upacara memberikan ucapan selamat kepada bapak dan ibu gurunya
, dengan bertepuk tangan meriah sekali.
Tidak lama berselang, hampir seluruh
siswa kelas Va mengerubuti saya.
Dengan senyum bangga sambil berjabat tangan, mereka memberikan ucapan
selamat kepada saya yang telah menjalankan tugas sebagai Pengibar Bendera. Tak lupa saya pun membalasnya dengan ucapan,
“Terima kasih !”
Ternayata
tidak hanya para siswa yang memberikan ucapan selamat. Sepulang sekolah, saya
pun dicegat oleh beberapa orang tua siswa yang tadi menyaksikan pelaksanaan kegiatan Upacara Bendera. Mereka dengan bangga
memberikan ucapan selamat kepada saya yang sudah berhasil menjalankan tugas
sebagai pengibar bendera. Walaupun ada yang berkomentar,
“Ternyata
tidak mudah, ya, Pak menjadi petugas Upacara Bendera itu ?”
Saya
hanya tersenyum mendengarnya.
Pengalaman
ini tak pernah saya lupakan. Ternyata menjadi petugas Upacara Bendera tidaklah
mudah. Lebih-lebih bagi yang belum berpengalaman. Sekali pun sudah
mempersiapkan diri dengan berlatih secara sungguh-sungguh dan berulang-ulang, ternyata
saat pelaksanaan kegiatan masih mengalami kesalahan.
Yang
lebih berkesan adalah, sekali pun saat bertugas saya mengalami kesalahan di
hadapan para siswa saya, mereka tidak mencela. Mereka tidak marah. Mereka tidak
menghukum atau memberi sanksi kepada saya. Bahkan mereka menunjukkan rasa bangga, dengan memberikan
ucapan selamat. Sedangkan saya, sering
memarahi siswa yang mungkin tanpa sengaja melakukan kesalahan. Pada hal jika
dirunut permasalahannya, mereka sebenarnya tidak salah. Dengan kejamnya saya memberikan hukuman
terhadap siswa yang menurut saya nakal, hanya masalah sepele. Saya sering
memperlakukan siswa SD seperti layaknya
orang yang sudah dewasa.
Saya
juga menyadari bahwa selama ini saya mendidik tidak dengan hati. Para siswa
sering saya perlakukan semena-mena sesuai dengan kehendak saya sendiri. Mereka
saya jejali dengan berbagai tugas. Hasilnya pun tidak mengecewakan. Tetapi
setelah saya renungkan, mereka menjalankan tugas bukan atas dasar kesadaran
diri. Bahkan ada di antara mereka yang meminta orang lain untuk membantu
menyelsaikan tugasnya. Mereka berusaha menyelesaikan tugas karena merasa
“takut’ kepada saya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan pengalaman saya menjadi petugas upacara.
Sebenarnya saya tidak bersedia betugas, tetapi karena ada unsur “paksaan”, saya
pun menerima. Dan, ternyata hasilnya tidak maksimal.
Pengalaman
saya ini juga sungguh menguatkan semangat panggilan hidup saya sebagai seorang
guru. Sebagai “pelayan” bagi para siswa yang dipercayakan kepada saya. Jika
saya menemukan kesalahan tindakan seorang siswa, saya tidak serta memarahinya,
menghukum atau memberi sanksi. Saya harus dengan tulus hati memaklumi. Tentu
mereka sudah berusaha agar tidak melakukan kesalahan. Mereka tentu tidak
sengaja melakukan kesalahan. Jika ada siswa yang melakukan kesalahan, saya
memahami bahwa kesalahan itu tidak hanya ia yang menjadi penyebabnya. Maka saya
berkewajiban untuk membimbing dan mendampinginya agar tidak mengulanginya lagi.
Menjadi petugas Upacara Bendera ternyata tidak mudah.
Butuh persiapan dan latihan. Menjadi petugas Upacara Bendera juga merupakan
suatu perjuangan. Dengan demikian mampu menghayati dan merasakan nilai-nilai
patriotisme dan semangat bela negara. Setiap kali mengikuti kegiatan Upacara
Bendera, saya selalu teringat pengalaman saat menjadi petugas upacara dengan
segala kekurangannya.Pengalaman menjadi petugas Upacara Bendera sangat
mengesankan dan sulit saya lupakan.
Aloysius Sardi
SMP Tarakanita
Solo Baru
Tulisan ini sudah dibukukan dalam
buku “PESAN SANG GURU” terbitan Kanisius, karena masuk nominasi pemenang dalam
lomba mengarang Pengalaman Menjadi Guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar