Jumat, 28 Oktober 2016

STOP KEKERASAN ANAK !




STOP KEKERASAN ANAK !

Perhatian dunia (PBB) terhadap kehidupan anak melalui Organisasi Perlindungan Anak sudah dimulai sejak Oktober 1953, dengan mengadakan event Hari Anak Sedunia. Yang selanjutnya Majelis Umum PBB pada tanggal 14 Desember 1954 menetapkan tanggal 20 November sebagai Hari Anak Sedunia. Setiap negara kemudian ikut memperingatinya dengan menentukan tanggal peringatan yang berbeda-beda. Tujuan utamanya adalah menghargai dan menghormati hak-hak yang harus diterima oleh seorang anak. Menyadari anak merupakan aset penting bangsa, negara kita pun berdasarkan Kepres RI No. 44 Tahun 1984, menetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional.
Yang mendasari ditetapkannya Hari Anak Nasional adalah banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan yang terus meningkat. Sementara anak merupakan aset penting untuk kemajuan bangsa. Oleh sebab itu, kesejahteraan dan perlindungan hak-hak anak, baik secara hukum dan perundangan (UU No. 4 Tahun 1979).  Pemerintah juga membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai isntitusi independen yang mengawasi pelaksanaan upaya perlindungan anak dan melakukan investigasi terhadap pelanggaran hak anak. KPAI bisa secara langsung memberikan dan menyampaikan saran kepada presiden. Pemerintah juga melakukan penggantian nama Kementrian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Hal ini bertujuan agar masalah anak dapat ditangani secara intens dan lebih fokus.
Usaha pemerintah ini patut diapresiasi dan didukung oleh seluruh warga negara. UUD  1945, Pasal 34 ayat 2 mengamanatkan: Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Pemerintah juga sudah menyusun Undang-Undang yang menyerukan dan mengatur pentingnya perlindungan kesejahteraan dan hak-hak anak. Undang-Undang Perlindungan Anak ini dari tahun ke tahun selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan jaman.
Sekalipun Undang-Undang tentang Perlindungan Anak selalu direvisi, perlu kiranya ada suatu persepsi yang sama tentang batasan usia pengertian  anak. UU No. 4 Tahun 1979: batasan pengertian anak adalah laki-laki atau perempuan yang belum mencapai usia 21 tahun. UU No. 25 Tahun 1997: batasan anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 tahun. UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 23 Tahun 2002, UU RI No. 21 Tahun 2007, UU No. 44 Tahun 2008: belum berumur 18 tahun. Sedang menurut pasal 330 ayat (1) KUH Perdata: jika umurnya belum genap 21 tahun. Berbeda lagi dengan Pasal 45 KUHP: belum berumur 16 tahun. Persamaan persepsi ini penting untuk menentukan sikap dan tindakan yang bijak demi kesejahteraan dan hak-hak anak.
Kini pemerintah telah menetapkan UU No. 35 Tahun 2014, dalam implementasinya menekankan tentang pentingnya peran pemangku kepentingan selain negara dalam mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak, yaitu lebih mengedepankan peran dan tanggungjawab keluarga dan masyarakat. Untuk melindungi anak-anak berhadapan dengan hukum, pemerintah menetapkan UU No. 11 Tahun 2012. Di dalamnya ditekankan prinsip “diversi” yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana anak ke proses di luar pidana anak. Pendekatan yang digunakan adalah “restoratif justice”, yang artinya penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku / korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada upaya pemulihan kembali kondisi pada keadaan semula, dan bukan mengupayakan tindakan balas dendam. UU No. 11 Tahun 2012 ini juga memperjelas peran dan tugas Pekerja Sosial yang bergerak di bidang kesejahteraan dan hak anak.
Sekalipun dunia telah berusaha “memperhatikan” kesejahteraan dan hak-hak anak, ternyata kekerasan dan pelecehan terhadap anak semakin meningkat. Berdasarkan Hasil Survey Hasil Kekerasan Terhadap Anak yang dilakukan UNICEF bekerja sama dengan Pusdatin, Kesos.(2013),disebutkan bahwa dari 600.000 anak - 1,5 juta anak, telah dilakukan survey kepada anak laki-laki dan perempuan. Hasilnya menunjukkan bahwa dari sekian anak tersebut sebagai sample terdapat 1 anak dari 4 anak laki-laki mengalami kekerasan fisik oleh orang dewasa, 1 anak dari 8 anak laki-laki mengalami kekerasan emosional dan 1 anak dari 12 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual. Sedangkan anak perempuan disebutkan bahwa 1 (satu) anak dari 7 anak perempuan mengalami kekerasan fisik, 1 dari 9 anak perempuan mengalami kekerasan emosional dan 1 dari 19 anak perempuan mengalami kekerasan seksual.
Jumlah anak Indonesia usia di bawah 18 tahun mencapai 79.898.000 orang. Sedangkan menurut data nasional Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) tahun 2012 menyebutkan bahwa Anak yang mengalami kasus keterlantaran (anak telantar) sebanyak 3.115.177 jiwa (6,76 persen). Balita terlantar 1.224.168 jiwa (susenas). Anak Berhadapan Hukum/Anak Nakal 146.228 jiwa dan anak jalanan sebanyak 134.903 anak (dinsosth. 2012). Anak penyandang disabilitas sebanyak 532.130 jiwa (Pusdatin. 2013) Informasi yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial (2008), selain anak yang terlantar, terdapat anak yang berhadapan dengan hukum sebanyak 295.763 jiwa, anak dengan kecacatan sebanyak 189.075 jiwa, anak korban kekerasan sebanyak 182.406 jiwa, anak yang bekerja sebanyak 5.201.1452 jiwa, anak jalanan sebanyak 232.894 jiwa.
Sesuai data dari KPAI jumlah anak yang berhadapan dengan hukum mengalami peningkatan selama periode Januari-25 April 2016 ada 298 kasus. Meningkat 15 persen dibandingkan dengan 2015 (merupakan peringkat paling tinggi untuk catur wulan pertama) Dengan rincian: 24 kasus anak sebagai pelaku kekerasan fisik,  anak pelaku dan korban kekerasan dan pemerkosaan, pencabulan, dan sodomi mencapai sebesar 36 kasus.Wilayah tertinggi tingkat anak berhadapan dengan hukum berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am Sholeh, ironisnya, banyak dari pelaku kekerasan terhadap anak ini justru adalah orang tua dari anak itu sendiri. “Setiap tahun angka kekerasan terhadap anak mencapai 3.700, dan rata-rata terjadi 15 kasus setiap harinya,” kata Asrorun di sela-sela peluncuran aplikasi pencegahan kekerasan anak, Pandawa Care, di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin, 25 April 2016.
Beberapa  faktor  memicu kekerasan terhadap anak Menurut Komnas Perlindungan Anak  pemicu di antaranya:
a.  Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violance).
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi
b. Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.
c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.
d. Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.
Upaya untuk mengatasi masalah perlindungan terhadap kekerasan anak dapat dilakukan melalui 2 bentuk, yaitu:
1) Melalui reformasi hukum; hal tersebut pertama kali dengan cara mentransformasi paradigma hukum yang menjadi spirit upaya reformasi hukum tersebut. Spirit untuk melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-centred approach) berbasis pendekatan hak.
2)  Melalui keberpihakan orang tua, guru sebagai pendidik, masyarakat dan pemerintah dalam memberikan dan mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Bentuk tindakan konkritnya adalah:
Pertama, Orang Tua. Para orang tua seharusnya lebih memperhatikan kehidupan anaknya. Orang tua dituntut kecakapannya dalam mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Jangan membiarkan anak hidup dalam kekangan, mental maupun fisik. Sikap memarahi anak habis-habisan, apalagi tindakan kekerasan (pemukulan dan penyiksaan fisik) tidaklah arif, karena hal itu hanya akan menyebabkan anak merasa tidak diperhatikan, tidak disayangi. Akhirnya anak merasa trauma, bahkan putus asa. Penting disadari orang tua bahwa anak dilahirkan ke dunia ini dilekati dengan berbagai hak yang layak didapatkannya. Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan perhatian. Anak pun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga maupun di sekolah, juga nafkah (berupa pangan, sandang dan papan). Bagaimanapun keadaannya, tidak wajib seorang anak menafkahi dirinya sendiri, sehingga ia harus kehilangan banyak hak-haknya sebagai anak karena harus membanting tulang untuk menghidupi diri (atau bahkan keluarganya). Dalam kasus child abuse, siklus kekerasan dapat berkembang dalam keluarga. Individu yang mengalami kekerasan dari orang tuanya dulu, memiliki kecenderungan signifikan untuk melakukan hal yang sama pada anak mereka nanti. Tingkah laku agresi dipelajari melalui pengamatan dan imitasi, yang secara perlahan terintegrasi dalam sistem kepribadian orang tua. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk menyadari sepenuhnya bahwa perilaku mereka merupakan model rujukan bagi anak-anaknya, sehingga mereka mampu menghindari perilaku yang kurang baik.
Peran keluarga terutama orang tua di sini sangatlah penting. Perlindungan dan kasih sayang seharusnya semakin ditingkatkan. Perekonomian yang sulit jangan menjadikan anak sebagai bahan eksploitasi untuk mencari uang. Masa anak masih dalam tahap belajar dan bermain serta mengenal lingkungan. Hal tersebut adalah bekal mereka untuk mengahadapi kehidupan yang selanjutnya ketika mereka beranjak dewasa kelak. Pendidikan juga sangat wajib bagi anak, anak adalah tunas bangsa yang harus lebih diperhatikan kembali. Orang tua juga wajib dalam mengawasi lingkungan anak agar tidak menjadi korban kekerasan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Kedua, Guru. Peran seorang guru dituntut untuk menyadari bahwa pendidikan di negara kita bukan saja untuk membuat anak pandai dan pintar, tetapi harus juga dapat melatih mental anak didiknya. Peran guru dalam memahami kondisi siswa sangat diperlukan. Sikap arif, bijaksana, dan toleransi sangat diperlukan. Idealnya seorang guru mengenal betul pribadi peserta didik, termasuk status sosial orang tua murid sehingga ia dapat bertindak dan bersikap bijak.
Ketiga, Masyarakat. Anak-anak kita ini selain bersentuhan dengan orang tua dan guru, mereka pun tidak bisa lepas dari berbagai persinggungan dengan lingkungan masyarakat di mana dia berada. Untuk itu diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemen di masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan positif bagi anak-anak. Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelola stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruh media (terutama TV) terhadap perilaku anak (sebagai salah satu penikmat acara TV) cukup besar. Berbagai tayangan kriminal di berbagai stasiun TV, tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret kekerasan yang tentu akan berpengaruh pada pembentuk mental dan pribadi anak. Penyelenggara siaran TV bertanggungjawab untuk mendesain acaranya dengan acara yang banyak mengandung unsur edukasi yang positif. Dan yang kalah pengaruhnya adalah gadget yang seakan-akan tanpa adanya filter sebagai pembeda mana yang baik dan buruk, mana yang mendidik dan yang tidak mendidik. Manusia termasuk anak dengan mudahnya mengakses berbagai informasi yang sebenarnya belum / tidak pantas anak lihat, baca dan dengar.
Keempat, Pemerintah. Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemaslahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus. Pemerintah harus memberikan ketegasan pada masyarakat mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bila perlu memberikan sosialisasi bahwa ada Undang-Undang yang bertujuan memberikan perlindungan anak, serta dijelaskan juga sanksi terhadap yang melanggar Undang-Undang tersebut. Pemerintah juga harus memberikan fasilitas pelatihan dan pembelajaran anak. Maka pemerintah harus siap menampung anak-anak yang terlantar sesuai dengan bunyi UUD 1945 pasal 34 ayat 1, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Selain itu sangatlah perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan badan pemerintah seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI merupakan lembaga independen yang kedudukannya sejajar dengan komisi negara lainnya. KPAI dibentuk pada 21 Juni 2004 dengan Keppres No. 95/M Tahun 2004 berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002. Dalam keputusan Presiden tersebut, dinyatakan bahwa KPAI bertujuan untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI diharapkan mampu secara aktif memperjuangkan kepentingan anak. KPAI bertugas melakukan sosialisasi mengenai seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan anak. Selain itu KPAI juga dituntut untuk memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.
Sejak awal didirikan, KPAI memperoleh dana untuk menjalankan segala tugas, fungsi, dan program-programnya karena dana bersumber dari APBN (dari Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial) dan APBD. Sumber dana juga mungkin berasal dari bantuan asing jika memang ada lembaga asing atau organisasi internasional yang ingin bekerja sama dengan KPAI. Pada kenyataannya selama ini KPAI kurang bisa berdaya guna. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih mengenal Komnas Anak daripada KPAI sehingga perlu adanya upaya pemerintah dalam memaksimalkan kinerja KPAI. Bila perlu KPAI bekerja sama dengan Komnas Anak karena Komnas Anak jam terbangnya lebih tinggi dan lebih mengetahui seluk-beluk kasus kekerasan pada anak di Indonesia. Sehingga kemungkinan besar kasus kekerasan pada anak bisa lebih ditekan angka peningkatannya dari tahun ke tahun karena ada dua badan yang langsung terjun di masyarakat.
Alternatif solusi di atas diharapkan mampu efektif dalam menangani juga mengantisipasi terjadinya kekerasan pada anak. Pengembangan potensi anak juga diharapkan harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Saatnya semua lapisan masyarakat peduli pada anak.
Drs. A. Sardi
-      Guru BK SMP Tarakanita Solo Baru.
-      Mantan Koordinator Tim Pendampingan Anak Sekolah Mingu Gereja Kristus Raja Solo Baru.




Rabu, 26 Oktober 2016

QUO VADIS KOPERASI PRIMER INDONESIA



Hari Koperasi Indonesia
    Selasa, 12 Juli 2016

QUO VADIS KOPERASI PRIMER INDONESIA

Dari anggota, oleh anggota, untuk anggota. Ungkapan sederhana tersebut sangat pas untuk menggambarkan kegiatan koperasi. Karena seperti yang kita ketahui, koperasi dihidupkan dari iuran anggotanya, dan pada akhirnya akan menghidupkan anggotanya. Dalam istilah politik kita kenal dengan sebutan demokrasi.
Koperasi merupakan produk ekonomi yang kegiatannya menjadi gerakan ekonomi kerakyatan, dan berjalan dengan prinsip gotong-royong. Tujuan koperasi tertuang dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Kekoperasian, pada BAB II Pasal 3, menyatakan bahwa tujuan koperasi adalah: “Memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945”.
Landasan operasional Pasal 33 ayat 1 UUD 1945: UU Koperasi No. 12 1967, UU Koperasi No. 25 Tahun 1992; “ Perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.” Dalam penjelasannya antara lain dinyatakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perorangan, dan bentuk perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi.
Dalam mengelola koperasi harus berpijak dengan prinsip-prinsip koperasi sesuai dengan UU No.17 Th. 2012, yakni, garis-garis yang dijadikan penuntun dan digunakan oleh koperasi untuk mengaplikasikan tuntunan tersebut dalam praktik koperasi.  Prinsip-prinsip tersebut adalah : keanggotaan sukarela dan terbuka; pengendalian oleh anggota secara demokratis; partisipasi ekonomi anggota; otonomi dan kebebasan; pendidikan, pelatihan, dan informasi; kerjasama di antara koperasi; kepedulian terhadap komunitas.
Nilai yang hendak diperjuangkan dalam berkoperasi sesuai Undang-Undang Koperasi Pasal di antaranya: nilai kekeluargaan; nilai menolong diri sendiri; nilai bertanggung jawab; nilai demokrasi; nilai persamaan; nilai berkeadilan; dan nilai kemandirian. Sedangkan nilai yang harus dipegang teguh anggota koperasi, di antaranya: nilai kejujuran; nilai keterbukaan; nilai tanggung jawab; dan nilai kepedulian terhadap sesama anggota serta orang lain.
Berdasarkan tingkat dan luas daerahnya, koperasi dikelompokkan menjadi Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Persyaratan mendirikan Koperasi Primer sangatlah ringan, yakni minimal memiliki  anggota sebanyak 20 orang anggota, tentu termasuk pengurusnya. Agar koperasi masuk kategori legal, sesuai UU No. 12 Tahun 1967 harus berbadan hukum. Dalam hal ini pemerintah begitu “memanjakan” koperasi primer.
Walau pemerintah telah memberikan berbagai stimulan agar suatu koperasi bisa berkembang dan mencapai tujuannya, kenyataannya jarang sekali suatu lembaga koperasi bisa dikategorikan “sehat”. Dari beberapa kali mengikuti pembicaraan di tingkat Puskopdit B3D Surakarta (Himpunan beberapa koperasi primer yang ada), beberapa rekan menyampaikan permasalahannya baik secara internal maupun eksternal.
Permasalahan internal di antaranya: 1) Kebanyakan pengurus koperasi telah lanjut usia sehingga kapasitasnya terbatas. 2) Pengurus koperasi juga tokoh masyarakat, sehingga “rangkap jabatan”, ini menimbulkan akibat bahwa fokus perhatiannya terhadap pengelolaan koperasi berkurang sehingga kurang menyadari adanya perubahan-perubahan lingkungan.    3) Kurangnya kepercayaan anggota dan merasa kesulitan untuk memulihkannya.                   4) Keterbatasan dana untuk pengadaan sarana dan prasaran penunjang operasional, pada hal kemajuan teknologi berkembang dengan pesat dan harga pokok pun relatif tinggi, sehingga mengurangi kekuatan bersaing dengan koperasi lain atau lembaga usaha sejenis.                   5) Pengelolaan administrasi belum memenuhi standar tertentu, termasuk data statistik, maka sering dijumpai data tidak lengkap selagi melakukan  pengambilan keputusan. 6) Solidaritas antar anggota kurang yang berdampak pada kurangnya tanggungjawab mereka terhadap hak dan kewajibannya.  7) Terbatasnya modal usaha, maka volume usaha pun terbatas. Jika akan memperbesar volume usaha terbentur oleh kemampuan dan keterampilan sumber daya manusianya dan ketidakberdayaan mengadakan sarana dan prasarana penunjangnya.
Permasalahan eksternal meliputi: 1) Bertambahnya kompetitor dari badan usaha yang lain yang secara bebas memasuki bidang usaha yang sedang ditangani oleh koperasi (banyak lembaga yang berlebel “Koperasi” tetapi pengelolaan dan managemennya tidak sesuai dengan hakekat koperasi). 2) Diberhentikannya fasilitas-fasilitas tertentu, koperasi tidak dapat lagi menjalankan usahanya dengan baik (dulu koperasi diberi kepercayaan untuk mendistribusikan pupuk bagi petani, sekarang tidak). 3) Masyarakat sudah apriori (kurang respek) terhadap koperasi, karena banyak koperasi yang tidak mampu mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat. Dengan demikian kepercayaan masyarakat kepada pengelola koperasi kurang. 4) Tingkat suku bunga pinjaman lembaga keuangan pemerintah selalu berubah-ubah bahkan ada yang sangat rendah dan mudah, sementara koperasi banyak yang tidak mampu menyesuaikan situasi ini. 5) Perkembangan teknologi informasi yang berkembang pesat (sistem on line), sementara koperasi sangat kurang memiliki dana dan tenaga operasional yang handal. Kondisi demikian sangat berpengaruh pada proses pelayanan kepada masyarakat. 6) Tuntutan pemerintah (Dinas Koperasi dan UMKM) yang mengikat koperasi untuk melakukan audit baik secara internal maupun eksternal. Sementara untuk melakukan audit dibutuhkan dana yang cukup tinggi. Maka banyak koperasi yang “tiarap”.   
Begitu kompleksnya permasalahan koperasi primer di Indonesia ini, maka untuk memulihkan kembali “roh” koperasi dibutuhkan peran berbagai pihak. Pihak pemerintah setidaknya menentukan kebijakan yang positif untuk mendongkrak perkoperasian di Indonesia ini. 1) Memberikan bantuan peningkatan modal koperasi dengan tujuan mengendalikan dana bagi Lembaga Jaminan Kredit Koperasi guna meningkatkan kemampuan modal koperasi melalui kredit-kredit yang diterimanya dari bank atas jaminan lembaga tersebut. 2) Melakukan bimbingan penyuluhan usaha koperasi, tujuannya mengintensifkan usaha pembinaan koperasi dalam rangka usaha untuk meningkatkan produksi dan pemasaran hasil produksi. Juga penyuluhan untuk mewujudkan koperasi yang sehat. 3) Melakukan uji materi perkembangan organisasi dan tata laksana koperasi, sebab sistem managemen dan organisasi koperasi. Dengan sistem koperasi maka fungsi ekonomi akan semakin efektif. Di sisi lain akan mampu merangsang partisipasi anggota. 4) Secara berkala mengadakan pendidikan dan pelatihan. Hal ini bertujuan untuk menghadapi kelangkaan tenaga usahawan, tenaga terampil dan tenaga administrasi. 5) Meningkatkan penelitian atau survey koperasi dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah, mengadakan eksplorasi dan pengkajian berupa pilot project untuk pembangunan koperasi.
Sedangkan untuk pengelola koperasi yang sekarang banyak mengalami ketimpangan, dibutuhkan daya juang untuk kembali sadar diri, bahwa banyak orang / anggota mempercayainya. Maka harus mampu menunjukkan kepercayaannya. Misalnya dalam menentukan kebijakan semestinya melibatkan anggota koperasi. Ingat bahwa lembaga koperasi bukanlah lembaga profit yang mencari keuntungan semata, akan tetapi terpanggil untuk membantu masyarakat golongan ekonomi lemah agar mampu mengelola ekonominya dengan baik. Transparansi dan keterbukaan managemen koperasi merupakan modal untuk menaruh rasa kepercayaan anggota terhadap kinerja pengelola koperasi, maka komunikasi dan relasi inter dan antar pengelola serta anggota harus dijalin seefektif dan seefisien mungkin.
Lembaga koperasi primer yang berhasil biasanya sudah memiliki tenaga-tenaga profesional (manager dan karyawan). Mereka sebagai ujung tombak perputaran roda koperasi, akan tetapi afektif mereka sering kali kurang memiliki kesan yang baik bagi anggota. Penting kiranya karyawan koperasi memiliki sikap pelayanan prima kepada seluruh anggota. Di lain pihak juga harus memahami kebijakan-kebijakan koperasi yang berlaku.
Sebagai anggota masyarakat, hendaknya mendukung dan berpartisipasi aktif memajukan perekonomian kerakyatan ini. Masyarakat sebagai alat kontrol maju mundurnya koperasi harus mengetahui kondisi “kesehatan” suatu lembaga koperasi. Sebenarnya sudah ada standarisasi yang bisa dipakai sebagai pedoman untuk mengukur sehat tidaknya suatu lembaga koperasi yang dikenal dengan Pearls (Pearls Monitoring System).
Ada 6 unsur Pearls Monitoring System, yaitu: Perlindungan (Protection), Struktur Keuangan yang Efektif (Efective Financial Structure), Kualitas Modal (Asset Quality), Nilai Pengembalian dan Biaya (Rates Retum on Costs), Likuiditas (Liquidity) dan Tanda Pertumbuhan (Sign of Growth).   
Apakah Perlindungan (Protection) suatu lembaga koperasi sehat atau tidak dapat diketahui dari kecukupan cadangan kerugiannya. Untuk mengukur kecukupan kerugian pinjaman dibandingkan dengan cadangan untuk menutup semua pinjaman yang menunggak lebih dari dua belas bulan. Bisa dihitung dari Dana Resiko Pinjaman dibagi Kelalaian Pinjaman lebih dari dua belas bulan dikalikan 100 %. Jika hasilnya 100 %, maka dinilai ideal. Sedangkan untuk mengukur kecukupan cadangan kerugian pinjaman setelah dikurangi cadangan yang digunakan untuk menutup pijaman yang menunggak kurang dari dua belas bulan, digunakan rumus Dana Resiko Pinjaman dikurangi Kelalaian Pinjaman lebih dari dua belas bulan, lalu dibagi Kelalaian Pinjaman kurang dari dua belas bulan. Dikalikan 100 %. Jika hasil yang diperoleh 100 %, maka disebut ideal.
Bagaimana kondisi Struktur Keuangan yang Efektif (Efective Financial Structure) ideal atau tidak, dapat dilihat keberadaan total aktiva, total asset lembaga koperasi. Untuk mengukur prosentase total aktiva yang tertanam pada pinjaman, dengan rumus: Saldo Pinjaman Beredar, dibagi Total Asset, dikali 100 %. Idealnya adalah 70 – 80 %. Untuk mengukur prosentase total asset yang ditanamkan dalam investasi jangka pendek / investasi lancar, digunakan rumus: Investasi Lancar dibagi Total Asset, dikali 100 %. Idealnya: maksimal 20 %. Untuk mengukur prosentase total aktiva yang dibiayai simpanan digunakan rumus: Simpanan Non Saham dibagi Total Asset, dikali 100 %. Idealnya: 70 – 80 %. Untuk mengukur prosentase total asset yang didanai oleh hutang pihak ketiga, digunakan rumus: Hutang Pihak Ketiga dibagi Total Asset, dikali 100 %. Idealnya: maksimal 5 %. Untuk mengukur total biaya aktiva dengan saham anggota digunakan rumus: Modal Saham dibagi Total Asset, dikali 100 %. Idealnya: 10 – 20 %. Untuk mengukur prosentase total aktiva yang dibiayai dengan modal institusi, dengan rumus: Modal Kelembagaan dibagi Total Asset, dikali 100 %. Idealnya: minimum 10 %.
 Apakah Kualitas Modal (Asset Quality) bermutu atau tidak dapat dilihat dari jumlah pinjaman dan hal lain yang menghasilkan atau tidak. Untuk mengukur total prosentase pinjaman yang menunggak, dengan kriteria saldo pinjaman menunggak yang belum dilunasi sebagai pengganti akumulasi pembayaran pinjaman menunggak, yang idealnya: maksimal 5 % digunakan rumus: Total Kelalaian Pinjaman dibagi Total Pinjaman Beredar, dikali 100 %. Untuk mengetahui total asset yang tidak menghasilkan, dengan ideal: maksimal 5 %, digunakan rumus: Total asset yang tidak menghasilkan dibagi Total Asset, dikali 100 %. Untuk mengukur prosentase asset yang tidak menghasilkan yang dibiayai dengan modal kelembagaan dan hutang tidak terbayar / tanpa bunga, yang idealnya : lebih besar atau sama dengan 100 %, digunakan rumus: Modal institusi ditambah hutang tidak berbiayai, dibagi Asset yang tidak menghasilkan, dikali 100 %.
Bagaimana Nilai Pengembalian dan Biaya (Rates Retum on Costs) dapat dilihat dari pendapatan kotor, baiaya pengelolaan, dan kemampuan memperoleh laba. Untuk mengukur pendapatan kotor, biaya-biaya dari hasil aktiva, sebelum dikurangi biaya operasional, persyaratan untuk kerugian pinjaman dan hal-hal luar biasa lainnya digunakan pedoman harga pasar. Dapat dihitung dengan rumus: Total Margin Pendapatan Kotor dibagi Total Rata-Rata Asset, dikali 100 %. Untuk mengukur biaya yang berhubungan dengan pengelolaan koperasi. Biaya ini digunakan untuk mengukur prosentase total aktiva dan petunjuk efisien atau tidaknya cara kerja organisasi digunakan rumus: Total Biaya Operasional dibagi Total Rata-Rata Asset, dikali 100 %. Idealnya: 3 – 10 %. Untuk mengukur kemampuan memperoleh laba dan kapasitas menambah modal institusi, digunakan rumus: Pendapatan Bersih (SHU) dibagi Total Rata-Rata Asset, dikali 100 %. Idealnya: lebih dari 10 %.
Likuiditas (Liquidity) biasa dilihat dari ketersediaan kas lancar dan kemampuan pengembalian cash money. Untuk mengukur kemampuan persediaan kas lancar, untuk memenuhi permintaan pengambilan simpanan non saham, setelah pembayaran yang segera jatuh tempo kurang dari 3 hari. Idealnya: minimum 15 %, dapat digunakan rumus: Total Investasi Lancar dikurangani kewajiban lancar, dibagi Total simpanan Non Saham, dikali 100 %. Untuk mengukur kemampuan memenuhi permintaan pengambilan cash money yang idealnya: kurang dari 1 %, digunakan rumus: Kas ditambah Cek, dibagi Total Asset, dikali 100 %.
Apakah ada Tanda Pertumbuhan (Sign of Growth) atau tidak dapat dilihat dari Simpanan Non Saham, Simpanan Saham, Modal Lembaga, pertumbuhan anggota dan pertumbuhan asset per tahun. Untuk mengukur pertumbuhan pinjaman yang beredar, yang idealnya total pinjaman meningkat dibandingkan tahun lalu, digunakan rumus: Pinjaman Beredar dikurangi Pinjaman Beredar Tahun Lalu, dibagi Pinjaman Beredar Tahun Lalu, dikali 100 %. Untuk mengukur Pertumbuhan Simpanan Non Saham, yang idealnya: meningkat dibandingkan tahun lalu, digunakan rumus: Total Simpanan Non Saham dikurangi Total Simpanan Non Saham Tahun Lalu, dibagi Total Simpanan Non Saham Tahun Lalu, dikali 100 %. Untuk mengukur pertumbuhan simpanan saham, yang idealnya meningkat dari tahun lalu, digunakan rumus: Simpanan Saham Tahun ini dikurangi Simpanan Saham Tahun Lalu, dibagi Simpanan Saham Tahun ini, dikali 100 %. Untuk mengukur pertumbuhan modal lembaga, yang idealnya meningkat dari tahun lalu, digunakan rumus: Modal Lembaga Tahun ini dikurangi Modal Lembaga Tahun Lalu, dibagi Modal Lembaga Tahun Lalu, dikali 100 %. Untuk mengetahui pertumbuhan anggota, yang idealnya minimum 10 % per tahun, digunakan rumus: Total Anggota Tahun ini dikurangi Total Anggota Tahun Lalu, dibagi Total Anggota Tahun Lalu, dikali 100 %. Untuk mengetahui pertumbuhan total asset per tahun, yang idealnya minimum 10 %, dapat digunakan rumus: Total Asset Tahun ini dikurangi Total Asset Tahun Lalu, dibagi Total Asset Tahun Lalu, dikali 100%.
Jika suatu lembaga koperasi sudah mampu mencapai standar ideal, lembaga koperasi tersebut tergolong bagus. Kenyataan yang ada di wilayah Solo Raya ini, belum ada lembaga koperasi yang memenuhi seluruh standar berdasarkan Pearls Monitoring System (PMS) ini.
Selain berdasarkan PMS tersebut, apakah suatu lembaga koperasi sudah mensikapi perwujudan Empat Pilar Koperasi Kredit sebagai alat pembangunan  (Hasil dari Rapat Anggota Tahunan Nasional Koperasi Indonesia, bulan Mei 2016 di Pangkal Pinang). Empat Pilar Koperasi Kredit tersebut meliputi:
1. Pendidikan: Usaha utama koperasi dalam meningkatkan harkat hidup manusia yaitu lewat pendidikan anggota dengan tujuan agar anggota dapat mengerti peran serta, hak dan kewajiban sebagi anggota Koperasi, agar lebih rasioal bijaksana dalam mengatur keuangan rumah tangga dan usahanya serta mengetahui dan memahami laporan keuangan dan perkembangan koperasi. Koperasi dimulai dengan pendidikan, serta dikontrol oleh pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan anggota koperasi baik pria dan wanita sangat dibutuhkan dalam pengembangan koperasi.
2 Setiakawanan (solidritas): Koperasi  bukan sekedar menghimpun simpanan dan memberi kredit (pinjaman) dari dan kepada anggota, namun yang paling diutamakan adalah bagaimana setiap anggota koperasi memperhatikan kepentingan kelompok dari pada kepentingan sendiri. Sebagai anggota koperasi selalu memotivasi agar tidak memikirkan dirinya sendiri, melainkan harus saling melayani. Dalam setiap agama apapun di dunia ini selalu diungkapkan penekanan persaudaraan antar sesama manusia.Karena itu setiap anggota koperasi harus selalu ingat akan kewajibannya antara lain menyimpan dengan teratur simpanan wajibnya, serta mengangsur pinjamannya dengan tertib sehingga anggota lain mendapat kesempatan untuk memeperoleh pinjaman. Dengan demikian anggota koperasi selalu memberikan kepentingan dan kebutuhan lain.
3. Swadaya: Koperasi harus sedapat mungkin membiayai dirinya sendiri dalam pengertian bahwa anggota koperasi selalu berusaha agar koperasinya semakin besar dan sehat.
4. Inovasi (Pembaharuan):Koperasi harus senantiasa tanggap dan selektif terhadap kemajuan dan perkembangan jaman, terlebih di bidang informasi. Maka sangat penting kiranya koperasi berani melakukan terobosan-terobosan baru demi berkembangnya koperasi yang sehat dan mandiri.
Jika suatu lembaga koperasi sudah menunjukkan kemampuannya senayara nyata di masyarakat Empat Pilar Koperasi ini, sebagai masyarakat, jangan ragu-ragu untuk mempercayainya. Akan tetapi jika belum, tugas masyarakatlah untuk berperan serta.
Jayalah Koperasi Indonesia.

Drs. A. Sardi

                        Sekretaris Pengurus Koperasi Kredit CU Esthi Manunggal Surakarta
                        Jl. AM. Sangaji No. 28 Gajahan, Pasar Kliwon, Surakarta

Selasa, 25 Oktober 2016

MAKNA IBADAH




MAKNA IBADAH


            Tahukah Anda, mengapa saat memasuki gedung gereja, kita membasahi jari dengan air yang ditaruh di tempat khusus dan digantungkan di kanan kiri pintu gereja ? Atau mengapa saat menyanyikan lagu tertentu dalam acara misa kudus haru berdiri ? Saat Pastur mengangkat piala, kita menyembah ?

            Kalau kita merasa belum mamahami makna “gerakan” dalam ibadah, dimungkinkan kita kurang menjalankan ibadah dengan sepenuh hati. Setiap agama dalam menjalankan ibadahnya selalu me. nggunakan gerakan-gerakan tertentu. Secara umum, gerakan itu bermakna sebagai ungkapan hati dalam berkomunikasi dengan Tuhan.

            Makna ibadah bagi umat Katolik adalah:
a.  Mengungkapkan cinta, kepercayaan dan harapan manusia dengan Tuhan.
b. Mengungkapkan karya Tuhan yang menyelamatkan hidup manusia.
c.   Meningkatkan dan menjamin mutu hidup sebagai orang beriman.
d.  Mmenggairahkan iman dan kasih kepada Allah.
e.   Mengantar umat pada penghayatan iman yang benar.
f.    Untuk memperoleh buah-buah rohani.

            Saat melakukan ibadah, umat Katolik banyak menggunakan simbol-simbol. Agar kita bisa menjalankan dan menghayati peribadahan kita, berikut sekedar pemahaman simbol-simbol yang diharapkan mampu memperkaya keimanan kita kepada Tuhan.
 a.    Tanda Salib, dibuat ketika :
1) Memasuki gereja sambil menandai diri dengan air suci tanda    peringatan pembaptisan yang telah kita terima.
2)  Mengawali dan Mengakhiri Perayaan ibadah
3) Memulai bacaan injil dengan membuat tanda salib pada dahi, mulut dan dada.
4) Menerima berkat mengutusan pada bagian penutup.

b.    Perarakan
Perarakan dilakukan oleh Pemimpin ibadah beserta pembantunya berjalan bersama menuju altar, juga dilakukan oleh beberapa wakil umat untuk mengantarkan persembahan berupa: roti, anggur, lilim, bunga dan kolekte ke altar.

c.    Berjalan
Berjalan yang baik dilakukan dengan tegap dan khidmat serta pandangan kearah depan merupakan tanda penghormatan dan kesungghuan niat kita bertemu dengan Tuhan serta dengan tidak tergesa-gesa supaya suasana khidmat dan tenang terjaga, namun tidak lambat juga supaya tidak memberi kesan lamban

d.    Berdiri
Berdiri sebagai ungkapan rasa hormat dan syukur, dilakukan waktu menyambut imam, pembacaan Injil, mengucapkan Syahadat, menyampaikan doa Umat, memulai Doa Syukur Agung dan menyanyikan lagu Bapa Kami.

e.    Duduk
Duduk dilakukan ketika Kitab Suci dibacakan (selain Injil) sebagai suatu ungkapan kesediaan mendengar dan merenungkan sabda Tuhan. Persiapan persembahan sebagai ungkapan kesediaan memberi diri kepada Tuhan dengan penuh penyerahan. Petugas membacakan penguman sebagai tanda ungkapan kesediaan mendengarkan dan melaksakan tugas kewajiban

f.    Membungkuk
Membungkukan badan dan kepala merupakan tanda penghormatan terhadap Pemimpin ibadah, altar Tuhan, salib dan sakramen Maha Kudus.

g.    Berlutut
Berlutut merupakan sikap doa yang mengungkapkan kerendahan hati seseorang yang ingin memohon kepada Tuhan atau bersembah sujud kepada-Nya.

h.    Mengangkat Tangan
Sebagai sikap doa yang mengungkapkan permohonan dengan kebulatan hati yang disertai pengharapan, dilakukan oleh imam ketika mengangkat patena dan piala berisi roti dan anggur untuk dipersembahkan kepada Tuhan, serta mengangkat sibori atau patena dan piala yang berisi Tubuh dan Darah Kristus untuk diperlihatkan kepada umat.

i.     Mengatupkan Tangan
Mengatupkan tangan dibuat ketika sebelum dan setelah menerima komuni (mengatupkan tangan didada waktu berjalan) sebagai ungkapan kesetiaan pada Tuhan, juga dilakukan oleh umat ketika berdoa pribadi.

j.     Tiarap/Menelungkup
Tiarap atau menelungkup merupakan ungkapan tidak pantas, merasa berdosa dihadapan Allah, dilakukan oleh para calon Imam dan Uskup ketika ditahbiskan, serta oleh Umat sebagai sikap Doa, merasa diri berdosa besar dan tidak layak dihadapan Tuhan.

k.    Memerciki
Sebagai tanda penyucian dan peringatan akan pembatisan, memerciki dilakukan pada permulaan Ekaristi dan juga dilakukan setelah pembaharuan janji naptis pada Malam Paska, saat menerima daun Palma pada perarakan Minggu Palma. Mmemerciki juga dilakukan untuk kepentingan pernikahan, pemakaman, pemberkatan tempat/gedung, pemberkatan benda-benda devosi lainnya.

l.     Mendupai
Untuk menciptakan suasana doa dan kurban bagi Allah. Pendupaan altar bergerak dari bagian kiri ke kanan mengelilingi altar. Asap putih yang mengepul keatas  melambangkan persembahan kita diterima oleh Allah.

m.   Bersalaman
Berjabat tangan atau bersalaman mengungkapkan wujud dari Kasih dan Persaudaraan. Bersalaman dilakukan oleh umat ketika saling memberikan Salam Damai.

n.    Memberkati
Memberkati adalah bentuk menguduskan umat yang dilakukan oleh seorang pemimpin ibadah, memberkati adalah Doa, ungkapan permohonan pada Tuhan, semoga yang diminta umat-Nya terkabulkan, terjadi, terlaksana. Memberkati disertai dengan gerakan tangan yang "bertanda salib" dengan mengucapkan "Atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus". Tiada berkat imam yang tidak diberikan dalam tanda salib.

A.    Sardi - Tarakanita