Jumat, 11 November 2016

JIKA GURU MENJADI PETUGAS UPACARA BENDERA



JIKA GURU MENJADI PETUGAS UPACARA BENDERA

Selama bersekolah dari SD sampai lulus SPG, (lebih-lebih di Perguruan Tinggi) pengalaman  saya menjadi petugas Upacara Bendera bisa dihitung dengan jari tangan.  Jika harus bertugas, saya pun pilih-pilih. Misalnya, tidak merupakan Upacara Bendera peringatan hari besar, menanyakan siapa yang menjadi Pembina Upacara-nya, saya menjadi petugas apa. Jika tidak sesuai dengan keinginan saya, saya terpaksa menolaknya. Bahkan, saya pernah memilih untuk membolos dengan suatu alasan.
Tahun 1.999 – 2.000, saya menjadi guru kelas Va di suatu SD. Hampir sebulan sekali, siswa kelas  yang saya walii harus menerima giliran bertugas menjadi petugas Upacara Bendera.  Mau tidak mau, sebagai Guru Wali Kelas, saya harus mempersiapkannya. Mulai dari menunjuk siswa yang bertugas dan melatihnya, hingga para petugas benar-benar siap menjalankan tugasnya.
Suatu hari diadakan rapat guru. Dalam rapat itu didiskusikan kembali, pentingnya dilaksanakan kegiatan Upacara Bendera setiap hari Senin. Di antaranya menanamkan nilai patriotisme dan semangat bela negara. Akan tetapi terungkap juga suatu keprihatinan akan pelaksanaan kegiatan Upacara Bendera yang dilaksanakan setiap hari Senin.  Salah satu keprihatinannya adalah, banyak siswa yang bertugas kurang mampu dan kurang bersungguh-sungguh saat menjalankan perannya. Analisisnya, guru kurang memberikan contoh menjadi petugas Upacara Bendera dengan baik dan benar. Di lain pihak, muncul berbagai persepsi berbeda dari para guru, akan beberapa adegan atau gerakan petugas upacara.
Menanggapi hal tersebut, salah seorang teman saya menyampaikan usul. Bagaimana jika suatu  saat yang menjadi petugas Upacara Bendera adalah guru-guru. Alasannya,  biar para siswa bisa mencontoh menjadi petugas Upacara Bendera dengan baik dan benar. Selain itu, belum pernah dijumpai di suatu sekolah, jika dilaksanakan Upacara Bendera, petugasnya adalah para guru.  Ternyata usulan demikian ini mendapat respon positif teman-teman guru.  Akhirnya, saat itu juga ditentukan atau ditunjuk petugasnya. Di antaranya petugas: Komandan Upacara, Pembaca Doa, Pemimpin Lagu. Saya mendapat tugas sebagai pengibar bendera bersama dua orang ibu guru. Yaitu Bu Nunung dan Bu Anik.  Agar nantinya benar-benar bisa dicontoh oleh para siswa, disepakati pula waktu untuk berlatih bersama, yaitu sepulang sekolah.
Sesuai dengan kesepakatan, kami berlatih bersama-sama di lapangan yang biasa dipergunakan untuk kegiatan Upacara Bendera. Saat latihan, masing-masing menjalankan peran sesuai dengan tugasnya. Ternyata di beberapa acara atau adegan terjadi kesalahan yang tidak disengaja. Hal ini menimbulkan kelucuan dan mengundang tawa. Tidak hanya itu, hampir semua teman guru, selalin menjadi petugas, juga menjadi pelatih, dengan memberikan saran dan kritikan. Hal ini lumrah. Guru yang biasanya mengatur, kok, diatur.  Karena banyak terjadi kesalahan, terpaksa latihannya dilakukan secara berulang-ulang.
Saya yang bertugas menjadi pengibar bendera bersama Bu Nunung dan Bu Anik, paling banyak  mengalami kesalahan saat latihan. Maka sudah sewajarnya kedua orang ibu guru itu mengajak saya untuk berlatih lagi sendiri.  Mulanya saya tidak mau karena sudah merasa capai. Tetapi karena kedua orang ibu guru itu memaksa terus, bahkan mereka melontarkan pernyataan, bahwa kita akan memberikan contoh yang terbaik untuk para siswa, akhirnya saya menurutnya. Alhasil, kami mampu berlatih mendekati “sempurna”.
Tibalah saat pelaksanaan. Kami sudah bersiap diri menjalankan tugas sebagai petugas Upacara Bendera, dengan pakaian seragam kebesaran dan menempatkan diri sesuai posisi masing-masing. Para siswa sudah berbaris rapi dan tertib.  Hampir semua memandang barisan para guru yang siap menjalankan tugas. Mereka akan menyaksikan kejadian yang amat langka, bahkan belum pernah mereka lihat. Bagaimana jika guru-gurunya bertugas menjadi petugas Upacara Bendera, sedangkan para siswa menjadi pesertanya.
Pak Budi yang bertugas menjadi Komandan Upacara, mengawali kegiatan dengan  melangkah mantab dan tegap , laksana seorang tentara ke arena upacara. Tetapi saat memberi komando penghormatan kepada Pembina Upacara, suaranya yang awalnya keras, tiba-tiba   berubah menjadi parau.  Sesaat menimbulkan senyum dari beberapa peserta upacara.
Kini giliran kami bertiga bertugas mengibarkan bendera.  Saya berbaris di tengah dan  bertugas memberi aba-aba dalam berbaris. Sementara kedua tangan saya membawa bendera untuk dikibarkan.  Singkatnya, saya  ya memberi aba-aba, ya berbaris, ya membawa bendera.  Mungkin karena tidak konsentrasi oleh banyaknya peran, ketika melangkah menuju ke tiang bendera, langkah kami bertiga tidak sama. Bu Nunung yang berbaris di samping kanan saya, berbarisnya salah.  Harusnya antara gerakan tangan kanan bertolakan dengan  gerakan kaki kanan, antara gerakan tangan kiri bertolakan gerakan dengan kaki kanan. Tetapi Bu Nunung tidak demikian. Ketika kaki kanannya diayunkan melangkah, tangan kanannya ikut  menjulur ke depan. Ketika kaki kirinya melangkah, tangan kirinya menjulur ke depan.  Gerakannya seperti “Bagong” berjalan.  (Di sekolah kami, cara berbaris demikian ini dikenal dengan sebutan “mbagong”).  Melihat kejadian itu, seluruh peserta upacara,  termasuk beberapa orang tua yang menyaksikan kegiatan ini tersenyum. 
Tidak hanya itu, saat tali bendera saya kaitkan dengan tali tiang bendera, kemudian saya bentangkan, ternyata hasilnya terbalik.  Bagian bendera yang berwarna merah di bawah, dan yang putih di atas. Untunglah, Pak Budi yang bertugas menjadi Komandan Upacara dengan sigapnya tanggap akan kejadian ini. Pak Budi lalu memberikan aba-aba kepada seluruh peserta upacara untuk bersikap balik kanan. Dengan demikian peserta upacara tidak melihat kejadian selanjutnya.  Baru setelah saya betulkan, dan bendera siap dikibarkan, peserta upacara diposisikan balik kanan kembali.
Saat kami bertiga mengibarkan bendera merah putih diiringi lagu Indonesiaraya, rasa-rasanya lama sekali.  Harusnya saat lagu sudah selesai dinyanyikan, bendera dikibarkan tepat sampai puncak tiang. Tetapi tidak. Lagu Indonesiaraya belum selesai dinyanyikan, bendera sudah sampai puncak tiang bendera. Sedangkan tangan saya tetap memegangi tali tiang bendera sampai lagu selesai dinyanyikan. Itu pun harus ada aba-aba dari Komandan Upacara. Saat itu walau hanya sesaat,  saya merasa seperti patung berdiri memegang tali.
Mengalami beberapa kesalahan ditambah sengatan matahari, saya merasa malu dan grogi. Keringat seperti mengalir dari dalam tubuh dan membasahi baju seragam saya. Sekalipun dalam keadaaan malu, panas, gerah, grogi, dan saya sudah selesai menjalankan tugas sebagai Pengibar Bendera, saya tetap berusaha bertahan berdiri tegak dan tidak bergerak.
Saat acara amanat Pembina Upacara, saya tidak bisa konsentrasi dengan baik. Pikiran saya membayangkan, ketika saya menjadi petugas pengibar bendera tadi, saya sadar bahwa ada tiga hal yang saya kondisikan. Tigal hal itu adalah aspek koginitf, afektif, dan psikomotorik, seperti target yang harus saya capai dalam setiap pembelajaran. Ternyata saya sendiri mengalami kesulitan dan kesalahan. Tak bisa dibayangkan jika para siswa yang saya tuntut untuk secepatnya mampu memiliki kemampuan dalam bidang koginitif, afektif , dan psikomotorik secara bersamaan. Pasti mengalami banyak tantangan dan kesulitan.  Saya sadari, saya sebagai orang dewasa saja mengalami kesulitan.
Selesai kegiatan upacara bendera, semua pasukan dibubarkan. Tanpa dikomando, hampir seluruh peserta upacara memberikan ucapan selamat kepada bapak dan ibu gurunya , dengan bertepuk tangan meriah sekali.  Tidak lama berselang, hampir seluruh  siswa kelas Va mengerubuti saya.  Dengan senyum bangga sambil berjabat tangan, mereka memberikan ucapan selamat kepada saya yang telah menjalankan tugas sebagai Pengibar Bendera.  Tak lupa saya pun membalasnya dengan ucapan, “Terima kasih !”
Ternayata tidak hanya para siswa yang memberikan ucapan selamat. Sepulang sekolah, saya pun dicegat oleh beberapa orang tua siswa yang tadi menyaksikan pelaksanaan  kegiatan Upacara Bendera. Mereka dengan bangga memberikan ucapan selamat kepada saya yang sudah berhasil menjalankan tugas sebagai pengibar bendera. Walaupun ada yang berkomentar,
“Ternyata tidak mudah, ya, Pak menjadi petugas Upacara Bendera itu ?”
Saya hanya tersenyum mendengarnya.
Pengalaman ini tak pernah saya lupakan. Ternyata menjadi petugas Upacara Bendera tidaklah mudah. Lebih-lebih bagi yang belum berpengalaman. Sekali pun sudah  mempersiapkan diri dengan berlatih secara sungguh-sungguh dan berulang-ulang, ternyata saat pelaksanaan kegiatan masih mengalami kesalahan.
Yang lebih berkesan adalah, sekali pun saat bertugas saya mengalami kesalahan di hadapan para siswa saya, mereka tidak mencela. Mereka tidak marah. Mereka tidak menghukum atau memberi sanksi kepada saya. Bahkan mereka  menunjukkan rasa bangga, dengan memberikan ucapan selamat.  Sedangkan saya, sering memarahi siswa yang mungkin tanpa sengaja melakukan kesalahan. Pada hal jika dirunut permasalahannya, mereka sebenarnya tidak salah.  Dengan kejamnya saya memberikan hukuman terhadap siswa yang menurut saya nakal, hanya masalah sepele. Saya sering memperlakukan siswa SD seperti layaknya  orang yang sudah dewasa.
Saya juga menyadari bahwa selama ini saya mendidik tidak dengan hati. Para siswa sering saya perlakukan semena-mena sesuai dengan kehendak saya sendiri. Mereka saya jejali dengan berbagai tugas. Hasilnya pun tidak mengecewakan. Tetapi setelah saya renungkan, mereka menjalankan tugas bukan atas dasar kesadaran diri. Bahkan ada di antara mereka yang meminta orang lain untuk membantu menyelsaikan tugasnya. Mereka berusaha menyelesaikan tugas karena merasa “takut’ kepada saya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan  pengalaman saya menjadi petugas upacara. Sebenarnya saya tidak bersedia betugas, tetapi karena ada unsur “paksaan”, saya pun menerima. Dan, ternyata hasilnya tidak maksimal.
Pengalaman saya ini juga sungguh menguatkan semangat panggilan hidup saya sebagai seorang guru. Sebagai “pelayan” bagi para siswa yang dipercayakan kepada saya. Jika saya menemukan kesalahan tindakan seorang siswa, saya tidak serta memarahinya, menghukum atau memberi sanksi. Saya harus dengan tulus hati memaklumi. Tentu mereka sudah berusaha agar tidak melakukan kesalahan. Mereka tentu tidak sengaja melakukan kesalahan. Jika ada siswa yang melakukan kesalahan, saya memahami bahwa kesalahan itu tidak hanya ia yang menjadi penyebabnya. Maka saya berkewajiban untuk membimbing dan mendampinginya agar tidak mengulanginya lagi.
            Menjadi petugas Upacara Bendera ternyata tidak mudah. Butuh persiapan dan latihan. Menjadi petugas Upacara Bendera juga merupakan suatu perjuangan. Dengan demikian mampu menghayati dan merasakan nilai-nilai patriotisme dan semangat bela negara. Setiap kali mengikuti kegiatan Upacara Bendera, saya selalu teringat pengalaman saat menjadi petugas upacara dengan segala kekurangannya. Pengalaman menjadi petugas Upacara Bendera sangat mengesankan dan sulit saya lupakan.

Aloysius Sardi
SMP Tarakanita Solo Baru

Catatan:
Tulisan ini sudah dibukukan dalam buku “PESAN SANG GURU” terbitan Kanisius, karena masuk nominasi pemenang dalam lomba mengarang Pengalaman Menjadi Guru.
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar