SEPULUH ALASAN, MENGAPA GURU ENGGAN
MENULIS
Guru
harus bisa menyelenggarakan penelitian sederhana untuk kepentingan pengajaran.
Demikian salah satu butir dari Sepuluh Kemampuan Dasar Guru. Hal
ini menuntut agar guru mampu mengkaji konsep dasar penelitian dan melaksanakan
penelitian sederhana. Secara implisit, guru dituntut untuk bisa menghasilkan
karya tulis sederhana.
Akan
tetapi apa yang terjadi di lapangan ? Banyak guru enggan untuk menulis. Apa
yang menyebabkannya ? Dari hasil analisis, ada beberapa alasan mengapa guru
enggan menulis. Di antaranya adalah:
1.
Tidak
tahu tujuan menulis
Menulis merupakan suatu
proses pembelajaran. Baik itu untuk diri penulis maupun orang lain. Apabila
seorang mampu menulis, tujuan utamanya adalah agar tulisan itu dibaca oleh
orang lain. Orang lain yang mulanya tidak tahu, menjadi tahu. Dengan demikian,
diri penulis akan teraktualisasi (dikenal), diakui eksistensinya dan tentu saja
akan merasa bangga dan puas yang tidak bisa diukur nilainya. Jika hasil tulisan
dimuat di suatu surat kabar, tentu akan mendapat penghargaan dan imbalan yang
layak. Jadi secara ekonomis, bisa menambah penghasilan bagi orang yang berhasil
menulis.
Apabila seorang guru
mau dan mampu mendasari semangatnya dengan berpijak dari tujuan menulis, maka
hasil tulisannya akan berkembang dan berbobot.
2.
Tidak
mau belajar dan membaca
Banyak orang ingin bisa
memiliki keterampilan menulis, namun banyak pula yang tidak mau tahu, bagaimana
proses untuk menjadi seorang penulis tersebut. Salah satu usaha untuk menjadi penulis,
harus mau belajar kepada siapa saja dan tentang berbagai hal sebagai penunjang
terbentuknya sebuah tulisan. Salah satu bentuk belajar yang dilakukan penulis
adalah membaca. Dengan belajar dan membaca, penulis akan memiliki
bahan yang luas untuk diolah menjadi sebuah tulisan.
Sayang, banyak guru merasa
enggan belajar dan membaca. Merasa pengetahuan dan keterampilan yang sekarang
dimilikinya sudah banyak. Mereka mengetahui bahwa ilmu itu selalu berkembang,
tetapi kurang mau menyikapi perkembangan ilmu dengan belajar dan membaca.
Apalagi menulis ?
3.
Tidak
punya waktu untuk menulis.
Dengan banyaknya beban
dan tanggungjawab yang ada, orang merasa tidak punya waktu dan kesempatan lagi
untuk menulis. Benarkah demikian ? Perlu disadari bahwa Tuhan itu Maha Adil.
Tuhan memberikan waktu yang sama kepada semua ciptaan-Nya. Jika ada orang
beralasan tidak punya waktu untuk menulis, mungkin mempunyai anggapan bahwa
menulis itu butuh waktu khusus. Pada hal, menulis itu bisa dilakukan kapan dan
di mana saja. Terlebih untuk jaman modern sekarang ini, alat untuk menulis
semua serba canggih.
Tugas dan tanggungjawab
guru di mana saja sama. Banyak guru yang berhasil menulis. Hal ini menunjukkan
bahwa mereka (termasuk kita) masih punya waktu untuk menulis. Tinggal bagaimana kita mengatur atau mengelola waktu untuk
menulis.
4.
Tidak
tahu mesti menulis tentang apa
Menulis tidak jauh
berbeda dengan berbicara. Menulis itu berbicara yang dituangkan dalam bentuk
tulisan. Jika bingung akan menulis tentang apa, tulis saja tentang apa yang
sedang kita bicarakan. Atau apa yang sekarang kita rasakan dan alami.
Sebagai seorang guru
tentu sering mendengar, melihat, dan merasakan suatu permasalahan yang beraneka
macam. Tidak perlu bingung akan apa yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk
ditulis. Ya, yang didengar, dilihat dan dirasakan itulah dituangkan dalam
bentuk tulisan.
5.
Kesulitan
menentukan ragam dan bentuk tulisan
Jika dalam menulis kita
terpancang dengan teori tentang ragam dan bentuk suatu tulisan, maka kita akan
ter-skeptis
(terbatasi). Tidak merasa bebas menuangkan tulisan. Pada hal, menulis itu suatu
kebebasan berekspresi menuangkan ide dan gagasan. Oleh sebab itu, salah kiranya
jika kita sendiri yang membatasi diri. Ingin menulis cerita pendek, pantun,
opini, future, dan sebagainya.
Sebagai seorang guru
mestinya kita sadar bahwa manusia (kita) itu memiliki jiwa untuk berekspresi
dalam menuangkan ide dan gagasannya. Jika kita ingin menulis, mulai saja
menulis. Jangan berfikir hasil tulisannya ini nanti berbentuk apa. Biarlah
orang lain yang membaca tulisan kita yang akan memberikan penilaian tentang
ragam dan bentuknya.
6.
Tidak
tahu teknik menulis yang baik dan benar
Yang dimaksud teknis
menulis adalah kiat-kiat menulis dengan baik dan benar, sehingga hasil tulisan
dinilai berkualitas. Sebenarnya banyak sekali buku-buku di pasaran yang
memberikan ajaran dan petunjuk teknis menulis yang baik dan benar ini. Tetapi
sejauh mana peran teori teknis ini bisa diterapkan dan memberikan penunjang
kualitas sebuah tulisan ?
Memang, jika guru
beralasan enggan menulis dikarenakan tidak tahu teknis menulis yang baik dan
benar, sebaiknya banyak membaca buku-buku yang memberikan petunjuk cara menulis
yang baik dan benar. Kunjungi perpustakaan atau toko-toko buku.
7.
Tidak
tahu bagaimana cara mengirim tulisan
Tujuan utama menulis
adalah agar tulisannya dibaca oleh orang lain. Jika menginginkan yang membaca
tulisan itu banyak orang, kirimkan ke surat kabar agar dimuat. Sayangnya, tidak
semua orang tahu bagaimana cara mengirimkan tulisannya. Pada hal ini mudah.
Tulis sebuah surat yang ditujukan kepada redaksi yang diinginkan. Isi surat,
memohon agar tulisan dimuat. Jika karena kurang memenuhi syarat untuk dimuat,
mintalah dikembalikan, asal disertai perangko secukupnya. Jika mungkin,
kirimkan melalui e-mail atau faxcimili. Di setiap surat kabar pasti ada.
Sebagai seorang guru
hendaknnya jangan gagap teknologi. Dengan kemampuan dan ketarampilan yang kita
miliki, mari kita gunakan untuk mengembangkan diri dengan menuangkan ide dan
gagasan kita dalam bentuk tulisan.
8.
Tidak memiliki daya juang dan daya saing yang
tinggi
Banyak orang yang sudah
menulis dan bahkan sudah mencoba mengirimkan tulisannya ke surat kabar untuk
dimuat. Akan tetapi baru mengirimkan beberapa tulisannya dan belum menampakkan
hasil, sudah patah arang di tengah jalan. Mereka tidak mau merefleksi dan
mengevaluasi diri, mengapa sampai beberapa waktu lamanya tidak kunjung dimuat ?
Kurang menarik atau berbobotkah tulisannya ? Pada hal jika dibandingkan dengan
tulisan-tulisan lain yang sudah dimuat, tulisannya memiliki nilai lebih.
Sebagai seorang (guru) penulis,
terlebih tergolong penulis pemula, hendaknya memiliki daya juang dan daya saing
yang tinggi. Sebuah tulisan agar layak muat di suatu surat kabar butuh proses ,
penilaian, dan pertimbangan berbagai aspek. Untuk itu, jangan mudah putus asa
(“mutung”)
jika tulisannya kalah bersaing. Justru ini dijadikan sebagai pemacu untuk lebih
meningkatkan kualitas tulisan kita.
9.
Merasa
bangga dan puas akan tulisannya
Beberapa orang merasa
bangga dan puas setelah mendapatkan suatu penghargaan dari karya tulisannya.
Mereka enggan menggembangkan dan mencoba menulis hal yang lain. Mereka merasa “tersanjung”
akan karyanya. Orang yang demikian ini bisa dikatakan berkarya kurang dijiwai
oleh rasa
seni. Mereka berkarya hanya karena tuntutan belaka.
Sebagai seorang guru,
mestinya menjadi guru yang kreatif dan inovatif. Jika telah berhasil membuahkan
karya seni (tulisan), hendaknya tidak berhenti dan merasa puas. Tetapi justru
dijadikan pemacu semangat bahwa kita bisa . Bahkan lebih
bisa jika berusaha mengembangkannya.
10.
Tidak
memiliki keterampilan menulis
Persepsi keterampilan
tidak jauh berbeda dengan bakat. Salah satu kesamaannya, apabila tidak diasah
dengan latihan, maka ketarampilan dan bakat akan tidak berkembang dan hilang. Menulis
termasuk suatu keterampilan dan juga bakat. Semua orang yang bisa menulis tentu
bisa membuat “karya seni dalam bentuk tulisan”
Sebagai seorang guru,
menulis adalah suatu kewajiban. Sedangkan tulisan adalah suatu yang selalu
dipandang / dibaca. Jadi sebagai seorang guru harusnya menyadari bahwa dirinya
memiliki keterampilan dan bakat untuk menulis. Maka tidak ada alasan guru tidak
bisa menulis.
Kiriman: A. Sardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar