Jumat, 11 November 2016

JIKA GURU MENJADI PETUGAS UPACARA BENDERA



JIKA GURU MENJADI PETUGAS UPACARA BENDERA

Selama bersekolah dari SD sampai lulus SPG, (lebih-lebih di Perguruan Tinggi) pengalaman  saya menjadi petugas Upacara Bendera bisa dihitung dengan jari tangan.  Jika harus bertugas, saya pun pilih-pilih. Misalnya, tidak merupakan Upacara Bendera peringatan hari besar, menanyakan siapa yang menjadi Pembina Upacara-nya, saya menjadi petugas apa. Jika tidak sesuai dengan keinginan saya, saya terpaksa menolaknya. Bahkan, saya pernah memilih untuk membolos dengan suatu alasan.
Tahun 1.999 – 2.000, saya menjadi guru kelas Va di suatu SD. Hampir sebulan sekali, siswa kelas  yang saya walii harus menerima giliran bertugas menjadi petugas Upacara Bendera.  Mau tidak mau, sebagai Guru Wali Kelas, saya harus mempersiapkannya. Mulai dari menunjuk siswa yang bertugas dan melatihnya, hingga para petugas benar-benar siap menjalankan tugasnya.
Suatu hari diadakan rapat guru. Dalam rapat itu didiskusikan kembali, pentingnya dilaksanakan kegiatan Upacara Bendera setiap hari Senin. Di antaranya menanamkan nilai patriotisme dan semangat bela negara. Akan tetapi terungkap juga suatu keprihatinan akan pelaksanaan kegiatan Upacara Bendera yang dilaksanakan setiap hari Senin.  Salah satu keprihatinannya adalah, banyak siswa yang bertugas kurang mampu dan kurang bersungguh-sungguh saat menjalankan perannya. Analisisnya, guru kurang memberikan contoh menjadi petugas Upacara Bendera dengan baik dan benar. Di lain pihak, muncul berbagai persepsi berbeda dari para guru, akan beberapa adegan atau gerakan petugas upacara.
Menanggapi hal tersebut, salah seorang teman saya menyampaikan usul. Bagaimana jika suatu  saat yang menjadi petugas Upacara Bendera adalah guru-guru. Alasannya,  biar para siswa bisa mencontoh menjadi petugas Upacara Bendera dengan baik dan benar. Selain itu, belum pernah dijumpai di suatu sekolah, jika dilaksanakan Upacara Bendera, petugasnya adalah para guru.  Ternyata usulan demikian ini mendapat respon positif teman-teman guru.  Akhirnya, saat itu juga ditentukan atau ditunjuk petugasnya. Di antaranya petugas: Komandan Upacara, Pembaca Doa, Pemimpin Lagu. Saya mendapat tugas sebagai pengibar bendera bersama dua orang ibu guru. Yaitu Bu Nunung dan Bu Anik.  Agar nantinya benar-benar bisa dicontoh oleh para siswa, disepakati pula waktu untuk berlatih bersama, yaitu sepulang sekolah.
Sesuai dengan kesepakatan, kami berlatih bersama-sama di lapangan yang biasa dipergunakan untuk kegiatan Upacara Bendera. Saat latihan, masing-masing menjalankan peran sesuai dengan tugasnya. Ternyata di beberapa acara atau adegan terjadi kesalahan yang tidak disengaja. Hal ini menimbulkan kelucuan dan mengundang tawa. Tidak hanya itu, hampir semua teman guru, selalin menjadi petugas, juga menjadi pelatih, dengan memberikan saran dan kritikan. Hal ini lumrah. Guru yang biasanya mengatur, kok, diatur.  Karena banyak terjadi kesalahan, terpaksa latihannya dilakukan secara berulang-ulang.
Saya yang bertugas menjadi pengibar bendera bersama Bu Nunung dan Bu Anik, paling banyak  mengalami kesalahan saat latihan. Maka sudah sewajarnya kedua orang ibu guru itu mengajak saya untuk berlatih lagi sendiri.  Mulanya saya tidak mau karena sudah merasa capai. Tetapi karena kedua orang ibu guru itu memaksa terus, bahkan mereka melontarkan pernyataan, bahwa kita akan memberikan contoh yang terbaik untuk para siswa, akhirnya saya menurutnya. Alhasil, kami mampu berlatih mendekati “sempurna”.
Tibalah saat pelaksanaan. Kami sudah bersiap diri menjalankan tugas sebagai petugas Upacara Bendera, dengan pakaian seragam kebesaran dan menempatkan diri sesuai posisi masing-masing. Para siswa sudah berbaris rapi dan tertib.  Hampir semua memandang barisan para guru yang siap menjalankan tugas. Mereka akan menyaksikan kejadian yang amat langka, bahkan belum pernah mereka lihat. Bagaimana jika guru-gurunya bertugas menjadi petugas Upacara Bendera, sedangkan para siswa menjadi pesertanya.
Pak Budi yang bertugas menjadi Komandan Upacara, mengawali kegiatan dengan  melangkah mantab dan tegap , laksana seorang tentara ke arena upacara. Tetapi saat memberi komando penghormatan kepada Pembina Upacara, suaranya yang awalnya keras, tiba-tiba   berubah menjadi parau.  Sesaat menimbulkan senyum dari beberapa peserta upacara.
Kini giliran kami bertiga bertugas mengibarkan bendera.  Saya berbaris di tengah dan  bertugas memberi aba-aba dalam berbaris. Sementara kedua tangan saya membawa bendera untuk dikibarkan.  Singkatnya, saya  ya memberi aba-aba, ya berbaris, ya membawa bendera.  Mungkin karena tidak konsentrasi oleh banyaknya peran, ketika melangkah menuju ke tiang bendera, langkah kami bertiga tidak sama. Bu Nunung yang berbaris di samping kanan saya, berbarisnya salah.  Harusnya antara gerakan tangan kanan bertolakan dengan  gerakan kaki kanan, antara gerakan tangan kiri bertolakan gerakan dengan kaki kanan. Tetapi Bu Nunung tidak demikian. Ketika kaki kanannya diayunkan melangkah, tangan kanannya ikut  menjulur ke depan. Ketika kaki kirinya melangkah, tangan kirinya menjulur ke depan.  Gerakannya seperti “Bagong” berjalan.  (Di sekolah kami, cara berbaris demikian ini dikenal dengan sebutan “mbagong”).  Melihat kejadian itu, seluruh peserta upacara,  termasuk beberapa orang tua yang menyaksikan kegiatan ini tersenyum. 
Tidak hanya itu, saat tali bendera saya kaitkan dengan tali tiang bendera, kemudian saya bentangkan, ternyata hasilnya terbalik.  Bagian bendera yang berwarna merah di bawah, dan yang putih di atas. Untunglah, Pak Budi yang bertugas menjadi Komandan Upacara dengan sigapnya tanggap akan kejadian ini. Pak Budi lalu memberikan aba-aba kepada seluruh peserta upacara untuk bersikap balik kanan. Dengan demikian peserta upacara tidak melihat kejadian selanjutnya.  Baru setelah saya betulkan, dan bendera siap dikibarkan, peserta upacara diposisikan balik kanan kembali.
Saat kami bertiga mengibarkan bendera merah putih diiringi lagu Indonesiaraya, rasa-rasanya lama sekali.  Harusnya saat lagu sudah selesai dinyanyikan, bendera dikibarkan tepat sampai puncak tiang. Tetapi tidak. Lagu Indonesiaraya belum selesai dinyanyikan, bendera sudah sampai puncak tiang bendera. Sedangkan tangan saya tetap memegangi tali tiang bendera sampai lagu selesai dinyanyikan. Itu pun harus ada aba-aba dari Komandan Upacara. Saat itu walau hanya sesaat,  saya merasa seperti patung berdiri memegang tali.
Mengalami beberapa kesalahan ditambah sengatan matahari, saya merasa malu dan grogi. Keringat seperti mengalir dari dalam tubuh dan membasahi baju seragam saya. Sekalipun dalam keadaaan malu, panas, gerah, grogi, dan saya sudah selesai menjalankan tugas sebagai Pengibar Bendera, saya tetap berusaha bertahan berdiri tegak dan tidak bergerak.
Saat acara amanat Pembina Upacara, saya tidak bisa konsentrasi dengan baik. Pikiran saya membayangkan, ketika saya menjadi petugas pengibar bendera tadi, saya sadar bahwa ada tiga hal yang saya kondisikan. Tigal hal itu adalah aspek koginitf, afektif, dan psikomotorik, seperti target yang harus saya capai dalam setiap pembelajaran. Ternyata saya sendiri mengalami kesulitan dan kesalahan. Tak bisa dibayangkan jika para siswa yang saya tuntut untuk secepatnya mampu memiliki kemampuan dalam bidang koginitif, afektif , dan psikomotorik secara bersamaan. Pasti mengalami banyak tantangan dan kesulitan.  Saya sadari, saya sebagai orang dewasa saja mengalami kesulitan.
Selesai kegiatan upacara bendera, semua pasukan dibubarkan. Tanpa dikomando, hampir seluruh peserta upacara memberikan ucapan selamat kepada bapak dan ibu gurunya , dengan bertepuk tangan meriah sekali.  Tidak lama berselang, hampir seluruh  siswa kelas Va mengerubuti saya.  Dengan senyum bangga sambil berjabat tangan, mereka memberikan ucapan selamat kepada saya yang telah menjalankan tugas sebagai Pengibar Bendera.  Tak lupa saya pun membalasnya dengan ucapan, “Terima kasih !”
Ternayata tidak hanya para siswa yang memberikan ucapan selamat. Sepulang sekolah, saya pun dicegat oleh beberapa orang tua siswa yang tadi menyaksikan pelaksanaan  kegiatan Upacara Bendera. Mereka dengan bangga memberikan ucapan selamat kepada saya yang sudah berhasil menjalankan tugas sebagai pengibar bendera. Walaupun ada yang berkomentar,
“Ternyata tidak mudah, ya, Pak menjadi petugas Upacara Bendera itu ?”
Saya hanya tersenyum mendengarnya.
Pengalaman ini tak pernah saya lupakan. Ternyata menjadi petugas Upacara Bendera tidaklah mudah. Lebih-lebih bagi yang belum berpengalaman. Sekali pun sudah  mempersiapkan diri dengan berlatih secara sungguh-sungguh dan berulang-ulang, ternyata saat pelaksanaan kegiatan masih mengalami kesalahan.
Yang lebih berkesan adalah, sekali pun saat bertugas saya mengalami kesalahan di hadapan para siswa saya, mereka tidak mencela. Mereka tidak marah. Mereka tidak menghukum atau memberi sanksi kepada saya. Bahkan mereka  menunjukkan rasa bangga, dengan memberikan ucapan selamat.  Sedangkan saya, sering memarahi siswa yang mungkin tanpa sengaja melakukan kesalahan. Pada hal jika dirunut permasalahannya, mereka sebenarnya tidak salah.  Dengan kejamnya saya memberikan hukuman terhadap siswa yang menurut saya nakal, hanya masalah sepele. Saya sering memperlakukan siswa SD seperti layaknya  orang yang sudah dewasa.
Saya juga menyadari bahwa selama ini saya mendidik tidak dengan hati. Para siswa sering saya perlakukan semena-mena sesuai dengan kehendak saya sendiri. Mereka saya jejali dengan berbagai tugas. Hasilnya pun tidak mengecewakan. Tetapi setelah saya renungkan, mereka menjalankan tugas bukan atas dasar kesadaran diri. Bahkan ada di antara mereka yang meminta orang lain untuk membantu menyelsaikan tugasnya. Mereka berusaha menyelesaikan tugas karena merasa “takut’ kepada saya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan  pengalaman saya menjadi petugas upacara. Sebenarnya saya tidak bersedia betugas, tetapi karena ada unsur “paksaan”, saya pun menerima. Dan, ternyata hasilnya tidak maksimal.
Pengalaman saya ini juga sungguh menguatkan semangat panggilan hidup saya sebagai seorang guru. Sebagai “pelayan” bagi para siswa yang dipercayakan kepada saya. Jika saya menemukan kesalahan tindakan seorang siswa, saya tidak serta memarahinya, menghukum atau memberi sanksi. Saya harus dengan tulus hati memaklumi. Tentu mereka sudah berusaha agar tidak melakukan kesalahan. Mereka tentu tidak sengaja melakukan kesalahan. Jika ada siswa yang melakukan kesalahan, saya memahami bahwa kesalahan itu tidak hanya ia yang menjadi penyebabnya. Maka saya berkewajiban untuk membimbing dan mendampinginya agar tidak mengulanginya lagi.
            Menjadi petugas Upacara Bendera ternyata tidak mudah. Butuh persiapan dan latihan. Menjadi petugas Upacara Bendera juga merupakan suatu perjuangan. Dengan demikian mampu menghayati dan merasakan nilai-nilai patriotisme dan semangat bela negara. Setiap kali mengikuti kegiatan Upacara Bendera, saya selalu teringat pengalaman saat menjadi petugas upacara dengan segala kekurangannya. Pengalaman menjadi petugas Upacara Bendera sangat mengesankan dan sulit saya lupakan.

Aloysius Sardi
SMP Tarakanita Solo Baru

Catatan:
Tulisan ini sudah dibukukan dalam buku “PESAN SANG GURU” terbitan Kanisius, karena masuk nominasi pemenang dalam lomba mengarang Pengalaman Menjadi Guru.
    

SEPULUH ALASAN, MENGAPA GURU ENGGAN MENULIS



SEPULUH ALASAN, MENGAPA GURU ENGGAN MENULIS

            Guru harus bisa menyelenggarakan penelitian sederhana untuk kepentingan pengajaran. Demikian salah satu butir dari Sepuluh Kemampuan Dasar Guru. Hal ini menuntut agar guru mampu mengkaji konsep dasar penelitian dan melaksanakan penelitian sederhana. Secara implisit, guru dituntut untuk bisa menghasilkan karya tulis sederhana.
            Akan tetapi apa yang terjadi di lapangan ? Banyak guru enggan untuk menulis. Apa yang menyebabkannya ? Dari hasil analisis, ada beberapa alasan mengapa guru enggan menulis. Di antaranya adalah:
1.     Tidak tahu tujuan menulis
Menulis merupakan suatu proses pembelajaran. Baik itu untuk diri penulis maupun orang lain. Apabila seorang mampu menulis, tujuan utamanya adalah agar tulisan itu dibaca oleh orang lain. Orang lain yang mulanya tidak tahu, menjadi tahu. Dengan demikian, diri penulis akan teraktualisasi (dikenal), diakui eksistensinya dan tentu saja akan merasa bangga dan puas yang tidak bisa diukur nilainya. Jika hasil tulisan dimuat di suatu surat kabar, tentu akan mendapat penghargaan dan imbalan yang layak. Jadi secara ekonomis, bisa menambah penghasilan bagi orang yang berhasil menulis.
Apabila seorang guru mau dan mampu mendasari semangatnya dengan berpijak dari tujuan menulis, maka hasil tulisannya akan berkembang dan berbobot.

2.     Tidak mau belajar dan membaca
Banyak orang ingin bisa memiliki keterampilan menulis, namun banyak pula yang tidak mau tahu, bagaimana proses untuk menjadi seorang penulis tersebut. Salah satu usaha untuk menjadi penulis, harus mau belajar kepada siapa saja dan tentang berbagai hal sebagai penunjang terbentuknya sebuah tulisan. Salah satu bentuk belajar yang dilakukan penulis adalah membaca. Dengan belajar dan membaca, penulis akan memiliki bahan yang luas untuk diolah menjadi sebuah tulisan.
Sayang, banyak guru merasa enggan belajar dan membaca. Merasa pengetahuan dan keterampilan yang sekarang dimilikinya sudah banyak. Mereka mengetahui bahwa ilmu itu selalu berkembang, tetapi kurang mau menyikapi perkembangan ilmu dengan belajar dan membaca. Apalagi menulis ?

3.     Tidak punya waktu untuk menulis.
Dengan banyaknya beban dan tanggungjawab yang ada, orang merasa tidak punya waktu dan kesempatan lagi untuk menulis. Benarkah demikian ? Perlu disadari bahwa Tuhan itu Maha Adil. Tuhan memberikan waktu yang sama kepada semua ciptaan-Nya. Jika ada orang beralasan tidak punya waktu untuk menulis, mungkin mempunyai anggapan bahwa menulis itu butuh waktu khusus. Pada hal, menulis itu bisa dilakukan kapan dan di mana saja. Terlebih untuk jaman modern sekarang ini, alat untuk menulis semua serba canggih.
Tugas dan tanggungjawab guru di mana saja sama. Banyak guru yang berhasil menulis. Hal ini menunjukkan bahwa mereka (termasuk kita) masih punya waktu untuk menulis. Tinggal bagaimana  kita mengatur atau mengelola waktu untuk menulis.



4.     Tidak tahu mesti menulis tentang apa
Menulis tidak jauh berbeda dengan berbicara. Menulis itu berbicara yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Jika bingung akan menulis tentang apa, tulis saja tentang apa yang sedang kita bicarakan. Atau apa yang sekarang kita rasakan dan alami.
Sebagai seorang guru tentu sering mendengar, melihat, dan merasakan suatu permasalahan yang beraneka macam. Tidak perlu bingung akan apa yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk ditulis. Ya, yang didengar, dilihat dan dirasakan itulah dituangkan dalam bentuk tulisan.

5.     Kesulitan menentukan ragam dan bentuk tulisan
Jika dalam menulis kita terpancang dengan teori tentang ragam dan bentuk suatu tulisan, maka kita akan ter-skeptis (terbatasi). Tidak merasa bebas menuangkan tulisan. Pada hal, menulis itu suatu kebebasan berekspresi menuangkan ide dan gagasan. Oleh sebab itu, salah kiranya jika kita sendiri yang membatasi diri. Ingin menulis cerita pendek, pantun, opini, future, dan sebagainya.
Sebagai seorang guru mestinya kita sadar bahwa manusia (kita) itu memiliki jiwa untuk berekspresi dalam menuangkan ide dan gagasannya. Jika kita ingin menulis, mulai saja menulis. Jangan berfikir hasil tulisannya ini nanti berbentuk apa. Biarlah orang lain yang membaca tulisan kita yang akan memberikan penilaian tentang ragam dan bentuknya.

6.     Tidak tahu teknik menulis yang baik dan benar
Yang dimaksud teknis menulis adalah kiat-kiat menulis dengan baik dan benar, sehingga hasil tulisan dinilai berkualitas. Sebenarnya banyak sekali buku-buku di pasaran yang memberikan ajaran dan petunjuk teknis menulis yang baik dan benar ini. Tetapi sejauh mana peran teori teknis ini bisa diterapkan dan memberikan penunjang kualitas sebuah tulisan ?
Memang, jika guru beralasan enggan menulis dikarenakan tidak tahu teknis menulis yang baik dan benar, sebaiknya banyak membaca buku-buku yang memberikan petunjuk cara menulis yang baik dan benar. Kunjungi perpustakaan atau toko-toko buku.

7.     Tidak tahu bagaimana cara mengirim tulisan
Tujuan utama menulis adalah agar tulisannya dibaca oleh orang lain. Jika menginginkan yang membaca tulisan itu banyak orang, kirimkan ke surat kabar agar dimuat. Sayangnya, tidak semua orang tahu bagaimana cara mengirimkan tulisannya. Pada hal ini mudah. Tulis sebuah surat yang ditujukan kepada redaksi yang diinginkan. Isi surat, memohon agar tulisan dimuat. Jika karena kurang memenuhi syarat untuk dimuat, mintalah dikembalikan, asal disertai perangko secukupnya. Jika mungkin, kirimkan melalui e-mail atau faxcimili. Di setiap surat kabar pasti ada.
Sebagai seorang guru hendaknnya jangan gagap teknologi. Dengan kemampuan dan ketarampilan yang kita miliki, mari kita gunakan untuk mengembangkan diri dengan menuangkan ide dan gagasan kita dalam bentuk tulisan.

8.     Tidak  memiliki daya juang dan daya saing yang tinggi
Banyak orang yang sudah menulis dan bahkan sudah mencoba mengirimkan tulisannya ke surat kabar untuk dimuat. Akan tetapi baru mengirimkan beberapa tulisannya dan belum menampakkan hasil, sudah patah arang di tengah jalan. Mereka tidak mau merefleksi dan mengevaluasi diri, mengapa sampai beberapa waktu lamanya tidak kunjung dimuat ? Kurang menarik atau berbobotkah tulisannya ? Pada hal jika dibandingkan dengan tulisan-tulisan lain yang sudah dimuat, tulisannya memiliki nilai lebih.
Sebagai seorang (guru) penulis, terlebih tergolong penulis pemula, hendaknya memiliki daya juang dan daya saing yang tinggi. Sebuah tulisan agar layak muat di suatu surat kabar butuh proses , penilaian, dan pertimbangan berbagai aspek. Untuk itu, jangan mudah putus asa (“mutung”) jika tulisannya kalah bersaing. Justru ini dijadikan sebagai pemacu untuk lebih meningkatkan kualitas tulisan kita.

9.     Merasa bangga dan puas akan tulisannya
Beberapa orang merasa bangga dan puas setelah mendapatkan suatu penghargaan dari karya tulisannya. Mereka enggan menggembangkan dan mencoba menulis hal yang lain. Mereka merasa “tersanjung” akan karyanya. Orang yang demikian ini bisa dikatakan berkarya kurang dijiwai oleh rasa seni. Mereka berkarya hanya karena tuntutan belaka.
Sebagai seorang guru, mestinya menjadi guru yang kreatif dan inovatif. Jika telah berhasil membuahkan karya seni (tulisan), hendaknya tidak berhenti dan merasa puas. Tetapi justru dijadikan pemacu semangat bahwa kita bisa . Bahkan lebih bisa jika berusaha mengembangkannya.

10.  Tidak memiliki keterampilan menulis
Persepsi keterampilan tidak jauh berbeda dengan bakat. Salah satu kesamaannya, apabila tidak diasah dengan latihan, maka ketarampilan dan bakat akan tidak berkembang dan hilang. Menulis termasuk suatu keterampilan dan juga bakat. Semua orang yang bisa menulis tentu bisa membuat “karya seni dalam bentuk tulisan
Sebagai seorang guru, menulis adalah suatu kewajiban. Sedangkan tulisan adalah suatu yang selalu dipandang / dibaca. Jadi sebagai seorang guru harusnya menyadari bahwa dirinya memiliki keterampilan dan bakat untuk menulis. Maka tidak ada alasan guru tidak bisa menulis.

                                                                        Kiriman: A. Sardi

Selasa, 08 November 2016

Bab I: “MENDALANGKAN BARANG” (SEBUAH MODEL PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL BAHASA JAWA DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA TARAKANITA SOLO BARU KELAS VIII A, KECAMATAN GROGOL, KABUPATEN SUKOHARJO, PROPINSI JAWA TENGAH)



“MENDALANGKAN BARANG”
(SEBUAH MODEL PEMBELAJARAN MUATAN LOKAL BAHASA JAWA DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA TARAKANITA SOLO BARU KELAS VIII A, KECAMATAN GROGOL, KABUPATEN SUKOHARJO, PROPINSI JAWA TENGAH)

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi serta efisiensi manajemen pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program wajib belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa, dan olahraga agar memliki daya saing dalam menghadapi  tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia. Peningkatan efisiensi manajemen pendidikan dilakukan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi serta pembaharuan pengelolaan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan ( Standar Isi, Badan Standar Nasional Pendidikan 2006, h:1).
      Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di Propinsi Jawa tengah, mewajibkan Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa, dengan tujuan khususnya dalam upaya penanaman nilai-nilai budi pekerti dan penguasaan Bahasa Jawa. Hal ini ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 895.5/01/2005 tentang Pedoman dan Pelaksanaan Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Jawa Tahun 2004, untuk Jenjang Pendidikan SD/SDLB/MI, SMP/SMPLB/MTs dan SMA/SMALB/MA Negeri dan Swasta Propinsi Jawa Tengah  (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jateng)
“ ........Bahasa , sastra dan budaya Jawa rumit dan njlimet. Namun justru dari kerumitannya itu tersembul kehalusan. Apa yang tersurat dalam bahasa Jawa sering tidak mencerminkan sesuai maksud yang ingin disampaikan. Tetapi ada sesuatu  yang tersirat dan membutuhkan pemahaman-pemahaman tertentu, kata Gubernur Jawa tengah H. Mardiyanto” (Bahasa Jawa cenderung ditinggalkan generasi muda, Harian Wawasan Wawasan Semarang,  Senin, 12 Nop 2001)
     “......Dinamika kemajuan informasi dan teknologi dewasa ini, ternyata tidak hanya berakibat pada perubahan ekonomi semata, namun juga pola pikir, saat ini banyak masyarakat Jawa yang meninggalkan nilai-nilai kulturalnya itu, sejak dari sikap perilaku, produk seni maupun Bahasa Jawa sebagai bahasa ibunya, kata Dra. GRAY. Koes Moertiyah Wirabumi di Sanggar Pasinaon Pambiwara Karaton Surakarta Cab. Semarang. Sementara pengajar dari UNS Surakarta Dr. Maryono Dwiraharjo melengkapi, pengajaran bahasa Jawa atau budaya tidak akan berhasil, manakala pemerintah juga tidak menambah porsi kurikulum di sekolah ......” (Budaya Jawa kian terkena degradasi, Harian Wawasan Semarang,  Rabu, 17 April 2002)
      “Ing kasunyatan, kurikulum basa Jawi taksih tumpangsuh, dereng wonten watesan ingkang gumathuk antawisipun tataran TK, SD, SMP lan SMA , urai Dr. Teguh Supriyanto M.Hum, Pengajar Bahasa dan Sastra Jawa Unnes dalam suatu Sarasehan Yayasan Studi Bahasa Jawa (YSBJ) Kanthil di IKIP PGRI Semarang.  Selanjutnya disampaikan oleh satu-satunya doktor Ilmu Sastra di Jawa Tengah tersebut, “Pamanggih kula, lare dipunwastani saged basa Jawi menawi saged pacelathon basa Jawi kanthi tinembung krama ing sae, trep lan komunikatif” (Bahasa Jawa”jluntrunge makin tak jelas, Harian Wawasan Semarang, 22 April 2008)
Dinas Pendidikan (Disdik ) Klaten menilai,  penggunaan bahasa Jawa dalam dunia pendidikan kian luntur. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya jam pelajaran Bahasa Jawa yang dilaksnakan di jenjang pendidikan sekolah. Sangat disayangkan bahwa akhir-akhir ini banyak diselenggarakan workshop bahasa asing dibandingkan workshop Bahasa Jawa. Pada hal guru bahasa Jawa banyak yang kurang memahami seluk beluk Bahasa Jawa Bahasa Jawa di sekolah kian luntur (Harian Solopos, Solo, 10 Juli 2012)
Kenyataan di lapangan, sekali pun Pelajaran Bahasa Jawa merupakan mata pelajaran muatan lokal wajib di Jawa Tengah, tetapi pelaksanaan di lapangan kurang sesuai dengan yang diharapkan. Tidak sedikit Guru yang mengampu mata pelajaran Bahasa jawa memiliki latar belakang disiplin Pendidikan dan Sastra Jawa. Guru yang “senang” atau diwawas “sedikit mampu” berbahasa Jawa kemudian diserahi mengampu pelajaran Bahasa jawa.
Sebagai contoh nyata, Guru (Penulis) sendiri “ditunjuk”  menjadi Guru Mata Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa di Sekolah Menengah Pertama swasta, di mana sebagian siswanya adalah warga keturunan, dalam berkomunikasi kesehariannya menggunakan Bahasa Indonesia, bahkan ada yang menggunakan bahasa Inggris atau Mandarin . Banyak yang beranggapan bahwa pelajaran bahasa Jawa sangat sulit. Dianggap tidak banyak berpengaruh terhadap penentuan kenaikan kelas atau kelulusan. Guru (Penulis) juga tidak memiliki latar belakang disiplin ilmu Bahasa dan Sastra Jawa, sangat merasakan kesulitan dalam melakukan proses belajar mengajarnya.  
Setelah berusaha mencari, menemukan dan menerapkan suatu pendekatan pembelajaran yang Guru (Penulis) sebut dengan “mendalangkan barang”, akhirnya proses pembelajaran sedikit demi sedikit proses pembelajaran menjadi menarik dan menyenangkan. Walau jika diukur berdasarkan Standar Kekutantasan Minimal belum semua mencapainya (tuntas), tetapi prosentase hasil proses pembelajaran ada peningkatan yang signifikan.
Sejauh mana Mendalangkan Barang Sebagai Model Pendekatan Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa mampu meningkatkan motivasi dan prestasi siswa ?
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan butir-butir penyataan dalam latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1.   Apakah penerapan pendekatan pembelajaran “mendalangkan barang”
Dapat meningkatkan prestasi belajar Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa di kelas VIII A SMP Tarakanita Solo Baru, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah ?
2.   Apakah penerapan pendekatan pembelajaran “mendalangkan barang”   dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan  di kelas
VIII A SMP Tarakanita Solo Baru, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah ?
3. Apakah penerapan pendekatan pembelajaran “mendalangkan barang”   dapat menambah penguasaan kosa kata Bahasa Jawa dan perubahan tingkah laku yang positif bagi siswa di kelas VIII A SMP Tarakanita Solo Baru, Grogol, Sukoharjo,  Jawa Tengah ?

C. TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan butir-butir rumusan permasalahan di atas dapatlah dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut :
1.   Dengan  penerapan pendekatan pembelajaran “mendalangkan barang” dapat meningkatkan prestasi belajar Pelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa di kelas VIII A SMP Tarakanita Solo Baru, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah.
2.   Dengan penerapan pendekatan pembelajaran “mendalangkan barang”   dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan  di kelas VIII A SMP Tarakanita Solo Baru, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah.
3.   Dengan penerapan pendekatan pembelajaran “mendalangkan barang”  dapat menambah penguasaan kosa kata Bahasa Jawa dan mengubah tingkah laku yang positif bagi siswa di kelas VIII SMP Tarakanita Solo Baru, Grogol, Sukoharjo,  Jawa Tengah.
D. HIPOTESIS
Jika pendekatan “mendalangkan barang” dalam pembelajaran pelajaran muatan lokal Bahasa Jawa ini digarap dan dikembangkan dengan baik, maka kemungkinan besar akan dapat:
1. Meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan siswa kelas VIII A SMP Tarakanita Solo Baru, Grogol, Sukoharjo khususnya dan siswa Jenjang Pendidikan SD/SDLB/MI, SMP/SMPLB/MTs dan SMA/SMALB/MA Negeri dan Swasta Propinsi Jawa Tengah.
2. Proses pembelajaran akan “hidup” dan menyenangkan.
3. Hasil pembelajaran  baik kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik akan meningkat.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi Siswa:
a. Memberi motivasi dalam mengubah pandangan, sikap/perilaku siswa dalam kegiatan belajar mengajar pelajaran muatan lokal bahasa Jawa, yang tadinya sulit dan membosankan.
b. Memberikan kesempatan untuk berpikir logis, kritis dan kreatif melalui “mendalangkan barang”.
2. Bagi Guru:
a. Sarana untuk meningkatan kreativitas dan daya inovasi guru agar pembelajarannya bahasa Jawa menjadi menyenangkan dan berhasil.
b. Meningkatkan pamahaman guru terhadap kemampuan menambah pengetahuan, keterampilan berbahasa Bahasa Jawa terhadap siswanya.
3. Bagi Sekolah:
a. Terciptanya suasana pembelajaran yang dinamis, kondusif.
b. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses pembelajaran pelajaran muatan lokal Bahasa Jawa.