Sabtu, 12 Agustus 2017

PERJALANANKU MENJADI GURU



PERJALANKU MENJADI GURU

Tahun 1979, aku lulus SMP Swasta. Aku tak mempunyai minat sedikit pun untuk melanjutkan ke SPG. Keinginanku masuk SMA. Tetapi atas pilihan kakakku, aku didaftarkan di SPG Negeri  yang jaraknya kurang lebih 37 km dari rumahku . Aku terpaksa menjalani tes. Dan saat tes aku menyengaja agar tidak diterima dengan membiarkan rambutku panjang.
Tetapi Tuhan berkehendak lain. Aku diterima di SPG Negeri  tersebut. Saat itulah aku sadar, ini sebagai “Jalan Tuhan” yang sebrat apapun harus kujalani. Sadar akan menjadi guru, selama sekolah di SPG, aku berusaha mempersiapkan diri. Setiap hari Minggu aku kumpulkan anak-anak di sebuah rumah untuk “kupakai” latihan menjadi guru. Aku menjadi Guru Sekolah Minggu. Tidak hanya itu, setiap Jumat sore, aku ikut membina Pramuka di sebuah SD , tempatku belajar dulu.
Semua kujalani dengan senang hati, walau aku tidak mendapatkan gaji. Bahkan harus rela berkorban demi “anak didik” yang kujadikan sebagai media menerpa dan mempersiapkan diri.
Selama belajar di SPG Negeri, tidaklah seindah yang kubayangkan, walau aku berusaha menyenangi dengan mengikuti berbagai kegiatan yang ada.  Untuk sarana transportasi hanyalah sebuah sepeda bontot. Tantangan yang paling berat adalah, dari 42 orang siswa, aku sendiri yang berbeda agama. Tentu saja perlakuan guru dan teman-teman ada batasan-batasan khusus. Ini sungguh aku rasakan.  Pernah muncul niat untuk keluar lantaran sering diajak debat atau diejek masalah agama.
Alhasil, tahun 1982 aku berhasil lulus SPG Negeri, bahkan aku berhasil mendapatkan ranking . Pinginnya lulus bsia langsung kerja. Tetapi tidak seperti yang kuinginkan. Tiga bulan aku jadi “Jaka Klantung” alias penganggur. Namun aku tetap membimbing anak-anak Sekolah Minggu. 
Suatu saat, ketika aku membimbing anak-anak Sekolah Minggu, ada seseorang yang mengamatiku. Setelah mengetahui kemampuanku, orang itu menawari agar aku mau membantu menjadi guru di SD Kanisius Gowongan Yogyakarta. Serta merta aku menyanggupkan diri.
Tahun 1982 aku menjadi guru “pocokan” di SD Kanisius Gowongan. Mula-mula aku mengganti seorang ibu guru yang cuti hamil. Gaji yang aku terima setiap bulan adalah Rp 15.000. Aku sangat bersyukur mendapat gaji sebesar itu. 
Tahun 1983, dengan pendapatanku menjadi guru dan adanya kesempatan, aku ingin meningkatkan kemampuanku  dengan melanjutkan studi di D1 STKat Pradnyawidya Yogyakarta. Jadi pagi aku mengajar, sore harinya “kuliah”. Tak pernah tahu bagaimana keadaan siangnya rumah.
Tahun 1984, aku berhasil menyelesaikan D1 STKat. Saat itu aku mencoba mendaftarkan studi di  S1 FKIP IKIP Sanata Dharma Yogyakarta.  Aku pesimis karena sudah terlambat 2 tahun. Tetapi lagi-lagi aku bersyukur, aku diterima.
Aku merasa bangga. Akan tetapi aku juga merasa bingung soal biaya. Orang tua sudah “angkat tangan” soal biaya sejak aku sekolah di SPG.  Semester I kuliah di IKIP Sanata Dharma aku sungguh merasa berat. Lantaran aku tidak kuat membayar SPP Rp 10.000 sebulan. Tidak hanya itu saja. Dari 89 orang temanku, yang kuliah naik sepeda onthel, hanya aku sendiri. Jarak yang harus kutempuh  kurang lebih 23 km. Sementara jadwal kuliah tidak hanya pagi hari saja.
Akan tetapi Tuhan menunjukkan jalanku. Aku sudah punya modal ijazah D1 Tkat. Aku berhak menjadi Guru Agama Katolik. Aku mencoba menawarkan diri menjadi Guru Agama Katolik.  Jalan Tuhan sungguh indah. Aku pun  mampu membagi waktu dan tenagaku. Di sela-sela kegiatan kuliahku, aku mampu mendampingi siswa-siswi yang beragama Katolik di 4 SMP dan 1 SMA. Salah satu SMP tempatku mengajar adalah SMP almamaterku. Semua dapat kujalani tanpa mengganggu jadwal kuliahku. Semua tetap kujalani bersama sepeda onthelku. Aku bersyukur dengan menjadi Guru Agama, mampu mencukupi kebutuhanku sendiri. Bahkan walau hanya sedikit, aku mampu membantu adik-adikku.
Dengan segala keterbatasanku, aku ingin segera lulus Sarjana. Tahun 1989 aku berhasil, walau IPK-ku “sangat jelek”. Ada banyak mata kuliah dengan nilai D tidak kau ulang karena benturan biaya dan waktu.
Memiliki ijazah Sarjana inginnya nasib akan lebih baik. Tetapi karena keterbatasan, aku tidak langsung bisa mendapatkan pekerjaan yang mapan. Tahun 1989 aku mendapat tawaran menjadi guru honor di SMP Kanisius Temanggung. Mau tidak mau aku harus kost. Waktu itu uang yang harus kukeluarkan untuk kost Rp 40.000. Sementara gajiku Rp 49.000.
Untunglah pada tahun 1990 aku ditawari menjadi guru di SD Tarakanita Solo Baru yang waktu itu belum lama berdiri. Kembali aku bersyukur, gaji yang kuterima “lebih dari cukup”. Aku disuruh tinggal di “barak” dekat sekolahan dan gratis.
Kini aku sangat bersyukur karena aku sudah dikarunia berbagai kebutuhan hidupku (menurut ukuranku sendiri).  Dengan menjadi guru aku merasa menjadi “manusia”. Tidak hanya itu, aku juga dipakai Tuhan untuk “memanusiakan manusia lain”. Aku dipercaya mengurusi beberapa organisasi sosial kemasyarakatan. Mungkin kalau aku tidak menjadi guru, aku tidak memiliki “status” sosial yang bagiku membanggakan sekarang ini.
Rasa syukurku tidak hanya berhenti di sini. Aku akan tetap terus menekuni profesiku sebagai guru tanpa memikirkan akan apa yang kuperoleh  dari profesiku ini. Aku yakin Tuhan akan memberikan yang “lebih” dari apa yang kuharap dan mohon.
Sementara, aku merasa kecewa jika melihat ada teman yang baru saja lulus Sarjana lalu bekerja menjadi guru. Setelah menerima gaji yang dianggap tidak sesuai dengan standarnya, dia lalu mengundurkan diri atau keluar dari pekerjaannya.  Dia kurang memiliki kesadaran terhadap profesinya. Yang diajadikan ukuran adalah gaji (materi).  Dia beranggapan dengan modal ijazah sarjana gajinya harus “lebih”.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar