STOP KEKERASAN ANAK !
Perhatian dunia (PBB) terhadap kehidupan anak
melalui Organisasi Perlindungan Anak sudah dimulai sejak Oktober 1953, dengan
mengadakan event Hari Anak Sedunia. Yang selanjutnya Majelis Umum PBB pada
tanggal 14 Desember 1954 menetapkan tanggal 20 November sebagai Hari Anak
Sedunia. Setiap negara kemudian ikut memperingatinya dengan menentukan tanggal
peringatan yang berbeda-beda. Tujuan utamanya adalah menghargai dan menghormati
hak-hak yang harus diterima oleh seorang anak. Menyadari anak merupakan aset
penting bangsa, negara kita pun berdasarkan Kepres RI No. 44 Tahun 1984,
menetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional.
Yang mendasari ditetapkannya Hari Anak Nasional
adalah banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan yang terus meningkat. Sementara
anak merupakan aset penting untuk kemajuan bangsa. Oleh sebab itu,
kesejahteraan dan perlindungan hak-hak anak, baik secara hukum dan perundangan
(UU No. 4 Tahun 1979). Pemerintah juga
membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai isntitusi
independen yang mengawasi pelaksanaan upaya perlindungan anak dan melakukan
investigasi terhadap pelanggaran hak anak. KPAI bisa secara langsung memberikan
dan menyampaikan saran kepada presiden. Pemerintah juga melakukan penggantian
nama Kementrian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak. Hal ini bertujuan agar masalah anak dapat
ditangani secara intens dan lebih fokus.
Usaha pemerintah ini patut diapresiasi dan didukung
oleh seluruh warga negara. UUD 1945,
Pasal 34 ayat 2 mengamanatkan: Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh
negara. Pemerintah juga sudah menyusun Undang-Undang yang menyerukan dan
mengatur pentingnya perlindungan kesejahteraan dan hak-hak anak. Undang-Undang
Perlindungan Anak ini dari tahun ke tahun selalu diperbaharui sesuai dengan
perkembangan jaman.
Sekalipun Undang-Undang tentang Perlindungan Anak
selalu direvisi, perlu kiranya ada suatu persepsi yang sama tentang batasan usia
pengertian anak. UU No. 4 Tahun 1979:
batasan pengertian anak adalah laki-laki atau perempuan yang belum mencapai
usia 21 tahun. UU No. 25 Tahun 1997: batasan anak adalah orang laki-laki atau
perempuan yang berumur kurang dari 15 tahun. UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 23
Tahun 2002, UU RI No. 21 Tahun 2007, UU No. 44 Tahun 2008: belum berumur 18
tahun. Sedang menurut pasal 330 ayat (1) KUH Perdata: jika umurnya belum genap
21 tahun. Berbeda lagi dengan Pasal 45 KUHP: belum berumur 16 tahun. Persamaan
persepsi ini penting untuk menentukan sikap dan tindakan yang bijak demi
kesejahteraan dan hak-hak anak.
Kini pemerintah telah menetapkan UU No. 35 Tahun
2014, dalam implementasinya menekankan tentang pentingnya peran pemangku
kepentingan selain negara dalam mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak,
yaitu lebih mengedepankan peran dan tanggungjawab keluarga dan masyarakat. Untuk
melindungi anak-anak berhadapan dengan hukum, pemerintah menetapkan UU No. 11
Tahun 2012. Di dalamnya ditekankan prinsip “diversi” yaitu pengalihan
penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana anak ke proses di luar
pidana anak. Pendekatan yang digunakan adalah “restoratif justice”, yang
artinya penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku / korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada upaya pemulihan kembali
kondisi pada keadaan semula, dan bukan mengupayakan tindakan balas dendam. UU
No. 11 Tahun 2012 ini juga memperjelas peran dan tugas Pekerja Sosial yang
bergerak di bidang kesejahteraan dan hak anak.
Sekalipun dunia telah berusaha “memperhatikan”
kesejahteraan dan hak-hak anak, ternyata kekerasan dan pelecehan terhadap anak
semakin meningkat. Berdasarkan Hasil Survey Hasil Kekerasan Terhadap Anak
yang dilakukan UNICEF bekerja sama dengan Pusdatin, Kesos.(2013),disebutkan
bahwa dari 600.000 anak - 1,5 juta anak, telah dilakukan survey kepada anak
laki-laki dan perempuan. Hasilnya menunjukkan bahwa dari sekian anak tersebut sebagai
sample terdapat 1 anak dari 4 anak laki-laki mengalami kekerasan fisik oleh
orang dewasa, 1 anak dari 8 anak laki-laki mengalami kekerasan emosional dan 1
anak dari 12 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual. Sedangkan anak
perempuan disebutkan bahwa 1 (satu) anak dari 7 anak perempuan mengalami
kekerasan fisik, 1 dari 9 anak perempuan mengalami kekerasan emosional dan 1
dari 19 anak perempuan mengalami kekerasan seksual.
Jumlah anak
Indonesia usia di bawah 18 tahun mencapai 79.898.000 orang. Sedangkan menurut
data nasional Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) tahun 2012
menyebutkan bahwa Anak yang mengalami kasus keterlantaran (anak telantar) sebanyak
3.115.177 jiwa (6,76 persen), Balita terlantar 1.224.168 anak (susenas), Anak Berhadapan
Hukum/Anak Nakal 146.228 dan anak 16 jalanan sebanyak 134.903 anak (dinsosth.
2012) dan anak penyandang disabilitas sebanyak 532.130 anak (Pusdatin. 2013) Informasi
yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial (2008), selain
anak yang terlantar, terdapat anak yang berhadapan dengan hukum sebanyak
295.763 jiwa, anak dengan kecacatan sebanyak 189.075 jiwa, anak korban
kekerasan sebanyak 182.406 jiwa, anak yang bekerja sebanyak 5.201.1452 jiwa,
anak jalanan sebanyak 232.894 jiwa.
Sesuai data
dari KPAI jumlah anak yang berhadapan dengan hukum mengalami peningkatan selama
periode Januari-25 April 2016 ada 298 kasus. Meningkat 15 persen dibandingkan
dengan 2015 (merupakan peringkat paling tinggi untuk catur wulan pertama) Dengan
rincian: 24 kasus anak sebagai pelaku kekerasan fisik, anak pelaku dan korban kekerasan dan
pemerkosaan, pencabulan, dan sodomi mencapai sebesar 36 kasus.Wilayah tertinggi
tingkat anak berhadapan dengan hukum berada di Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Menurut
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am Sholeh,
ironisnya, banyak dari pelaku kekerasan terhadap anak ini justru adalah orang
tua dari anak itu sendiri. “Setiap tahun angka kekerasan terhadap anak mencapai
3.700, dan rata-rata terjadi 15 kasus setiap
harinya,” kata Asrorun di sela-sela peluncuran aplikasi pencegahan kekerasan
anak, Pandawa Care, di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin, 25 April
2016.
Beberapa faktor
memicu kekerasan terhadap anak Menurut Komnas Perlindungan Anak pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi
diantaranya:
a. Pewarisan Kekerasan Antar
Generasi (intergenerational transmission of violance).
Banyak anak belajar perilaku
kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan
tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi
(transmitted) dari generasi ke generasi
b. Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh
berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam
keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment),
penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran
keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi
baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan
kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan
tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam
kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas
menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara
keluarga miskin karena beberapa alasan.
c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua
yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara
sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu
organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan
teman atau kerabat.
d. Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu
memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan
pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan
tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu,
keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan
penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana
mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan
terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri
sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.
Upaya untuk
mengatasi masalah perlindungan terhadap kekerasan anak dapat dilakukan melalui 2
bentuk, yaitu:
1) Melalui reformasi hukum; hal tersebut pertama kali dengan cara
mentransformasi paradigma hukum yang menjadi spirit upaya reformasi hukum
tersebut. Spirit untuk melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma
pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-centred
approach) berbasis pendekatan hak.
2) Melalui keberpihakan orang tua,
guru sebagai pendidik, masyarakat dan pemerintah dalam memberikan dan
mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa
yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia
dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan
bangsa dan negara.
Bentuk
tindakan konkritnya adalah:
Pertama, Orang Tua.
Para orang tua seharusnya lebih memperhatikan kehidupan anaknya. Orang tua
dituntut kecakapannya dalam mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Jangan
membiarkan anak hidup dalam kekangan, mental maupun fisik. Sikap memarahi anak
habis-habisan, apalagi tindakan kekerasan (pemukulan dan penyiksaan fisik)
tidaklah arif, karena hal itu hanya akan menyebabkan anak merasa tidak
diperhatikan, tidak disayangi. Akhirnya anak merasa trauma, bahkan putus asa.
Penting disadari orang tua bahwa anak dilahirkan ke dunia ini dilekati dengan
berbagai hak yang layak didapatkannya. Seorang anak memiliki hak untuk
mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan perhatian. Anak pun
memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga maupun di
sekolah, juga nafkah (berupa pangan, sandang dan papan). Bagaimanapun
keadaannya, tidak wajib seorang anak menafkahi dirinya sendiri, sehingga ia
harus kehilangan banyak hak-haknya sebagai anak karena harus membanting tulang
untuk menghidupi diri (atau bahkan keluarganya). Dalam kasus child abuse,
siklus kekerasan dapat berkembang dalam keluarga. Individu yang mengalami
kekerasan dari orang tuanya dulu, memiliki kecenderungan signifikan untuk
melakukan hal yang sama pada anak mereka nanti. Tingkah laku agresi dipelajari
melalui pengamatan dan imitasi, yang secara perlahan terintegrasi dalam sistem
kepribadian orang tua. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk menyadari
sepenuhnya bahwa perilaku mereka merupakan model rujukan bagi anak-anaknya,
sehingga mereka mampu menghindari perilaku yang kurang baik.
Peran
keluarga terutama orang tua di sini sangatlah penting. Perlindungan dan kasih
sayang seharusnya semakin ditingkatkan. Perekonomian yang sulit jangan
menjadikan anak sebagai bahan eksploitasi untuk mencari uang. Masa anak masih
dalam tahap belajar dan bermain serta mengenal lingkungan. Hal tersebut adalah
bekal mereka untuk mengahadapi kehidupan yang selanjutnya ketika mereka
beranjak dewasa kelak. Pendidikan juga sangat wajib bagi anak, anak adalah
tunas bangsa yang harus lebih diperhatikan kembali. Orang tua juga wajib dalam
mengawasi lingkungan anak agar tidak menjadi korban kekerasan orang-orang yang
tidak bertanggung jawab.
Kedua, Guru.
Peran seorang guru dituntut untuk menyadari bahwa pendidikan di negara kita
bukan saja untuk membuat anak pandai dan pintar, tetapi harus juga dapat
melatih mental anak didiknya. Peran guru dalam memahami kondisi siswa sangat
diperlukan. Sikap arif, bijaksana, dan toleransi sangat diperlukan. Idealnya
seorang guru mengenal betul pribadi peserta didik, termasuk status sosial orang
tua murid sehingga ia dapat bertindak dan bersikap bijak.
Ketiga,
Masyarakat. Anak-anak kita ini selain bersentuhan dengan orang tua dan guru,
mereka pun tidak bisa lepas dari berbagai persinggungan dengan lingkungan
masyarakat di mana dia berada. Untuk itu diperlukan kesadaran dan kerjasama
dari berbagai elemen di masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan
positif bagi anak-anak. Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelola
stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruh media (terutama TV)
terhadap perilaku anak (sebagai salah satu penikmat acara TV) cukup besar.
Berbagai tayangan kriminal di berbagai stasiun TV, tanpa kita sadari telah
menampilkan potret-potret kekerasan yang tentu akan berpengaruh pada pembentuk
mental dan pribadi anak. Penyelenggara siaran TV bertanggungjawab untuk
mendesain acaranya dengan acara yang banyak mengandung unsur edukasi yang
positif.
Keempat,
Pemerintah. Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap
kemaslahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi
anak-anak kita sebagai generasi penerus. Pemerintah harus memberikan ketegasan
pada masyarakat mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, bila perlu memberikan sosialisasi bahwa ada Undang-Undang bertujuan dalam
perlindungan anak serta dijelaskan juga sanksi terhadap yang melanggar
Undang-Undang tersebut. Pemerintah juga harus memberikan fasilitas pelatihan
dan pembelajaran anak. Maka pemerintah harus siap menampung anak-anak yang
terlantar sesuai dengan bunyi UUD 1945 pasal 34 ayat 1, “Fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Selain itu
sangatlah perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan badan pemerintah seperti
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI merupakan lembaga independen
yang kedudukannya sejajar dengan komisi negara lainnya. KPAI dibentuk pada 21
Juni 2004 dengan Keppres No. 95/M Tahun 2004 berdasarkan amanat Keppres 77/2003
dan pasal 74 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002. Dalam keputusan Presiden
tersebut, dinyatakan bahwa KPAI bertujuan untuk meningkatkan efektifitas
penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI diharapkan mampu secara aktif
memperjuangkan kepentingan anak. KPAI bertugas melakukan sosialisasi mengenai
seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan
masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan kepentingan anak. Selain itu KPAI juga dituntut untuk
memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam
rangka perlindungan anak.
Sejak awal
didirikan, KPAI memperoleh dana untuk menjalankan segala tugas, fungsi, dan
program-programnya karena dana bersumber dari APBN (dari Kantor Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial) dan APBD. Sumber dana juga
mungkin berasal dari bantuan asing jika memang ada lembaga asing atau
organisasi internasional yang ingin bekerja sama dengan KPAI. Pada kenyataannya
selama ini KPAI kurang bisa berdaya guna. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih
mengenal Komnas Anak daripada KPAI sehingga perlu adanya upaya pemerintah dalam
memaksimalkan kinerja KPAI. Bila perlu KPAI bekerja sama dengan Komnas Anak
karena Komnas Anak jam terbangnya lebih tinggi dan lebih mengetahui seluk-beluk
kasus kekerasan pada anak di Indonesia. Sehingga kemungkinan besar kasus
kekerasan pada anak bisa lebih ditekan angka peningkatannya dari tahun ke tahun
karena ada dua badan yang langsung terjun di masyarakat.
Alternatif
solusi di atas diharapkan mampu efektif dalam menangani juga mengantisipasi
terjadinya kekerasan pada anak. Pengembangan potensi anak juga diharapkan harus
berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik
fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk
mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa
yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia
dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan
bangsa dan negara. Saatnya semua lapisan masyarakat peduli pada anak.
Drs. A. Sardi
-
Guru BK SMP Tarakanita Solo Baru.
-
Mantan Koordinator Tim Pendampingan
Anak Sekolah Mingu Gereja Kristus Raja Solo Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar