Jumat, 28 Juli 2017

STOP KEKERASAN ANAK !



STOP KEKERASAN ANAK !

Perhatian dunia (PBB) terhadap kehidupan anak melalui Organisasi Perlindungan Anak sudah dimulai sejak Oktober 1953, dengan mengadakan event Hari Anak Sedunia. Yang selanjutnya Majelis Umum PBB pada tanggal 14 Desember 1954 menetapkan tanggal 20 November sebagai Hari Anak Sedunia. Setiap negara kemudian ikut memperingatinya dengan menentukan tanggal peringatan yang berbeda-beda. Tujuan utamanya adalah menghargai dan menghormati hak-hak yang harus diterima oleh seorang anak. Menyadari anak merupakan aset penting bangsa, negara kita pun berdasarkan Kepres RI No. 44 Tahun 1984, menetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional.
Yang mendasari ditetapkannya Hari Anak Nasional adalah banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan yang terus meningkat. Sementara anak merupakan aset penting untuk kemajuan bangsa. Oleh sebab itu, kesejahteraan dan perlindungan hak-hak anak, baik secara hukum dan perundangan (UU No. 4 Tahun 1979).  Pemerintah juga membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai isntitusi independen yang mengawasi pelaksanaan upaya perlindungan anak dan melakukan investigasi terhadap pelanggaran hak anak. KPAI bisa secara langsung memberikan dan menyampaikan saran kepada presiden. Pemerintah juga melakukan penggantian nama Kementrian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Hal ini bertujuan agar masalah anak dapat ditangani secara intens dan lebih fokus.
Usaha pemerintah ini patut diapresiasi dan didukung oleh seluruh warga negara. UUD  1945, Pasal 34 ayat 2 mengamanatkan: Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Pemerintah juga sudah menyusun Undang-Undang yang menyerukan dan mengatur pentingnya perlindungan kesejahteraan dan hak-hak anak. Undang-Undang Perlindungan Anak ini dari tahun ke tahun selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan jaman.
Sekalipun Undang-Undang tentang Perlindungan Anak selalu direvisi, perlu kiranya ada suatu persepsi yang sama tentang batasan usia pengertian  anak. UU No. 4 Tahun 1979: batasan pengertian anak adalah laki-laki atau perempuan yang belum mencapai usia 21 tahun. UU No. 25 Tahun 1997: batasan anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 tahun. UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 23 Tahun 2002, UU RI No. 21 Tahun 2007, UU No. 44 Tahun 2008: belum berumur 18 tahun. Sedang menurut pasal 330 ayat (1) KUH Perdata: jika umurnya belum genap 21 tahun. Berbeda lagi dengan Pasal 45 KUHP: belum berumur 16 tahun. Persamaan persepsi ini penting untuk menentukan sikap dan tindakan yang bijak demi kesejahteraan dan hak-hak anak.
Kini pemerintah telah menetapkan UU No. 35 Tahun 2014, dalam implementasinya menekankan tentang pentingnya peran pemangku kepentingan selain negara dalam mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak, yaitu lebih mengedepankan peran dan tanggungjawab keluarga dan masyarakat. Untuk melindungi anak-anak berhadapan dengan hukum, pemerintah menetapkan UU No. 11 Tahun 2012. Di dalamnya ditekankan prinsip “diversi” yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana anak ke proses di luar pidana anak. Pendekatan yang digunakan adalah “restoratif justice”, yang artinya penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku / korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada upaya pemulihan kembali kondisi pada keadaan semula, dan bukan mengupayakan tindakan balas dendam. UU No. 11 Tahun 2012 ini juga memperjelas peran dan tugas Pekerja Sosial yang bergerak di bidang kesejahteraan dan hak anak.
Sekalipun dunia telah berusaha “memperhatikan” kesejahteraan dan hak-hak anak, ternyata kekerasan dan pelecehan terhadap anak semakin meningkat. Berdasarkan Hasil Survey Hasil Kekerasan Terhadap Anak yang dilakukan UNICEF bekerja sama dengan Pusdatin, Kesos.(2013),disebutkan bahwa dari 600.000 anak - 1,5 juta anak, telah dilakukan survey kepada anak laki-laki dan perempuan. Hasilnya menunjukkan bahwa dari sekian anak tersebut sebagai sample terdapat 1 anak dari 4 anak laki-laki mengalami kekerasan fisik oleh orang dewasa, 1 anak dari 8 anak laki-laki mengalami kekerasan emosional dan 1 anak dari 12 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual. Sedangkan anak perempuan disebutkan bahwa 1 (satu) anak dari 7 anak perempuan mengalami kekerasan fisik, 1 dari 9 anak perempuan mengalami kekerasan emosional dan 1 dari 19 anak perempuan mengalami kekerasan seksual.
Jumlah anak Indonesia usia di bawah 18 tahun mencapai 79.898.000 orang. Sedangkan menurut data nasional Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) tahun 2012 menyebutkan bahwa Anak yang mengalami kasus keterlantaran (anak telantar) sebanyak 3.115.177 jiwa (6,76 persen), Balita terlantar 1.224.168 anak (susenas), Anak Berhadapan Hukum/Anak Nakal 146.228 dan anak 16 jalanan sebanyak 134.903 anak (dinsosth. 2012) dan anak penyandang disabilitas sebanyak 532.130 anak (Pusdatin. 2013) Informasi yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial (2008), selain anak yang terlantar, terdapat anak yang berhadapan dengan hukum sebanyak 295.763 jiwa, anak dengan kecacatan sebanyak 189.075 jiwa, anak korban kekerasan sebanyak 182.406 jiwa, anak yang bekerja sebanyak 5.201.1452 jiwa, anak jalanan sebanyak 232.894 jiwa.
Sesuai data dari KPAI jumlah anak yang berhadapan dengan hukum mengalami peningkatan selama periode Januari-25 April 2016 ada 298 kasus. Meningkat 15 persen dibandingkan dengan 2015 (merupakan peringkat paling tinggi untuk catur wulan pertama) Dengan rincian: 24 kasus anak sebagai pelaku kekerasan fisik,  anak pelaku dan korban kekerasan dan pemerkosaan, pencabulan, dan sodomi mencapai sebesar 36 kasus.Wilayah tertinggi tingkat anak berhadapan dengan hukum berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am Sholeh, ironisnya, banyak dari pelaku kekerasan terhadap anak ini justru adalah orang tua dari anak itu sendiri. “Setiap tahun angka kekerasan terhadap anak mencapai 3.700, dan rata-rata terjadi 15 kasus setiap harinya,” kata Asrorun di sela-sela peluncuran aplikasi pencegahan kekerasan anak, Pandawa Care, di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin, 25 April 2016.
Beberapa  faktor  memicu kekerasan terhadap anak Menurut Komnas Perlindungan Anak  pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya:
a.  Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violance).
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi
b. Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.
c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.
d. Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.
Upaya untuk mengatasi masalah perlindungan terhadap kekerasan anak dapat dilakukan melalui 2 bentuk, yaitu:
1) Melalui reformasi hukum; hal tersebut pertama kali dengan cara mentransformasi paradigma hukum yang menjadi spirit upaya reformasi hukum tersebut. Spirit untuk melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-centred approach) berbasis pendekatan hak.
2)  Melalui keberpihakan orang tua, guru sebagai pendidik, masyarakat dan pemerintah dalam memberikan dan mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Bentuk tindakan konkritnya adalah:
Pertama, Orang Tua. Para orang tua seharusnya lebih memperhatikan kehidupan anaknya. Orang tua dituntut kecakapannya dalam mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Jangan membiarkan anak hidup dalam kekangan, mental maupun fisik. Sikap memarahi anak habis-habisan, apalagi tindakan kekerasan (pemukulan dan penyiksaan fisik) tidaklah arif, karena hal itu hanya akan menyebabkan anak merasa tidak diperhatikan, tidak disayangi. Akhirnya anak merasa trauma, bahkan putus asa. Penting disadari orang tua bahwa anak dilahirkan ke dunia ini dilekati dengan berbagai hak yang layak didapatkannya. Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan perhatian. Anak pun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga maupun di sekolah, juga nafkah (berupa pangan, sandang dan papan). Bagaimanapun keadaannya, tidak wajib seorang anak menafkahi dirinya sendiri, sehingga ia harus kehilangan banyak hak-haknya sebagai anak karena harus membanting tulang untuk menghidupi diri (atau bahkan keluarganya). Dalam kasus child abuse, siklus kekerasan dapat berkembang dalam keluarga. Individu yang mengalami kekerasan dari orang tuanya dulu, memiliki kecenderungan signifikan untuk melakukan hal yang sama pada anak mereka nanti. Tingkah laku agresi dipelajari melalui pengamatan dan imitasi, yang secara perlahan terintegrasi dalam sistem kepribadian orang tua. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk menyadari sepenuhnya bahwa perilaku mereka merupakan model rujukan bagi anak-anaknya, sehingga mereka mampu menghindari perilaku yang kurang baik.
Peran keluarga terutama orang tua di sini sangatlah penting. Perlindungan dan kasih sayang seharusnya semakin ditingkatkan. Perekonomian yang sulit jangan menjadikan anak sebagai bahan eksploitasi untuk mencari uang. Masa anak masih dalam tahap belajar dan bermain serta mengenal lingkungan. Hal tersebut adalah bekal mereka untuk mengahadapi kehidupan yang selanjutnya ketika mereka beranjak dewasa kelak. Pendidikan juga sangat wajib bagi anak, anak adalah tunas bangsa yang harus lebih diperhatikan kembali. Orang tua juga wajib dalam mengawasi lingkungan anak agar tidak menjadi korban kekerasan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Kedua, Guru. Peran seorang guru dituntut untuk menyadari bahwa pendidikan di negara kita bukan saja untuk membuat anak pandai dan pintar, tetapi harus juga dapat melatih mental anak didiknya. Peran guru dalam memahami kondisi siswa sangat diperlukan. Sikap arif, bijaksana, dan toleransi sangat diperlukan. Idealnya seorang guru mengenal betul pribadi peserta didik, termasuk status sosial orang tua murid sehingga ia dapat bertindak dan bersikap bijak.
Ketiga, Masyarakat. Anak-anak kita ini selain bersentuhan dengan orang tua dan guru, mereka pun tidak bisa lepas dari berbagai persinggungan dengan lingkungan masyarakat di mana dia berada. Untuk itu diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemen di masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan positif bagi anak-anak. Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelola stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruh media (terutama TV) terhadap perilaku anak (sebagai salah satu penikmat acara TV) cukup besar. Berbagai tayangan kriminal di berbagai stasiun TV, tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret kekerasan yang tentu akan berpengaruh pada pembentuk mental dan pribadi anak. Penyelenggara siaran TV bertanggungjawab untuk mendesain acaranya dengan acara yang banyak mengandung unsur edukasi yang positif.
Keempat, Pemerintah. Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemaslahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus. Pemerintah harus memberikan ketegasan pada masyarakat mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bila perlu memberikan sosialisasi bahwa ada Undang-Undang bertujuan dalam perlindungan anak serta dijelaskan juga sanksi terhadap yang melanggar Undang-Undang tersebut. Pemerintah juga harus memberikan fasilitas pelatihan dan pembelajaran anak. Maka pemerintah harus siap menampung anak-anak yang terlantar sesuai dengan bunyi UUD 1945 pasal 34 ayat 1, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Selain itu sangatlah perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan badan pemerintah seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI merupakan lembaga independen yang kedudukannya sejajar dengan komisi negara lainnya. KPAI dibentuk pada 21 Juni 2004 dengan Keppres No. 95/M Tahun 2004 berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002. Dalam keputusan Presiden tersebut, dinyatakan bahwa KPAI bertujuan untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI diharapkan mampu secara aktif memperjuangkan kepentingan anak. KPAI bertugas melakukan sosialisasi mengenai seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan anak. Selain itu KPAI juga dituntut untuk memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.
Sejak awal didirikan, KPAI memperoleh dana untuk menjalankan segala tugas, fungsi, dan program-programnya karena dana bersumber dari APBN (dari Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial) dan APBD. Sumber dana juga mungkin berasal dari bantuan asing jika memang ada lembaga asing atau organisasi internasional yang ingin bekerja sama dengan KPAI. Pada kenyataannya selama ini KPAI kurang bisa berdaya guna. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih mengenal Komnas Anak daripada KPAI sehingga perlu adanya upaya pemerintah dalam memaksimalkan kinerja KPAI. Bila perlu KPAI bekerja sama dengan Komnas Anak karena Komnas Anak jam terbangnya lebih tinggi dan lebih mengetahui seluk-beluk kasus kekerasan pada anak di Indonesia. Sehingga kemungkinan besar kasus kekerasan pada anak bisa lebih ditekan angka peningkatannya dari tahun ke tahun karena ada dua badan yang langsung terjun di masyarakat.
Alternatif solusi di atas diharapkan mampu efektif dalam menangani juga mengantisipasi terjadinya kekerasan pada anak. Pengembangan potensi anak juga diharapkan harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Saatnya semua lapisan masyarakat peduli pada anak.
Drs. A. Sardi
-       Guru BK SMP Tarakanita Solo Baru.
-       Mantan Koordinator Tim Pendampingan Anak Sekolah Mingu Gereja Kristus Raja Solo Baru.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar