Sabtu, 12 Agustus 2017

PERJALANANKU MENJADI GURU



PERJALANKU MENJADI GURU

Tahun 1979, aku lulus SMP Swasta. Aku tak mempunyai minat sedikit pun untuk melanjutkan ke SPG. Keinginanku masuk SMA. Tetapi atas pilihan kakakku, aku didaftarkan di SPG Negeri  yang jaraknya kurang lebih 37 km dari rumahku . Aku terpaksa menjalani tes. Dan saat tes aku menyengaja agar tidak diterima dengan membiarkan rambutku panjang.
Tetapi Tuhan berkehendak lain. Aku diterima di SPG Negeri  tersebut. Saat itulah aku sadar, ini sebagai “Jalan Tuhan” yang sebrat apapun harus kujalani. Sadar akan menjadi guru, selama sekolah di SPG, aku berusaha mempersiapkan diri. Setiap hari Minggu aku kumpulkan anak-anak di sebuah rumah untuk “kupakai” latihan menjadi guru. Aku menjadi Guru Sekolah Minggu. Tidak hanya itu, setiap Jumat sore, aku ikut membina Pramuka di sebuah SD , tempatku belajar dulu.
Semua kujalani dengan senang hati, walau aku tidak mendapatkan gaji. Bahkan harus rela berkorban demi “anak didik” yang kujadikan sebagai media menerpa dan mempersiapkan diri.
Selama belajar di SPG Negeri, tidaklah seindah yang kubayangkan, walau aku berusaha menyenangi dengan mengikuti berbagai kegiatan yang ada.  Untuk sarana transportasi hanyalah sebuah sepeda bontot. Tantangan yang paling berat adalah, dari 42 orang siswa, aku sendiri yang berbeda agama. Tentu saja perlakuan guru dan teman-teman ada batasan-batasan khusus. Ini sungguh aku rasakan.  Pernah muncul niat untuk keluar lantaran sering diajak debat atau diejek masalah agama.
Alhasil, tahun 1982 aku berhasil lulus SPG Negeri, bahkan aku berhasil mendapatkan ranking . Pinginnya lulus bsia langsung kerja. Tetapi tidak seperti yang kuinginkan. Tiga bulan aku jadi “Jaka Klantung” alias penganggur. Namun aku tetap membimbing anak-anak Sekolah Minggu. 
Suatu saat, ketika aku membimbing anak-anak Sekolah Minggu, ada seseorang yang mengamatiku. Setelah mengetahui kemampuanku, orang itu menawari agar aku mau membantu menjadi guru di SD Kanisius Gowongan Yogyakarta. Serta merta aku menyanggupkan diri.
Tahun 1982 aku menjadi guru “pocokan” di SD Kanisius Gowongan. Mula-mula aku mengganti seorang ibu guru yang cuti hamil. Gaji yang aku terima setiap bulan adalah Rp 15.000. Aku sangat bersyukur mendapat gaji sebesar itu. 
Tahun 1983, dengan pendapatanku menjadi guru dan adanya kesempatan, aku ingin meningkatkan kemampuanku  dengan melanjutkan studi di D1 STKat Pradnyawidya Yogyakarta. Jadi pagi aku mengajar, sore harinya “kuliah”. Tak pernah tahu bagaimana keadaan siangnya rumah.
Tahun 1984, aku berhasil menyelesaikan D1 STKat. Saat itu aku mencoba mendaftarkan studi di  S1 FKIP IKIP Sanata Dharma Yogyakarta.  Aku pesimis karena sudah terlambat 2 tahun. Tetapi lagi-lagi aku bersyukur, aku diterima.
Aku merasa bangga. Akan tetapi aku juga merasa bingung soal biaya. Orang tua sudah “angkat tangan” soal biaya sejak aku sekolah di SPG.  Semester I kuliah di IKIP Sanata Dharma aku sungguh merasa berat. Lantaran aku tidak kuat membayar SPP Rp 10.000 sebulan. Tidak hanya itu saja. Dari 89 orang temanku, yang kuliah naik sepeda onthel, hanya aku sendiri. Jarak yang harus kutempuh  kurang lebih 23 km. Sementara jadwal kuliah tidak hanya pagi hari saja.
Akan tetapi Tuhan menunjukkan jalanku. Aku sudah punya modal ijazah D1 Tkat. Aku berhak menjadi Guru Agama Katolik. Aku mencoba menawarkan diri menjadi Guru Agama Katolik.  Jalan Tuhan sungguh indah. Aku pun  mampu membagi waktu dan tenagaku. Di sela-sela kegiatan kuliahku, aku mampu mendampingi siswa-siswi yang beragama Katolik di 4 SMP dan 1 SMA. Salah satu SMP tempatku mengajar adalah SMP almamaterku. Semua dapat kujalani tanpa mengganggu jadwal kuliahku. Semua tetap kujalani bersama sepeda onthelku. Aku bersyukur dengan menjadi Guru Agama, mampu mencukupi kebutuhanku sendiri. Bahkan walau hanya sedikit, aku mampu membantu adik-adikku.
Dengan segala keterbatasanku, aku ingin segera lulus Sarjana. Tahun 1989 aku berhasil, walau IPK-ku “sangat jelek”. Ada banyak mata kuliah dengan nilai D tidak kau ulang karena benturan biaya dan waktu.
Memiliki ijazah Sarjana inginnya nasib akan lebih baik. Tetapi karena keterbatasan, aku tidak langsung bisa mendapatkan pekerjaan yang mapan. Tahun 1989 aku mendapat tawaran menjadi guru honor di SMP Kanisius Temanggung. Mau tidak mau aku harus kost. Waktu itu uang yang harus kukeluarkan untuk kost Rp 40.000. Sementara gajiku Rp 49.000.
Untunglah pada tahun 1990 aku ditawari menjadi guru di SD Tarakanita Solo Baru yang waktu itu belum lama berdiri. Kembali aku bersyukur, gaji yang kuterima “lebih dari cukup”. Aku disuruh tinggal di “barak” dekat sekolahan dan gratis.
Kini aku sangat bersyukur karena aku sudah dikarunia berbagai kebutuhan hidupku (menurut ukuranku sendiri).  Dengan menjadi guru aku merasa menjadi “manusia”. Tidak hanya itu, aku juga dipakai Tuhan untuk “memanusiakan manusia lain”. Aku dipercaya mengurusi beberapa organisasi sosial kemasyarakatan. Mungkin kalau aku tidak menjadi guru, aku tidak memiliki “status” sosial yang bagiku membanggakan sekarang ini.
Rasa syukurku tidak hanya berhenti di sini. Aku akan tetap terus menekuni profesiku sebagai guru tanpa memikirkan akan apa yang kuperoleh  dari profesiku ini. Aku yakin Tuhan akan memberikan yang “lebih” dari apa yang kuharap dan mohon.
Sementara, aku merasa kecewa jika melihat ada teman yang baru saja lulus Sarjana lalu bekerja menjadi guru. Setelah menerima gaji yang dianggap tidak sesuai dengan standarnya, dia lalu mengundurkan diri atau keluar dari pekerjaannya.  Dia kurang memiliki kesadaran terhadap profesinya. Yang diajadikan ukuran adalah gaji (materi).  Dia beranggapan dengan modal ijazah sarjana gajinya harus “lebih”.   

Jumat, 28 Juli 2017

STOP KEKERASAN ANAK !



STOP KEKERASAN ANAK !

Perhatian dunia (PBB) terhadap kehidupan anak melalui Organisasi Perlindungan Anak sudah dimulai sejak Oktober 1953, dengan mengadakan event Hari Anak Sedunia. Yang selanjutnya Majelis Umum PBB pada tanggal 14 Desember 1954 menetapkan tanggal 20 November sebagai Hari Anak Sedunia. Setiap negara kemudian ikut memperingatinya dengan menentukan tanggal peringatan yang berbeda-beda. Tujuan utamanya adalah menghargai dan menghormati hak-hak yang harus diterima oleh seorang anak. Menyadari anak merupakan aset penting bangsa, negara kita pun berdasarkan Kepres RI No. 44 Tahun 1984, menetapkan tanggal 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional.
Yang mendasari ditetapkannya Hari Anak Nasional adalah banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan yang terus meningkat. Sementara anak merupakan aset penting untuk kemajuan bangsa. Oleh sebab itu, kesejahteraan dan perlindungan hak-hak anak, baik secara hukum dan perundangan (UU No. 4 Tahun 1979).  Pemerintah juga membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai isntitusi independen yang mengawasi pelaksanaan upaya perlindungan anak dan melakukan investigasi terhadap pelanggaran hak anak. KPAI bisa secara langsung memberikan dan menyampaikan saran kepada presiden. Pemerintah juga melakukan penggantian nama Kementrian Pemberdayaan Perempuan menjadi Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Hal ini bertujuan agar masalah anak dapat ditangani secara intens dan lebih fokus.
Usaha pemerintah ini patut diapresiasi dan didukung oleh seluruh warga negara. UUD  1945, Pasal 34 ayat 2 mengamanatkan: Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Pemerintah juga sudah menyusun Undang-Undang yang menyerukan dan mengatur pentingnya perlindungan kesejahteraan dan hak-hak anak. Undang-Undang Perlindungan Anak ini dari tahun ke tahun selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan jaman.
Sekalipun Undang-Undang tentang Perlindungan Anak selalu direvisi, perlu kiranya ada suatu persepsi yang sama tentang batasan usia pengertian  anak. UU No. 4 Tahun 1979: batasan pengertian anak adalah laki-laki atau perempuan yang belum mencapai usia 21 tahun. UU No. 25 Tahun 1997: batasan anak adalah orang laki-laki atau perempuan yang berumur kurang dari 15 tahun. UU No. 39 Tahun 1999, UU No. 23 Tahun 2002, UU RI No. 21 Tahun 2007, UU No. 44 Tahun 2008: belum berumur 18 tahun. Sedang menurut pasal 330 ayat (1) KUH Perdata: jika umurnya belum genap 21 tahun. Berbeda lagi dengan Pasal 45 KUHP: belum berumur 16 tahun. Persamaan persepsi ini penting untuk menentukan sikap dan tindakan yang bijak demi kesejahteraan dan hak-hak anak.
Kini pemerintah telah menetapkan UU No. 35 Tahun 2014, dalam implementasinya menekankan tentang pentingnya peran pemangku kepentingan selain negara dalam mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak, yaitu lebih mengedepankan peran dan tanggungjawab keluarga dan masyarakat. Untuk melindungi anak-anak berhadapan dengan hukum, pemerintah menetapkan UU No. 11 Tahun 2012. Di dalamnya ditekankan prinsip “diversi” yaitu pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana anak ke proses di luar pidana anak. Pendekatan yang digunakan adalah “restoratif justice”, yang artinya penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku / korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada upaya pemulihan kembali kondisi pada keadaan semula, dan bukan mengupayakan tindakan balas dendam. UU No. 11 Tahun 2012 ini juga memperjelas peran dan tugas Pekerja Sosial yang bergerak di bidang kesejahteraan dan hak anak.
Sekalipun dunia telah berusaha “memperhatikan” kesejahteraan dan hak-hak anak, ternyata kekerasan dan pelecehan terhadap anak semakin meningkat. Berdasarkan Hasil Survey Hasil Kekerasan Terhadap Anak yang dilakukan UNICEF bekerja sama dengan Pusdatin, Kesos.(2013),disebutkan bahwa dari 600.000 anak - 1,5 juta anak, telah dilakukan survey kepada anak laki-laki dan perempuan. Hasilnya menunjukkan bahwa dari sekian anak tersebut sebagai sample terdapat 1 anak dari 4 anak laki-laki mengalami kekerasan fisik oleh orang dewasa, 1 anak dari 8 anak laki-laki mengalami kekerasan emosional dan 1 anak dari 12 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual. Sedangkan anak perempuan disebutkan bahwa 1 (satu) anak dari 7 anak perempuan mengalami kekerasan fisik, 1 dari 9 anak perempuan mengalami kekerasan emosional dan 1 dari 19 anak perempuan mengalami kekerasan seksual.
Jumlah anak Indonesia usia di bawah 18 tahun mencapai 79.898.000 orang. Sedangkan menurut data nasional Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) tahun 2012 menyebutkan bahwa Anak yang mengalami kasus keterlantaran (anak telantar) sebanyak 3.115.177 jiwa (6,76 persen), Balita terlantar 1.224.168 anak (susenas), Anak Berhadapan Hukum/Anak Nakal 146.228 dan anak 16 jalanan sebanyak 134.903 anak (dinsosth. 2012) dan anak penyandang disabilitas sebanyak 532.130 anak (Pusdatin. 2013) Informasi yang diperoleh dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial (2008), selain anak yang terlantar, terdapat anak yang berhadapan dengan hukum sebanyak 295.763 jiwa, anak dengan kecacatan sebanyak 189.075 jiwa, anak korban kekerasan sebanyak 182.406 jiwa, anak yang bekerja sebanyak 5.201.1452 jiwa, anak jalanan sebanyak 232.894 jiwa.
Sesuai data dari KPAI jumlah anak yang berhadapan dengan hukum mengalami peningkatan selama periode Januari-25 April 2016 ada 298 kasus. Meningkat 15 persen dibandingkan dengan 2015 (merupakan peringkat paling tinggi untuk catur wulan pertama) Dengan rincian: 24 kasus anak sebagai pelaku kekerasan fisik,  anak pelaku dan korban kekerasan dan pemerkosaan, pencabulan, dan sodomi mencapai sebesar 36 kasus.Wilayah tertinggi tingkat anak berhadapan dengan hukum berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni'am Sholeh, ironisnya, banyak dari pelaku kekerasan terhadap anak ini justru adalah orang tua dari anak itu sendiri. “Setiap tahun angka kekerasan terhadap anak mencapai 3.700, dan rata-rata terjadi 15 kasus setiap harinya,” kata Asrorun di sela-sela peluncuran aplikasi pencegahan kekerasan anak, Pandawa Care, di Kantor KPAI, Menteng, Jakarta Pusat pada Senin, 25 April 2016.
Beberapa  faktor  memicu kekerasan terhadap anak Menurut Komnas Perlindungan Anak  pemicu kekerasan terhadap anak yang terjadi diantaranya:
a.  Pewarisan Kekerasan Antar Generasi (intergenerational transmission of violance).
Banyak anak belajar perilaku kekerasan dari orangtuanya dan ketika tumbuh menjadi dewasa mereka melakukan tindakan kekerasan kepada anaknya. Dengan demikian, perilaku kekerasan diwarisi (transmitted) dari generasi ke generasi
b. Stres Sosial (social stress)
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko kekerasan terhadap anak dalam keluarga. Kondisi-kondisi sosial ini mencakup: pengangguran (unemployment), penyakit (illness), kondisi perumahan buruk (poor housing conditions), ukuran keluarga besar dari rata-rata (a larger than average family size), kelahiran bayi baru (the presence of a new baby), orang cacat (disabled person) di rumah, dan kematian (the death) seorang anggota keluarga. Sebagian besar kasus dilaporkan tentang tindakan kekerasan terhadap anak berasal dari keluarga yang hidup dalam kemiskinan. Tindakan kekerasan terhadap anak juga terjadi dalam keluarga kelas menengah dan kaya, tetapi tindakan yang dilaporkan lebih banyak di antara keluarga miskin karena beberapa alasan.
c. Isolasi Sosial dan Keterlibatan Masyarakat Bawah
Orangtua dan pengganti orangtua yang melakukan tindakan kekerasan terhadap anak cenderung terisolasi secara sosial. Sedikit sekali orangtua yang bertindak keras ikut serta dalam suatu organisasi masyarakat dan kebanyakan mempunyai hubungan yang sedikit dengan teman atau kerabat.
d. Struktur Keluarga
Tipe-tipe keluarga tertentu memiliki risiko yang meningkat untuk melakukan tindakan kekerasan dan pengabaian kepada anak. Misalnya, orangtua tunggal lebih memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak dibandingkan dengan orangtua utuh. Selain itu, keluarga-keluarga di mana baik suami atau istri mendominasi di dalam membuat keputusan penting, seperti: di mana bertempat tinggal, pekerjaan apa yang mau diambil, bilamana mempunyai anak, dan beberapa keputusan lainnya, mempunyai tingkat kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga-keluarga yang suami-istri sama-sama bertanggung jawab atas keputusan-keputusan tersebut.
Upaya untuk mengatasi masalah perlindungan terhadap kekerasan anak dapat dilakukan melalui 2 bentuk, yaitu:
1) Melalui reformasi hukum; hal tersebut pertama kali dengan cara mentransformasi paradigma hukum yang menjadi spirit upaya reformasi hukum tersebut. Spirit untuk melakukan reformasi hukum dilandasi dengan paradigma pendekatan berpusat pada kepentingan terbaik bagi anak (a child-centred approach) berbasis pendekatan hak.
2)  Melalui keberpihakan orang tua, guru sebagai pendidik, masyarakat dan pemerintah dalam memberikan dan mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara.
Bentuk tindakan konkritnya adalah:
Pertama, Orang Tua. Para orang tua seharusnya lebih memperhatikan kehidupan anaknya. Orang tua dituntut kecakapannya dalam mendidik dan menyayangi anak-anaknya. Jangan membiarkan anak hidup dalam kekangan, mental maupun fisik. Sikap memarahi anak habis-habisan, apalagi tindakan kekerasan (pemukulan dan penyiksaan fisik) tidaklah arif, karena hal itu hanya akan menyebabkan anak merasa tidak diperhatikan, tidak disayangi. Akhirnya anak merasa trauma, bahkan putus asa. Penting disadari orang tua bahwa anak dilahirkan ke dunia ini dilekati dengan berbagai hak yang layak didapatkannya. Seorang anak memiliki hak untuk mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan perhatian. Anak pun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga maupun di sekolah, juga nafkah (berupa pangan, sandang dan papan). Bagaimanapun keadaannya, tidak wajib seorang anak menafkahi dirinya sendiri, sehingga ia harus kehilangan banyak hak-haknya sebagai anak karena harus membanting tulang untuk menghidupi diri (atau bahkan keluarganya). Dalam kasus child abuse, siklus kekerasan dapat berkembang dalam keluarga. Individu yang mengalami kekerasan dari orang tuanya dulu, memiliki kecenderungan signifikan untuk melakukan hal yang sama pada anak mereka nanti. Tingkah laku agresi dipelajari melalui pengamatan dan imitasi, yang secara perlahan terintegrasi dalam sistem kepribadian orang tua. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk menyadari sepenuhnya bahwa perilaku mereka merupakan model rujukan bagi anak-anaknya, sehingga mereka mampu menghindari perilaku yang kurang baik.
Peran keluarga terutama orang tua di sini sangatlah penting. Perlindungan dan kasih sayang seharusnya semakin ditingkatkan. Perekonomian yang sulit jangan menjadikan anak sebagai bahan eksploitasi untuk mencari uang. Masa anak masih dalam tahap belajar dan bermain serta mengenal lingkungan. Hal tersebut adalah bekal mereka untuk mengahadapi kehidupan yang selanjutnya ketika mereka beranjak dewasa kelak. Pendidikan juga sangat wajib bagi anak, anak adalah tunas bangsa yang harus lebih diperhatikan kembali. Orang tua juga wajib dalam mengawasi lingkungan anak agar tidak menjadi korban kekerasan orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Kedua, Guru. Peran seorang guru dituntut untuk menyadari bahwa pendidikan di negara kita bukan saja untuk membuat anak pandai dan pintar, tetapi harus juga dapat melatih mental anak didiknya. Peran guru dalam memahami kondisi siswa sangat diperlukan. Sikap arif, bijaksana, dan toleransi sangat diperlukan. Idealnya seorang guru mengenal betul pribadi peserta didik, termasuk status sosial orang tua murid sehingga ia dapat bertindak dan bersikap bijak.
Ketiga, Masyarakat. Anak-anak kita ini selain bersentuhan dengan orang tua dan guru, mereka pun tidak bisa lepas dari berbagai persinggungan dengan lingkungan masyarakat di mana dia berada. Untuk itu diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemen di masyarakat untuk turut memberikan nuansa pendidikan positif bagi anak-anak. Salah satu elemen tersebut adalah pihak pengelola stasiun TV. Banyak riset menyimpulkan bahwa pengaruh media (terutama TV) terhadap perilaku anak (sebagai salah satu penikmat acara TV) cukup besar. Berbagai tayangan kriminal di berbagai stasiun TV, tanpa kita sadari telah menampilkan potret-potret kekerasan yang tentu akan berpengaruh pada pembentuk mental dan pribadi anak. Penyelenggara siaran TV bertanggungjawab untuk mendesain acaranya dengan acara yang banyak mengandung unsur edukasi yang positif.
Keempat, Pemerintah. Pemerintah adalah pihak yang bertanggung jawab penuh terhadap kemaslahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah menjamin masa depan bagi anak-anak kita sebagai generasi penerus. Pemerintah harus memberikan ketegasan pada masyarakat mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bila perlu memberikan sosialisasi bahwa ada Undang-Undang bertujuan dalam perlindungan anak serta dijelaskan juga sanksi terhadap yang melanggar Undang-Undang tersebut. Pemerintah juga harus memberikan fasilitas pelatihan dan pembelajaran anak. Maka pemerintah harus siap menampung anak-anak yang terlantar sesuai dengan bunyi UUD 1945 pasal 34 ayat 1, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Selain itu sangatlah perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan badan pemerintah seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI merupakan lembaga independen yang kedudukannya sejajar dengan komisi negara lainnya. KPAI dibentuk pada 21 Juni 2004 dengan Keppres No. 95/M Tahun 2004 berdasarkan amanat Keppres 77/2003 dan pasal 74 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002. Dalam keputusan Presiden tersebut, dinyatakan bahwa KPAI bertujuan untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. KPAI diharapkan mampu secara aktif memperjuangkan kepentingan anak. KPAI bertugas melakukan sosialisasi mengenai seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kepentingan anak. Selain itu KPAI juga dituntut untuk memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.
Sejak awal didirikan, KPAI memperoleh dana untuk menjalankan segala tugas, fungsi, dan program-programnya karena dana bersumber dari APBN (dari Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Departemen Sosial) dan APBD. Sumber dana juga mungkin berasal dari bantuan asing jika memang ada lembaga asing atau organisasi internasional yang ingin bekerja sama dengan KPAI. Pada kenyataannya selama ini KPAI kurang bisa berdaya guna. Hal ini menyebabkan masyarakat lebih mengenal Komnas Anak daripada KPAI sehingga perlu adanya upaya pemerintah dalam memaksimalkan kinerja KPAI. Bila perlu KPAI bekerja sama dengan Komnas Anak karena Komnas Anak jam terbangnya lebih tinggi dan lebih mengetahui seluk-beluk kasus kekerasan pada anak di Indonesia. Sehingga kemungkinan besar kasus kekerasan pada anak bisa lebih ditekan angka peningkatannya dari tahun ke tahun karena ada dua badan yang langsung terjun di masyarakat.
Alternatif solusi di atas diharapkan mampu efektif dalam menangani juga mengantisipasi terjadinya kekerasan pada anak. Pengembangan potensi anak juga diharapkan harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Saatnya semua lapisan masyarakat peduli pada anak.
Drs. A. Sardi
-       Guru BK SMP Tarakanita Solo Baru.
-       Mantan Koordinator Tim Pendampingan Anak Sekolah Mingu Gereja Kristus Raja Solo Baru.




Kamis, 27 April 2017

Bab III: MENGAPA TIKUS TAKUT BUAH BINTARO ?



MENGAPA TIKUS TAKUT BUAH BINTARO ?
BAB III. METODE PENELITIAN
a.   Jenis Penelitian
1. Karakteristik pohon bintaro.
2. Kandungan getah pohon bintaro yang memiliki racun mematikan.
3. Reaksi seekor tikus jika di dekatkan dengan berbagai olahan buah bintaro.
4. Dampak ruangan rumah yang banyak terdapat tikusnya, lalu diberi / diletakkan buah bintaro.
b.   Populasi dan Sampel
Peneliti akan mengumpulkan berbagai jenis buah bintaro yang tumbuh di sepanjang Jl. Ir. Sukarno Solo Baru, sesuai dengan usia buah, besar buah. Lalu diklarifikasikan: buah muda dan buah tua, ukuran buah, sudah jatuh atau masih melekat pada tangkai.
Peneliti berusaha menangkap tikus dengan perangkap. Dimungkinkan bisa mendapatkan lebih dari satu. Tikus yang sudah masuk perangkap, di dekatnya diberi olahan buah bintaro dan diamati reaksi tikus tersebut.
Peneliti mencari lokasi rumah yang sering terdapat tikus. Lalu diletakkan olahan buah bintaro. Diamati kemungkinan apa yang akan terjadi.
c.   Lokasi dan Waktu Penelitian
NO
WAKTU
TEMPAT
KEGIATAN
KET
1
Januari 2017
Jl. Ir. Sukarno Solo Baru
Mengumpulkan berbagai jenis dan ukuran buah bintaro

2
Februari 2017
Rumah dan sekolahan
Menangkap tikus dan melakukan eksperimen reaksi tikus terhadap buah bintaro

3
Maret 2017
Rumah dan sekolahan
Memasang/meletakkan olah buah bintaro di suatu ruangan rumah yang terindikasi bahnyak tikusnya. Melakukan observasi akan reaksi tikus.

d.   Variabel
Buah Bintaro         : usia buah, ukuran buah, kondisi buah.
Tikus                     : tikus rumah


e.   Definisi Operasional
Usia buah, ukuran buah (besar kecilnya), kondisi buah untuk mengetahui kadar zat yang terdapat dalam getah buah bintaro.
Tikus rumah, karena mudah menangkapnya dan populasinya cukup.
f.    Teknik Pengumpulan Data
Dengan melakukan observasi dan pengamatan
g.   Instrument Penelitian
Berupa tabel pengamatan / cek list
h.   Teknik Pengolahan Data
Reaksi tikus terhadap olahan buah bintaro yang ditaruh / diletakkan di dekat perangkap dan ruangan dalam rumah.
i.    Metode Analisis Data
1. Persiapan
2. Tabulasi
3. Aplikasi data
j.  Keterbatasan
Keterbatasan penelitian ini meliputi:
1. Keterbatasan pengambilan sampel
2. Keterbatasan jumlah sampel
3. Keterbatasan instrumen penelitian
4. Keterbatasan waktu dan sebagainya