PERJALANKU MENJADI GURU
Tahun 1979, aku lulus SMP Swasta. Aku tak mempunyai minat
sedikit pun untuk melanjutkan ke SPG. Keinginanku masuk SMA. Tetapi atas
pilihan kakakku, aku didaftarkan di SPG Negeri
yang jaraknya kurang lebih 37 km dari rumahku . Aku terpaksa menjalani
tes. Dan saat tes aku menyengaja agar tidak diterima dengan membiarkan rambutku
panjang.
Tetapi Tuhan berkehendak lain. Aku diterima di SPG
Negeri tersebut. Saat itulah aku sadar,
ini sebagai “Jalan Tuhan” yang sebrat apapun harus kujalani. Sadar akan menjadi
guru, selama sekolah di SPG, aku berusaha mempersiapkan diri. Setiap hari
Minggu aku kumpulkan anak-anak di sebuah rumah untuk “kupakai” latihan menjadi
guru. Aku menjadi Guru Sekolah Minggu. Tidak hanya itu, setiap Jumat sore, aku
ikut membina Pramuka di sebuah SD , tempatku belajar dulu.
Semua kujalani dengan senang hati, walau aku tidak
mendapatkan gaji. Bahkan harus rela berkorban demi “anak didik” yang kujadikan
sebagai media menerpa dan mempersiapkan diri.
Selama belajar di SPG Negeri, tidaklah seindah yang
kubayangkan, walau aku berusaha menyenangi dengan mengikuti berbagai kegiatan
yang ada. Untuk sarana transportasi
hanyalah sebuah sepeda bontot. Tantangan yang paling berat adalah, dari 42
orang siswa, aku sendiri yang berbeda agama. Tentu saja perlakuan guru dan
teman-teman ada batasan-batasan khusus. Ini sungguh aku rasakan. Pernah muncul niat untuk keluar lantaran
sering diajak debat atau diejek masalah agama.
Alhasil, tahun 1982 aku berhasil lulus SPG Negeri, bahkan
aku berhasil mendapatkan ranking . Pinginnya lulus bsia langsung kerja. Tetapi
tidak seperti yang kuinginkan. Tiga bulan aku jadi “Jaka Klantung” alias
penganggur. Namun aku tetap membimbing anak-anak Sekolah Minggu.
Suatu saat, ketika aku membimbing anak-anak Sekolah Minggu,
ada seseorang yang mengamatiku. Setelah mengetahui kemampuanku, orang itu
menawari agar aku mau membantu menjadi guru di SD Kanisius Gowongan Yogyakarta.
Serta merta aku menyanggupkan diri.
Tahun 1982 aku menjadi guru “pocokan” di SD Kanisius
Gowongan. Mula-mula aku mengganti seorang ibu guru yang cuti hamil. Gaji yang
aku terima setiap bulan adalah Rp 15.000. Aku sangat bersyukur mendapat gaji
sebesar itu.
Tahun 1983, dengan pendapatanku menjadi guru dan adanya
kesempatan, aku ingin meningkatkan kemampuanku dengan melanjutkan studi di D1 STKat
Pradnyawidya Yogyakarta. Jadi pagi aku mengajar, sore harinya “kuliah”. Tak
pernah tahu bagaimana keadaan siangnya rumah.
Tahun 1984, aku berhasil menyelesaikan D1 STKat. Saat itu
aku mencoba mendaftarkan studi di S1
FKIP IKIP Sanata Dharma Yogyakarta. Aku
pesimis karena sudah terlambat 2 tahun. Tetapi lagi-lagi aku bersyukur, aku
diterima.
Aku merasa bangga. Akan tetapi aku juga merasa bingung soal
biaya. Orang tua sudah “angkat tangan” soal biaya sejak aku sekolah di
SPG. Semester I kuliah di IKIP Sanata
Dharma aku sungguh merasa berat. Lantaran aku tidak kuat membayar SPP Rp 10.000
sebulan. Tidak hanya itu saja. Dari 89 orang temanku, yang kuliah naik sepeda
onthel, hanya aku sendiri. Jarak yang harus kutempuh kurang lebih 23 km. Sementara jadwal kuliah
tidak hanya pagi hari saja.
Akan tetapi Tuhan menunjukkan jalanku. Aku sudah punya modal
ijazah D1 Tkat. Aku berhak menjadi Guru Agama Katolik. Aku mencoba menawarkan
diri menjadi Guru Agama Katolik. Jalan
Tuhan sungguh indah. Aku pun mampu
membagi waktu dan tenagaku. Di sela-sela kegiatan kuliahku, aku mampu
mendampingi siswa-siswi yang beragama Katolik di 4 SMP dan 1 SMA. Salah satu
SMP tempatku mengajar adalah SMP almamaterku. Semua dapat kujalani tanpa
mengganggu jadwal kuliahku. Semua tetap kujalani bersama sepeda onthelku. Aku
bersyukur dengan menjadi Guru Agama, mampu mencukupi kebutuhanku sendiri.
Bahkan walau hanya sedikit, aku mampu membantu adik-adikku.
Dengan segala keterbatasanku, aku ingin segera lulus
Sarjana. Tahun 1989 aku berhasil, walau IPK-ku “sangat jelek”. Ada banyak mata
kuliah dengan nilai D tidak kau ulang karena benturan biaya dan waktu.
Memiliki ijazah Sarjana inginnya nasib akan lebih baik.
Tetapi karena keterbatasan, aku tidak langsung bisa mendapatkan pekerjaan yang
mapan. Tahun 1989 aku mendapat tawaran menjadi guru honor di SMP Kanisius
Temanggung. Mau tidak mau aku harus kost. Waktu itu uang yang harus kukeluarkan
untuk kost Rp 40.000. Sementara gajiku Rp 49.000.
Untunglah pada tahun 1990 aku ditawari menjadi guru di SD
Tarakanita Solo Baru yang waktu itu belum lama berdiri. Kembali aku bersyukur,
gaji yang kuterima “lebih dari cukup”. Aku disuruh tinggal di “barak” dekat
sekolahan dan gratis.
Kini aku sangat bersyukur karena aku sudah dikarunia
berbagai kebutuhan hidupku (menurut ukuranku sendiri). Dengan menjadi guru aku merasa menjadi
“manusia”. Tidak hanya itu, aku juga dipakai Tuhan untuk “memanusiakan manusia
lain”. Aku dipercaya mengurusi beberapa organisasi sosial kemasyarakatan.
Mungkin kalau aku tidak menjadi guru, aku tidak memiliki “status” sosial yang
bagiku membanggakan sekarang ini.
Rasa syukurku tidak hanya berhenti di sini. Aku akan tetap
terus menekuni profesiku sebagai guru tanpa memikirkan akan apa yang
kuperoleh dari profesiku ini. Aku yakin
Tuhan akan memberikan yang “lebih” dari apa yang kuharap dan mohon.
Sementara, aku merasa kecewa jika melihat ada teman yang
baru saja lulus Sarjana lalu bekerja menjadi guru. Setelah menerima gaji yang
dianggap tidak sesuai dengan standarnya, dia lalu mengundurkan diri atau keluar
dari pekerjaannya. Dia kurang memiliki
kesadaran terhadap profesinya. Yang diajadikan ukuran adalah gaji
(materi). Dia beranggapan dengan modal
ijazah sarjana gajinya harus “lebih”.