Kamis, 22 Maret 2018

GERAKAN LITERASI SEKOLAH (GLS) MENDUKUNG KEBERHASILAN SMP TARAKANITA GROGOL, SUKOHARJO DALAM POPDA 2018


GERAKAN LITERASI SEKOLAH (GLS) MENDUKUNG KEBERHASILAN SMP TARAKANITA GROGOL, SUKOHARJO DALAM POPDA 2018


            Salah satu usaha pemerintah untuk menumbuhkan budi pekerti, seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015, maka di setiap lembaga pendidikan formal diadakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Yaitu suatu kegiatan yang dilaksanakan 15 menit membaca buku nonmatapelajaran sebelum waktu belajar dimulai (http://dikdas.kemedikbud.go.id).

            Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah gerakan sosial dengan dukungan kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca peserta didik. (https://www.google.co.id, 2 Feb 2017) . Gerakan Literasi Sekolah (GLS) adalah upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah (guru, peserta didik, orang tua/wali murid) dan masyarakat, sebagai bagian dari ekosistem pendidikan.

Peluncuran Gerakan Literasi Sekolah dilaksanakan di sela-sela agenda Semiloka Kebahasaan Lembaga Adat yang digelar dalam rangka Peringatan 70 Tahun Hari Jadi Bahasa Negara. Lebih dari 200 orang hadir dalam acara ini, yang terdiri dari perwakilan lembaga adat dari berbagai daerah di Indonesia, peneliti/akademisi dari lingkungan Badan Bahasa dan perguruan tinggi, guru, dan anggota masyarakat umum serta undangan khusus Diaspora Indonesia dari berbagai negara. (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud). Waktu itu,       Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan meluncurkan Gerakan Literasi Sekolah “Bahasa Penumbuh Budi Pekerti”.  Dalam peluncuran Gerakan Literasi Sekolah itu dilakukan secara simbolis dengan menyerahkan buku paket bacaan untuk 20 sekolah di DKI Jakarta sebagai bahan awal kegiatan literasi.
Selanjutnya Gerakan Literasi Sekolah dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Mendikbud mengatakan, Permendikbud tersebut adalah sebuah upaya untuk menumbuhkan budi pekerti anak.
Kegiatan literasi yang dilakukan 15 menit sebelum kegiatan belajar mengajar berlangsung di kelas ini,  tidak hanya membaca, tetapi juga dilengkapi dengan kegiatan menulis yang harus dilandasi dengan keterampilan atau kiat untuk mengubah, meringkas, memodifikasi, menceritakan kembali, dan seterusnya. Selain di Jakarta, akan dilakukan rintisan atau percontohan Literasi Sekolah di daerah, yakni Sumatera Utara, Riau, NTB dan NTT
Sebagai lembaga pendidikan swasta yang merupakan “mitra kerja” pemerintah, SMP Tarakanita Grogol, Sukoharjo sangat mendukung dan melaksanakan Gerakan Literasi Sekolah ini. Dalam waktu 15 menit sebelum kegiatan belajar mengajar di kelas, dilaksanakan GLS. Ada pun teknis pelaksanaannya, siswa disuruh membawa bahan literasi berupa buku yang sesuai minatnya. Setelah itu diminta untuk membaca,  menuliskan resume atau rangkuman dari hasil baca. Jika menuntut sutau uji coba / praktik, siswa pun di suruh mendeskripsikan proses dan hasilnya secara tertulis dalam bentuk Refleksi Diri.
Kegiatan Literasi Sekolah di SMP Tarakanita Grogol sudah berlangsung selama 2 tahun ini terlaksana  dengan baik dan lancar. Jika ada siswa yang lupa membawa buku literasi, kepadanya disuruh meminjam di perpustakaan sekolah. Setiap hari Senin, guru wali mengumpulkan dan memberikan penilaian atas kerja siswa berkaitan dengan kegiatan literasi (menyangkut: judul buku, pengarang, penerbit, jumlah halaman yang telah dibaca, dan sebagainya).
Pada tanggal 26 Februari – 1 Maret 2018, Dinas Pendidikan Kabupaten Sukoharjo mengadakan event tahunan yang disebut POPDA 2018 (Pekan Olah Raga Pelajar Daerah). Tujuan Pekan Olah Raga Daerah : 1) Memfasilitasi kegiatan terhadap pelaksanaan pembinaan olahraga pelajar di daerah; 2) Memacu dan memotivasi dalam rangka optimalisasi pengembangan potensi atlet pelajar; 3) Membentuk dan meningkatkan persahabatan, persatuan dan kesatuan di kalangan Pelajar; 4) Menindaklanjuti tahapan pembinaan olahraga, khusunya dikalangan pelajar; 5) Sebagai salah satu sarana untuk seleksi atlet-atlet pelajar yang akan diterjunkan pada POPDA Jawa Tengah.
SMP Tarakanita Grogol berusaha ikut ambil bagian dengan memilih dan mengirimkan siswa-siswi yang berprestasi di cabang olah raga: basket, futsal, bulu tangkis, tae won do, renang, atletik.
Karena keterbatasan waktu dan tenaga pendamping untuk mempersiapkan atlet, semua atlet terpilih dikumpulkan dan diminta untuk meningkatkan kemampuan diri dengan melakukan literasi secara mandiri. Para atlet diberi motivasi dan diminta untuk: membaca buku-buku penunjang atau membuka situs-situs internet yang menunjang meningkatkan kemampuan dan keterampilannya masing-masing. Selanjutnya mempraktikkannya secara mandiri di sela-sela waktu luangnya. Sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, pendamping melakukan evaluasi atas usaha mandiri para atlet terpilih.
Tim basket putra yang dinilai oleh pendamping kurang memiliki strategi permainan yang baik, anggota tim diberi motivasi untuk membuak situs internet “How to Basket”. Atlet bulu tangkis yang kurang bisa mengatur langkah kaki dengan tepat, diberi motivasi untuk membaca / membuka internet yang memberikan petunjuk pengaturan langkah kaki yang tepat dalam bermain bulu tangkis, serta diminta untuk mempraktikkannya. Atlet Tae Won Do yang merasa kurang memiliki rasa percaya diri, diberi motivasi untuk membaca buku-buku di perpustakaan sekolah yang mampu memberikan petunjuk praktis untuk meningkatkan rasa percaya diri.
Dilandasi oleh rasa ingin tahu terhadap sesuatu yang menunjang ketercapaian suatu prestasi melalui kegiatan literasi, serta mencoba mempraktikkan teori-teori baru hasil temuannya secara kontinu, walaupun kurang mendapat pendampingan dari pelatih / guru, keterbatasan waktu dan sarana penunjang, namun peserta didik yang terpilih menajdi duta POPDA 2018 tingkat Kabupaten Sukoharjo menghasilkan suatu prestasi yang membanggakan.
Salah satu pendukung keberhasilan mereka adalah dengan kesadaran dan motivasi yang tinggi melakukan kegiatan literasi (membaca buku / media cetak dan media elektronik) yang menunjang keberhasilan meraih prestasinya, baik di sekolah maupun di rumah. Hasil temuan tersebut kemudian diusahakan untuk dipraktikkan.
Terbukti hasilnya tidak sia-sia. Beberapa siswa SMP Tarakanita Grogol yang dipercaya mengikuti POPDA 2018 menghasilkan prestasi sebagai berikut:

NO
CABOR
NAMA ATLET
EMAS
PERAK
PERUNG
PRESTASI
1
Basket
Team Putri
-
1
-
Juara II


Team Putra
1
-
-
Juara I
2
Futsal
Team Putra
-
-
-
Penyisihan
3
Renang
Leander Excelent
2
1

Final


Hilarion Baskoro

1
1
Final
4
Taekwondo
Previa Alexandra
1
-
-
Jauara I


Agustinus Vio
-
-
-
Penyisihan


Felicia Sinatra
-
1
-
Juara II
5
Bulu Tangkis
Andi Setiawan
-
-
-
8 besar
6
Atletik
Berlin
-
-
-
Penyisihan


Elfrida Claudia
-
-
-
Peringkat 7


Rafael Satrio
-
-
-
Peringkat 6


JUMLAH
4
4
1

Dibandingkan dengan prestasi yang diperoleh dalam agenda kegiatan yang sama di tahun sebelumnya, prestasi atlet POPDA 2018 SMP Tarakanita Grogol cukup mengalami peningkatan yang optimal. POPDA 2017 hanya memperoleh 2 medali emas dari seluruh cabang olah raga yang diperlombakan.
Dari pemaparan di atas membuktikan bahwa Gerakan Literasi Sekolah (GLS) jika dilaksanakan dengan baik akan menghasilkan prestasi yang baik pula. Dengan GLS (melalui media cetak dan elektronik), siswa termotivasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan secara mandiri. Siswa mampu mencari dan menemukan sendiri cara terbaik untuk meningkatkan prestasinya. Sedangkan guru pendamping berperan sebagai fasilitator, motivator.


                                                                        Sukoharjo, 8 Maret 2018


Sabtu, 12 Agustus 2017

PERJALANANKU MENJADI GURU



PERJALANKU MENJADI GURU

Tahun 1979, aku lulus SMP Swasta. Aku tak mempunyai minat sedikit pun untuk melanjutkan ke SPG. Keinginanku masuk SMA. Tetapi atas pilihan kakakku, aku didaftarkan di SPG Negeri  yang jaraknya kurang lebih 37 km dari rumahku . Aku terpaksa menjalani tes. Dan saat tes aku menyengaja agar tidak diterima dengan membiarkan rambutku panjang.
Tetapi Tuhan berkehendak lain. Aku diterima di SPG Negeri  tersebut. Saat itulah aku sadar, ini sebagai “Jalan Tuhan” yang sebrat apapun harus kujalani. Sadar akan menjadi guru, selama sekolah di SPG, aku berusaha mempersiapkan diri. Setiap hari Minggu aku kumpulkan anak-anak di sebuah rumah untuk “kupakai” latihan menjadi guru. Aku menjadi Guru Sekolah Minggu. Tidak hanya itu, setiap Jumat sore, aku ikut membina Pramuka di sebuah SD , tempatku belajar dulu.
Semua kujalani dengan senang hati, walau aku tidak mendapatkan gaji. Bahkan harus rela berkorban demi “anak didik” yang kujadikan sebagai media menerpa dan mempersiapkan diri.
Selama belajar di SPG Negeri, tidaklah seindah yang kubayangkan, walau aku berusaha menyenangi dengan mengikuti berbagai kegiatan yang ada.  Untuk sarana transportasi hanyalah sebuah sepeda bontot. Tantangan yang paling berat adalah, dari 42 orang siswa, aku sendiri yang berbeda agama. Tentu saja perlakuan guru dan teman-teman ada batasan-batasan khusus. Ini sungguh aku rasakan.  Pernah muncul niat untuk keluar lantaran sering diajak debat atau diejek masalah agama.
Alhasil, tahun 1982 aku berhasil lulus SPG Negeri, bahkan aku berhasil mendapatkan ranking . Pinginnya lulus bsia langsung kerja. Tetapi tidak seperti yang kuinginkan. Tiga bulan aku jadi “Jaka Klantung” alias penganggur. Namun aku tetap membimbing anak-anak Sekolah Minggu. 
Suatu saat, ketika aku membimbing anak-anak Sekolah Minggu, ada seseorang yang mengamatiku. Setelah mengetahui kemampuanku, orang itu menawari agar aku mau membantu menjadi guru di SD Kanisius Gowongan Yogyakarta. Serta merta aku menyanggupkan diri.
Tahun 1982 aku menjadi guru “pocokan” di SD Kanisius Gowongan. Mula-mula aku mengganti seorang ibu guru yang cuti hamil. Gaji yang aku terima setiap bulan adalah Rp 15.000. Aku sangat bersyukur mendapat gaji sebesar itu. 
Tahun 1983, dengan pendapatanku menjadi guru dan adanya kesempatan, aku ingin meningkatkan kemampuanku  dengan melanjutkan studi di D1 STKat Pradnyawidya Yogyakarta. Jadi pagi aku mengajar, sore harinya “kuliah”. Tak pernah tahu bagaimana keadaan siangnya rumah.
Tahun 1984, aku berhasil menyelesaikan D1 STKat. Saat itu aku mencoba mendaftarkan studi di  S1 FKIP IKIP Sanata Dharma Yogyakarta.  Aku pesimis karena sudah terlambat 2 tahun. Tetapi lagi-lagi aku bersyukur, aku diterima.
Aku merasa bangga. Akan tetapi aku juga merasa bingung soal biaya. Orang tua sudah “angkat tangan” soal biaya sejak aku sekolah di SPG.  Semester I kuliah di IKIP Sanata Dharma aku sungguh merasa berat. Lantaran aku tidak kuat membayar SPP Rp 10.000 sebulan. Tidak hanya itu saja. Dari 89 orang temanku, yang kuliah naik sepeda onthel, hanya aku sendiri. Jarak yang harus kutempuh  kurang lebih 23 km. Sementara jadwal kuliah tidak hanya pagi hari saja.
Akan tetapi Tuhan menunjukkan jalanku. Aku sudah punya modal ijazah D1 Tkat. Aku berhak menjadi Guru Agama Katolik. Aku mencoba menawarkan diri menjadi Guru Agama Katolik.  Jalan Tuhan sungguh indah. Aku pun  mampu membagi waktu dan tenagaku. Di sela-sela kegiatan kuliahku, aku mampu mendampingi siswa-siswi yang beragama Katolik di 4 SMP dan 1 SMA. Salah satu SMP tempatku mengajar adalah SMP almamaterku. Semua dapat kujalani tanpa mengganggu jadwal kuliahku. Semua tetap kujalani bersama sepeda onthelku. Aku bersyukur dengan menjadi Guru Agama, mampu mencukupi kebutuhanku sendiri. Bahkan walau hanya sedikit, aku mampu membantu adik-adikku.
Dengan segala keterbatasanku, aku ingin segera lulus Sarjana. Tahun 1989 aku berhasil, walau IPK-ku “sangat jelek”. Ada banyak mata kuliah dengan nilai D tidak kau ulang karena benturan biaya dan waktu.
Memiliki ijazah Sarjana inginnya nasib akan lebih baik. Tetapi karena keterbatasan, aku tidak langsung bisa mendapatkan pekerjaan yang mapan. Tahun 1989 aku mendapat tawaran menjadi guru honor di SMP Kanisius Temanggung. Mau tidak mau aku harus kost. Waktu itu uang yang harus kukeluarkan untuk kost Rp 40.000. Sementara gajiku Rp 49.000.
Untunglah pada tahun 1990 aku ditawari menjadi guru di SD Tarakanita Solo Baru yang waktu itu belum lama berdiri. Kembali aku bersyukur, gaji yang kuterima “lebih dari cukup”. Aku disuruh tinggal di “barak” dekat sekolahan dan gratis.
Kini aku sangat bersyukur karena aku sudah dikarunia berbagai kebutuhan hidupku (menurut ukuranku sendiri).  Dengan menjadi guru aku merasa menjadi “manusia”. Tidak hanya itu, aku juga dipakai Tuhan untuk “memanusiakan manusia lain”. Aku dipercaya mengurusi beberapa organisasi sosial kemasyarakatan. Mungkin kalau aku tidak menjadi guru, aku tidak memiliki “status” sosial yang bagiku membanggakan sekarang ini.
Rasa syukurku tidak hanya berhenti di sini. Aku akan tetap terus menekuni profesiku sebagai guru tanpa memikirkan akan apa yang kuperoleh  dari profesiku ini. Aku yakin Tuhan akan memberikan yang “lebih” dari apa yang kuharap dan mohon.
Sementara, aku merasa kecewa jika melihat ada teman yang baru saja lulus Sarjana lalu bekerja menjadi guru. Setelah menerima gaji yang dianggap tidak sesuai dengan standarnya, dia lalu mengundurkan diri atau keluar dari pekerjaannya.  Dia kurang memiliki kesadaran terhadap profesinya. Yang diajadikan ukuran adalah gaji (materi).  Dia beranggapan dengan modal ijazah sarjana gajinya harus “lebih”.